Saat memaafkan kita tidak sedang mengubah masa lalu, tapi sedang memperbaiki masa depan -- Bernard Meltzer
Ketika saya mulai menulis artikel ini, saya baru saja melihat breaking news di televisi. Pengumuman Menteri Agama perihal hasil sidang isbat yang memutuskan bahwa hari raya Idul Fitri jatuh pada hari Minggu, 24 Mei 2020. Dua hari lagi lebaran.
Idul Fitri hakikatnya hari dimana kita terlahir suci kembali. Selama bulan ramadan ini kita melaksanakan ritual ibadah yang amalnya dilipatgandakan, segala do'a dikabulkan dan berharap semoga hitungan amal kita bisa lebih besar dibanding dosa dan kesalahan kita. karena itu, di hari lebaran hitungan hidup kita kembali ke titik nol. Suci kembali.
Demi mencapai kesucian diri tersebut, urusannya bukan hanya antara kita dengan Allah SWT, tetapi juga dengan sesama manusia dimana sebagai makhluk sosial kita tak bisa lepas dari interaksi dengan manusia lain. Kita berinteraksi dengan keluarga, teman, tetangga, dan orang yang mungkin sekelebat hadir di episode hidup kita.
Namanya interaksi, pasti ada hal-hal yang tak diinginkan. Entah itu kita berbuat salah, atau sebaliknya orang lain yang begitu kepada kita. Hati ini kadang jengkel, marah atau dendam kepada orang lain, dan bisa jadi juga orang lain gondok kepada kita.
Karena itulah, menjelang hari lebaran kita dianjurkan untuk saling bermaaf-maafan, biar dosa kepada orang lain tersebut bisa terhapus. Sejatinya bermaafan juga tak melulu harus di masa lebaran, bahkan dalam keseharian juga kita harus saling bermaafan apabila berselisih. Rasul pernah berucap kalau sesama muslim itu gak boleh bertengkar lebih dari tiga hari. Artinya, cukup sebentar saja marahannya.
Masalahnya, memaafkan dan meminta maaf itu sama-sama berat bro! Gampang untuk dianjurkan susah untuk dilakukan. Untuk mengucapkan kata maaf, dan untuk tulus memaafkan itu levelnya sama-sama berat. Betul gak?
Pernah punya pengalaman betapa beratnya untuk meminta maaf dan memberi maaf? Saya sering. Tapi itu dulu, di masa sebelum saya bertemu dengan wanita yang menjadi istri saya. iya, darinya saya belajar untuk bisa meminta maaf dan mudah memberi maaf. Serius.
Dulu, saya termasuk orang yang pintar menyimpan amarah. Jika kesal kepada orang, saya termasuk orang yang kerap mendendam. Kalau punya kakeuheul ke orang, saya bisa berhari-hari, berminggu-minggu dan berbulan-bulan mengingat terus kekesalan itu. buat orang seperti ini, percayalah gengsinya sangat tinggi untuk bisa memaafkan orang apalagi berucap meminta maaf.
Perlahan sikap itu berubah setelah saya berinteraksi dengan wanita yang sekarang menjadi pendamping hidup saya. Sejak jaman pacaran, saya mempelajari betapa mudahnya ia meminta maaf Ketika berbuat kesalahan. Sesuatu yang menurut saya istimewa ketika ia mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Sebaliknya, jika memang saya berbuat salah, ia tak segan meminta saya untuk menyatakan permintaan maaf.
Sungguh, dari pengalaman bertahun-tahun berinteraksi dengannya, lidah saya jadi mudah berucap maaf, hati saya gampang luluh untuk memaafkan kesalahan orang, dan demikian pula hati ini tak keras untuk mengakui kesalahan diri.
Ya,untuk belajar mudah memaafkan dan meminta maaf setiap orang punya jalan masing-masing. Saya belajar dengan mengamati dari sifat pasangan hidup saya, anda mungkin berbeda. Saya tak sedang dalam kapasitas untuk mengajari anda harus ini itu biar gampang bermaaf-maafan.
Kalau butuh keteladanan soal kelapangan hati untuk memaafkan, maka kisah rasul adalah teladan yang paling baik. Simak riwayat bagaimana rasul kerap dilempari kotoran unta oleh kaum Quraisy ketika ia beribadah di Ka'bah. Apakah beliau marah? Yang ada malah beliau mendoakan yang terbaik untuk mereka. Ketika di Madinah, rasul kerap diejek dan diumpat oleh pengemis buta dari kaum kafir. Apakah ia marah? Rasul malah menyuapi pengemis itu sambil mendengarkan umpatan-umpatan si pengemis tersebut yang ditujukan kepadanya.
Dalam sejarah perjuangan bangsa, saya membaca kisah Buya Hamka yang mau menjadi imam shalat jenazah Presiden Soekarno, padahal Soekarno pernah memenjarakannya dalam waktu yang lama di masa orde lama. Alih-alih dendam, Buya Hamka bersyukur karena di penjara ia punya waktu menyelesaikan tafsir Al-Azhar.
Sebenarnya apa yang menyebabkan kita susah untuk meminta maaf dan memberi maaf? Tentu saja penyebabnya adalah ego kita. Hakikat manusia yang lebih peduli pada dirinya sendiri membuatnya selalu merasa paling benar.
Ust. Nasrullah dalam buku Kajian Magnet Rezeki menyebut ego ini sebagai garis kebenaran. Katanya, kita semua selalu membuat garis kebenaran sendiri yang berlaku untuk kita. ketika ada orang yang melewatinya, maka secara otomatis kita menunjuk orang lain tersebut salah, dan kita benar. Itu karena kita berpegangan pada garis kebenaran kita sendiri. demikian pula sebaliknya, orang lain punya garis kebenaran sendiri yang menunjuk kita yang salah dan dia yang benar.
Tanpa sadar kita masing-masing kerap mempertahankan garis kebenaran tersebut dengan erat. Tanpa sadar kita kerap menyalahkan orang lain dan menjadikannya kambing hitam terhadap kejadian yang menimpa kita.
Kalau sudah begini, dimana titik temunya?
Menurut Ust. Nasrullah, rasa marah, dengki dan dendam tersebut akan menjadi perisai yang menghalangi turunnya rejeki dari Allah. Soal ini juga dibahas oleh Ippho Santosa dalam bukunya yang berjudul Tujuh Keajaiban Rezeki. Bisa jadi kalau anda merasa rezeki anda seret, mungkin salah satu penyebabnya yaa itu,...
Biar perisainya terbuka, dan juga biar kita mudah bermaaf-maafan, solusinya adalah merubah mindset dan garis kebenaran tersebut. Alih-alih menganggap orang lain salah, coba dibalik dengan berfikir bahwa apapun yang salah adalah kita dan orang lain benar. Caranya? Perbanyak istighfar dan ketika berbenturan dengan orang lain, cepat-cepat mengingat bahwa kita yang salah dan mereka yang benar. Kalau sudah begitu, akan mudah untuk meminta maaf dan juga memaafkan orang lain.
Kalau anda berbisik,... ngomong sih enak, prakteknya susah bro! Lha Emang iya,... itu berat. Jujur saja, sampai sekarang pun saya masih terus belajar kok. Dilan aja belum tentu sanggup, hehehe.... Ah biar lengkapnya mah, coba deh baca saja buku beliau. Penjelasannya Komplit disana.
Kalau anda masih berat buat memaafkan orang lain, ada baiknya saya kutip apa yang dibilang Irfan Amalee dalam bukunya Islam Itu Ramah Bukan Marah perihal alasan Kenapa kita tidak mau memaafkan orang lain sebagai berikut:
- Ingin terus mendapat simpati dari orang sebagai orang terdzalimi
- Agar kita punya alasan untuk terus marah dan menyalahkan orang lain atas rasa sakit hati kita
- Menyangka kalau memaafkan itu kita jadi pecundang
- Kalau memaafkan artinya kita tak bisa membela hak kita dan memberi keuntungan kepada orang lain
- Mengkhawatirkan orang yang kita maafkan tidak akan berubah perilakunya.
Padahal, sebenarnya sebagai berikut:
- Dengan memaafkan kita mengangkat derajat kita dari korban/objek menjadi subjek. Pelaku pemaafan. Orang yang tak mau memaafkan berarti baperan, menikmati peran sebagai korban.
- Dengan memaafkan, kita menghancurkan dendam yang bisa menjadi racun dalam hati kita.
- Memaafkan bukan atribut pecundang, sebaliknya kita jadi pemenang dalam mengalahkan ego diri sendiri.
- Memaafkan adalah membela hak kita untuk bebas dari penyakit hati.
- Memaafkan keputusan ktia dengan diri sendiri untuk hidup merdeka. Tak jadi soal apakah orang lain akan berubah atau tidak.
Btw, akademisi barat juga memberi pandangan soal maaf memaafkan ini. menurut Lawana Backwell, maaf memaafkan adalah tindakan yang unik. Katanya ketika kita meminta maaf maupun memaafkan orang lain, tubuh akan mengeluarkan hormon serotonine yang membuat hati bahagia.
Gak percaya? Buktikan saja sendiri. Eh, sudah kirim broadcast Whatsapp maaf-maafan belum? Minal aidzin wal faidzin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H