Mohon tunggu...
Ofi Sofyan Gumelar
Ofi Sofyan Gumelar Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Warga Kota | Penikmat dan rangkai Kata

Today Reader Tomorrow Leader

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Radio, BNPB, dan Upaya Menyuarakan Sadar Bencana

4 Juli 2017   12:29 Diperbarui: 7 Juli 2017   07:59 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kajian Dampak Bencana di Indonesia (Sumber: kompas.id)

"Wisatawan yang terluka berdiri 50 meter dari kawah. Larangan selalu disampaikan, tetapi para wisatawan tetap ingin menikmati lebih dekat"

Demikian pernyataan Arief Rahman, Kepala Pelaksana Harian BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Banjarnegara, mengenai 17 wisatawan yang menjadi korban letusan Kawah Sileri di Desa Kepakisan, kawasan Dieng yang terjadi pada hari minggu, 2 Juli 2017 kemarin (Kompas, 3/7/2017).

Apa yang disampaikan Arief menjadi bukti betapa lemahnya budaya sadar bencana di masyarakat kita. Korban seharusnya bisa dihindari apabila masyarakat sudah memiliki kesadaran dan kesiagaan yang tinggi terhadap potensi bencana yang mengintai mereka. Ternyata larangan dan himbauan akan potensi bahaya bencana tak cukup kuat membuat masyarakat sadar terhadap risiko bencana disekitarnya.

Perihal rendahnya budaya sadar bencana di masyarakat pernah dikaji litbang Kompas pada tahun 2010. Merujuk kajian Kompas saat letusan gunung Merapi tahun 2010, ternyata kesadaran masyarakat dilokasi bencana terhadap mitigasi bencana masih rendah, kejadian bencana dianggap sebagai kutukan dan hukuman akibat dosa manusia.  Kompas juga menyebut ratusan triliun harus terbuang sia-sia sebagai dampak bencana alam di seluruh Indonesia (Kompas, 21/3/2017).

Kajian Dampak Bencana di Indonesia (Sumber: kompas.id)
Kajian Dampak Bencana di Indonesia (Sumber: kompas.id)
Fakta diatas terasa ironis, mengingat Indonesia termasuk negara yang memiliki risiko tinggi terhadap bencana alam jika melihat letak geografisnya. Indonesia yang berada pada pertemuan 3 lempeng tektonik, (Australia, Pasifik dan Euroasia) menyebabkannya menjadi daerah yang rawan gempa tektonik. Kita juga berada pada jalur cincin api pasifik yang memiliki rangkaian gunung api aktif di dunia. Ada sekitar 240 buah gunung berapi dengan 70 persennya masih terhitung aktif. Belum lagi potensi bencana alam lainnya seperti tsunami, tanah longsor, banjir dan angin puting beliung.

Pada sisi lain, keragaman sosial budaya, etnis, agama dan preferensi politik yang harusnya menjadi kekayaan bangsa juga berpotensi menjadi sumber bencana sosial, seperti konflik antar komunitas bahkan teror. Isu SARA serta fanatisme kelompok dan agama yang semakin meruncing akhir-akhir ini tak bisa dianggap sepele. Seperti halnya bencana alam, konflik sosial dan teror juga seringkali menimbulkan korban jiwa, kerusakan infrastruktur serta terganggunya kehidupan sosial ekonomi rakyat.

Besarnya risiko bencana seperti tersebut diatas bergantung pada kemampuan kita mengenali, memahami dan mensikapi potensi bencana yang ada. Sikap siaga dan tanggap terhadap fenomena bencana akan ditentukan oleh pengenalan dan pemahaman kita terhadap berbagai fenomena potensi bencana yang mengintai setiap saat. Pada titik ini, kita perlu mengakui kita lemah soal ini. Mencermati berbagai bencana yang terjadi tahun-tahun lalu, Kita lebih banyak merespon bencana setelah bencana itu terjadi. Kita lebih berfokus pada penyelamatan korban, bukan pada bagaimana mencegah terjadinya korban.

Bencana Yang Berulang Tidak Membuat Masyarakat Sadar Bencana (Sumber: kompas.id)
Bencana Yang Berulang Tidak Membuat Masyarakat Sadar Bencana (Sumber: kompas.id)
Lahirnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana membawa perubahan paradigma dari tanggap darurat menjadi pengurangan risiko dalam mengelola Bencana di Indonesia. BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) kemudian ditunjuk sebagai institusi yang bertanggung jawab melaksanakan amanat undang-undang ini.

Salah satu kebijakan yang dilakukan BNPB dalam mengedukasi dan sosialisasi siaga bencana ini adalah membuat sandiwara radio yang disiarkan oleh lebih dari 80 radio di seluruh Indonesia. Sandiwara Radio berjudul Asmara di Tengah Bencana ini kini memasuki musim kedua.

Tak bisa dipungkiri pilihan menggunakan radio sebagai media edukasi bencana sangat tepat. Radio itu murah, ia bisa dijalankan dengan tenaga baterai yang mudah dibeli di warung, sehingga bisa tetap diputar walaupun di wialyah yang tak ada jaringan listrik. Radio itu ringkas sehingga lebih fleksibel dibawa kemana pun. Sinyal radio itu lebih kuat menembus tebing-tebing bukit, dimana sebagaian pemukiman warga bermukim.

Karakteristik radio seperti diatas membuatnya lebih familiar buat mereka yang tinggal jauh di pelosok dan terpencil. Umumnya masyarakat seperti inilah yang sangat rentan dan berisiko besar menjadi korban bencana. Terlebih, areal permukiman mereka justru biasanya dekat dengan episentrum bencana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun