Jika diibaratkan sebagai sebuah puzzle, Indonesia memiliki kepingan-kepingan puzzle yang beragam, baik bentuk, warna maupun ukurannya. Meskipun berbeda, ketika satu kepingan tersebut hilang atau rusak, maka saat itu pula keutuhannya telah terkoyak.
Kini, kekhawatiran hilang atau rusaknya kepingan puzzle itu tergambar nyata. Adalah jamak ketika setiap hari saya menyaksikan di televisi atau di gadget genggam bagaimana orang dengan mudahnya merundung, mengintimidasi dan memaksakan kehendaknya pada kelompok lain hanya karena berbeda pandangan dan pendapat saja, lewat beragam berita atau sekedar status media sosial. Batas antara hoax dan nyata sedemikian tipis. Saya yang terus menerus dicekoki dengan opini yang memprovikasi seperti ini terkadang secara tak sadar terbawa akan opini seperti ini. Jujur, suatu kali saya pernah terbawa memihak satu kelompok dan ikut menyudutkan pihak lain yang berbeda pandangan dengan saya.
Mungkin saya perlu memaknai kembali rasa nasionalisme dalam diri ini. Jangan-jangan secara perlahan ia sudah memudar! Maka ketika ada tawaran dari kompasiana untuk mengikuti upacara bendera peringatan HUT Ke-72 Republik Indonesia yang diselenggarakan di perkebunan teh Malabar, Pangalengan bersama Bank Mandiri saya langsung mengiyakannya.
Seringkali saya melihat teman-teman yang berkesempatan untuk merayakan peringatan kemerdekaan RI di lokasi-lokasi yang berkesan. Ada yang mengibarkan bendera di puncak gunung, di bawah laut, di pulau terluar, di wilayah perbatasan atau diatas kapal perang. Bagi saya, sebelum melakukan itu, cukuplah melakukannya bersama saudara-saudara air di lokasi yang tak terlalu jauh dari rumah, Pangalengan.
Setidaknya ada dua alasan mengapa saya tertarik ikut acara kompasiana visit ini. Pertama, Sudah lama saya tak melaksanakan upacara bendera. Terakhir saya mengikutinya saat kelas 3 SMA atau 17 tahun yang lalu. Meskipun secara rutin menonton acara Upacara Bendera peringatan HUT RI di Istana Negara lewat layar televisi, jelas auranya akan berbeda. Kedua, semoga saja merayakan kemerdekaan RI di kampung orang lain bisa menumbuhkan kembali nasionalisme dalam diri ini yang mungkin saja tercemar oleh beragam berita provokatif di media yang saya ikuti.
Kesadaran akan keberagaman bangsa ini sebenarnya tercermin dari pemilihan kompasianer yang ikut acara ini. Entah disengaja atau tidak buat saya komposisi kompasianer peserta visit ini merepresentasikan Indonesia dalam skala kecil. Lihat saja, ada Mas Dimas Suyatno yang jauh-jauh datang dari Solo, Bang Ahyar Ros yang aslinya dari Lombok, Bang Boris dan Niko yang memiliki leluhur dari tanah Sumatera, atau Mas Ali Muakhir asli Tegal yang meskipun telah lama tinggal di Bandung namun tiap diajak ngomong Bahasa Sunda selalu terlihat bingung. Ini seru,...saya bisa berinteraksi dengan teman-teman dengan latar belakang yang berbeda.
Sinar matahari pagi yang cerah cukup mampu mengusir rasa dingin yang tak biasa dialami. Maklum saja, tanah Pangalengan terhitung lumayan tinggi, sekitar 1500-2000 meter diatas permukaan laut. Namun, yang membuat suasana semakin hangat adalah euphoria para peserta upacara ini. Kami dan sebagian besar peserta upacara memakai pakaian formal hitam putih dengan berdasi kacu merah putih. Sungguh dari sisi pakaian yang saya kenakan saja saya, sudah merasakan suntikan semangat yang tinggi. Belum lagi jika melihat antusiasme warga sekitar untuk ikut terlibat dalam upacara ini. Ada sejumlah anak kecil bergaya pejuang lengkap dengan kendaraan Tank yang dimodifikasi dari sepeda motor. Tak lupa saya melihat para ibu dan bapak yang rela meninggalkan aktifitasnya untuk hadir di lapangan ini. Antusiasme warga seperti ini menyadarkan saya bahwa kita masih punya rasa nasionalisme itu.
Otak ini membayangkan bagaimana perjuangan para pahlawan dalam melawan penjajahan. Beruntung, diakhir sesi upacara kami disuguhi lagu-lagu nasional yang lebih menggugah kecintaan pada bangsa ini, sebut saja lagu Halo-Halo Bandung, Indonesia Pusaka maupun Hari Merdeka. Ahhh, mungkin momen seperti inilah yang bisa menyuntikkan jiwa nasionalisme ini.