"Maafkan aku, Yah. Ibu yang sudah renta itu belum mampu kubahagiakan ia." Isakku kembali tertahan.
Aku hanya bisa berjuang dan terus berusaha untuk memberikan kebahagiaan untuk ibuku, seorang perempuan yang sangat dicintai oleh ayahku. Walau peluh ini terasa perih aku kan tetap berjuang.
Wajah itu pun datang membayang di pelupuk mata. Ya, ayahku tersenyum di balik tirai putih yang tertiup semilir angin. Kurasakan kehadirannya di sisiku dan membelaiku dengan kelembutannya.
Tatapan nanar mengelilingi ruang kamarku yang sunyi. Tirai jendela pun tak kulihat lagi terayunkan angin. Semua bisu dalam hening, seperti hati ini yang merasakan pilu.
"Seandainya saja... " Bisikku lirih.
Kuusap wajah dengan kedua belah tangan ini, dan kusadari jika aku sedang asyik dengan sebuah lamunan yang menenggelamkan perasaan. Aku pun bangkit berdiri, berjalannperlahan menuju jendela dan membukanya.
Kulihat angkasa begitu indahnya dengan taburan sinar yang berkemilau. Seakan sinarnya tersenyum padaku dan berkata "Tenanglah, walaupun dalam gelap akan ada seberkas sinar menerangi."
Aku pun tersenyum sambil mendekapkan tangan di dada, dalam hati berkata "Aku harus bahagia, agar ibuku juga bahagia".
Ya, apapun dan bagaimanapun caranya aku harus bahagia, jangan sampai ibuku melihat duka di wajahku. Tiba-tiba kudengar bisikan lembut di telinga "Berbahagialah, nak. Hidup harus dijalani dan disyukuri, tersenyumlah."
Terhenyaklah aku mendengar bisikan itu, seakan sungguh kudengar ayahku yang berbicara.
Disaat seperti ini rasanya benar-benar aku ingin didekap olehnya dan menceritakan segala beban di hati ini. Namun itu hanyalah mimpi, karena besok di hari raya idul fitri hanya pusaramu saja yang dapat kujumpai.