Caranya? Tuliskan semua yang kita tangkap melalui pancaindera. Gabungkan semua benda yang ditangkap tersebut dalam rangkaian kalimat. Niscaya, ide akan datang. Dalam Artikel berjudul Menulis Tanpa Ide, Budiman memberi contoh bagaimana mempraktekkan konsepnya ini. Kurang lebih begini penerapannya: pandangi apa yang ada disekitar kita, tulis semua benda yang terlihat, kemudian satukan dalam satu rangkaian kalimat dengan ditambahkan sedikit imajinasi. Supaya jelas, saya coba kutip hasilnya dari artikel Budiman Hakim tersebut:
"PRINTER warna hitam di depanku menungguiku kaku, ditemani KERTAS-KERTAS kosong yang berserakan di sekitarnya. Aku lihat DINDING tampak pucat, barangkali kedinginan karena berjam-jam disembur AC yang begitu angkuh. JAM menunjukkan pukul 2 pagi. Tapi layar LAPTOPKU masih juga kosong. Dan hingga detik ini, tak satupun ide bergairah menghampiri."
Dari paragraf tersebut sebenarnya sudah terlihat bagaimana kumpulan benda-benda yang dilihat mata tersebut bisa dikembangkan menjadi satu paragraf utuh yang menarik. Satu paragrag ini bisa memantik ide tulisan untuk mengembangkannya. Menarik ya?
Konsep yang sama juga disarankan oleh Idris Apandi, Ketua Komunitas Pegiat Literasi Jawa Barat. Idris menyebut pancaindera sebagai antena ide menulis. Â Ia menyarankan kita untuk mengasah kepekaan pancaindera untuk mendapatkan ide menulis. Ketika melihat, meraba, mendengar dan membau sesuatu, seseorang yang peka akan mendapatkan sesuatu yang menarik untuk ditulis.
Jika Budiman mencontohkan dengan memperhatikan benda-benda yang ada di sekeliling, maka Idris memilih memberi contoh dengan menceritakan salah satu momen pengalamannya dalam rangkaian tulisan dengan melibatkan pancainderanya.
Ia berkisah tentang pengalamannya saat melaksanakan shalat Jumat di salah satu masjid di Makasar. Ia kemudian merinci suasana disana: bagaimana Jemaah berbondong-bondong datang menjelas waktu Shalat Jum'at, soal Jemaah yang mengantuk, termasuk dirinya, soal suasana halaman masjid selepas shalat Jum'at bubar, deskripsi bau semerbak kopi, soal rasa kopi luwak yang disruputnya, serta cerita tentang aroma gorengan yang dijajakan penjualnya. Semua ia ceritakan secara detail deskripsi yang ditangkap pancainderanya.
Ide tulisan juga bisa dihasilkan dari perasaan menderita. Sebagaimana disebutkan oleh Ign Joko Dwiatmoko, seseorang yang sedang menderita biasanya sensitif terhadap berbagai hal. ia biasanya akan lebih mudah mengambil hikmah dari suatu kejadian, merenungkan perasaan tertekan dan sejenisnya. Dari sini biasanya muncul sisi emosional dan sentimental ketika dituangkan dalam tulisan yang justru akan menambah warna tersendiri bagi tulisan tersebut.
Dwiatmoko memberi contoh beberapa penulis terkenal yang melahirkan karya fenomenalnya justru pada saat ia sedang menderita. Pramoedya Ananta Toer dan Tan Malaka salah dua diantaranya. Mereka mungkin ditangkap, dibuang dan dibiarkan mengalami tekanan fisik dan psikis. Namun, justru kesedihan dan penderitaan itu menjadikan mereka lebih sensitif, mampu melihat sisi lain dari penderitaan tersebut dan kemudian menumpahkannya ke dalam tulisan.Â
Jadi, kalau lagi didera perasaan menderita, galau dan sebagainya, ambil sisi positifnya saja dan segera tuangkan dalam tulisan kita. Siapa tahu bisa menjadi karya yang fenomenal.
Ide tulisan juga bisa dibangun dengan cara memperhatikan isu atas satu peristiwa yang sedang berlangsung. Kalau kita sering update buka medsos, membaca atau melihat berita, pastilah akan menemukan trend peristiwa yang sedang berlangsung. Mengulas suatu isu atas peristiwa yang sedang berlangsung merupakan satu cara mudah membangun ide tulisan. Hal inilah yang disarankan oleh Pebrianov dalam artikelnya yang berjudul Membangun Ide Menulis Agar "Tak Dipatok Ayam".
Menariknya, Pebrianov juga menekankan akan pentingnya eksekusi ide tersebut secepatnya. Kalau anda sering memperhatikan tulisannya, ia memang terbilang salah satu kompasianer yang paling cepat meluncurkan tulisan terkait satu berita yang sedang ramai jadi pemberitaan media. Dalam bahasanya yang sedikit puitis, ia menyebut ide yang terpenjara akan terbunuh perlahan sebelum mekar dan berkembang. Mungkin  karena sifatnya yang mengulas isu yang sedang nge-tren, tentu ide tulisan tersebut perlu segera ditulis dan dipublish, sebelum terlanjur basi. Bisa jadi basi karena peristiwanya sudah lewat, atau karena keburu ditulis oleh orang lain. Pada titik ini, kecepatan mempublish akan berpengaruh pada aspek novelty (kebaruan) yang terkandung dalam tulisan kita, yang tentu saja menjadi poin penting yang membuat tulisan kita menarik.