Mohon tunggu...
Ofi Sofyan Gumelar
Ofi Sofyan Gumelar Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Warga Kota | Penikmat dan rangkai Kata

Today Reader Tomorrow Leader

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Radio, BNPB, dan Upaya Menyuarakan Sadar Bencana

4 Juli 2017   12:29 Diperbarui: 7 Juli 2017   07:59 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sandiwara Radio Untuk Edukasi Sadar Bencana (Sumber: BNPB)

Pada saat terjadi bencana pun radio terhitung relatif tak terganggu menyapa masyarakat. Ketika bencana melumpuhkan jaringan listrik, memutuskan jaringan telefon dan mematikan koneksi internet , frekuensi radio tetap lancar. Karena itulah, ketika terjadi bencana radio menjadi saluran komunikasi yang efektif bagi penyampaian informasi bencana maupun untuk menghibur korban bencana.

Pentingnya peran radio sebagai media informasi penanggulangan bencana terlihat dari lahirnya beberapa radio komunitas berbasis mitigasi bencana di beberapa daerah rawan bencana. Di Dusun Deles, Klaten lahir Radio Komunitas Lintas Merapi FM yang rutin menyampaikan informasi seputar kondisi merapi melalui reporter lapangan mereka. Informasi ini disampaikan disela-sela program hiburan. Di Bantul ada Swadesi FM yang rutin berkomunikasi dengan Tim SAR Parangtritis dan BMKG Yogyakarta terkait penyampaian informasi peringatan dini bagi aktifitas gunung merapi.

Soal edukasi bencana melalui sandiwara radio ini juga telah dilakukan di beberapa negara lain. Di Filipina ada sandiwara berjudul Tindong Kita! yang artinya tumbuh bersama, yang mengambil setting cerita tentang sebuah keluarga yang tertimpa bencana angin taifun. Di kawasan Amerika latin, the International Strategy for Disaster Reduction (ISDR) bekerja sama dengan beberapa lembaga lain memproduksi radionovela berjudul Tiempo de Huracanes, (Times of Hurricanes) yang sukses diputar di beberapa negara, seperti Venezuela, Ekuador dan Republik Dominika.  

Radionovela Tiempo De Huricanes (Sumber: Cidbinema.hn)
Radionovela Tiempo De Huricanes (Sumber: Cidbinema.hn)
Dengan latar belakang pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang tergolong masih rendah terhadap kebencanaan, maka langkah BNPB membuat program edukasi bencana lewat sandiwara radio bisa menjadi langkah efektif. Tahu sendiri, kita paling malas jika diajari sesuatu secara langsung layaknya belajar di kelas. Bagi warga biasa, seminar, semiloka atau training tak begitu kuat dampaknya secara luas dalam membangun budaya sadar bencana. Perlu pembelajaran secara tak langsung dan kontinyu melalui sesuatu yang mereka suka. Faktanya, pendengar radio lebih senang mendengar program hiburan atau musik dan malas mendengarkan siaran berita.  

Dengan setting jaman kerajaam Mataram, Asmara di Tanah Bencana berkisah tentang polemik kisah percintaan dua insan yang berbeda kasta yang diracik dengan intrik dendam, kesetiaan dan kejujuran. Ditengah setting perang masa pemerintahan Sultan Agung pada saat terjadinya letusan gunung Merapi inilah BNPB mencoba menyisipkan informasi mengenai mitigasi dan hidup harmoni dengan potensi bahaya bencana.

Sandiwara radio yang dibuat BNPB sepertinya mampu membawa masyarakat kembali bernostalgia pada periode 90an awal saat beberapa sandiwara radio legendaris diputar. Anda yang masa kecilnya hidup di periode tersebut pastilah tahu dan mungkin salah satu penggemar serial radio seperti Saur Sepuh atau Tutur Tinular. Asmara di Tengah Bencana yang ceritanya tak jauh berbeda dengan sandiwara-sandiwara radio tahun 90an tersebut tentu mampu mengobati kerinduan masyarakat tersebut. Dibuatnya sekuel lanjutannya di tahun ini menjadi bukti kesuksesan sandiwara radio ini.

Klaim BNPB bahwa sandiwara radio ini mampu menyedot perhatian pendengar radio hingga mencapai 43 juta orang adalah hal yang menarik. Saya sendiri awalnya skeptis bahwa radio masih mendapat perhatian warga sebagai media informasi mereka. Ternyata, saya salah.

Survey Radio Announcer Measurement (RAM) yang dirilis Nielsen pada November 2016 lalu membuktikan bahwa radio masih mendapat tempat di masyarakat. Survey yang mengambil sampel di 11 kota besar Indonesia ini menyebut penetrasi pendengar radio mencapai 38 persen dibanding media lain, seperti televisi, surat kabar dan internet.

Lantas bagaimana caranya meningkatkan peranan radio dalam rangka membangun budaya sadar bencana bagi masyarakat? Setidaknya, ada beberapa strategi yang bisa diambil BNPB untuk menjawab pertanyaan ini.

Pertama, membuat variasi cerita Sandiwara radio dengan menyesuaikan kearifan lokal serta potensi bahaya sesuai daerah dimana sandiwara tersebut diputar. Kita tahu potensi bencana di Indonesia bukan hanya letusan gunung berapi saja. Misal, untuk daerah pesisir potensi bencana tsunaminya akan lebih besar dibanding letusan gunung berapi sehingga plot cerita serta informasi bencana yang disampaikan pun sebaiknya lebih fokus seputar tsunami. Termasuk juga meyisipkan cerita kearifan lokal, seperti smog di pesisir Simeulue di Aceh serta Teteu di Mentawai sebagai peringatan dini akan terjadinya tsunami.

Kedua, membuat program yang melibatkan interaksi pendengar radio lebih lanjut. Ini bisa dilakukan dengan membuat kuis maupun diskusi seputar cerita sandiwara radio yang ditayangkan. Tentu kontennya bisa lebih difokuskan pada informasi seputar kebencanaan yang dibahas dalam sandiwara radio tersebut. Tujuannya agar pendengar radio punya motivasi untuk lebih serius menyimak materi kebencanaan yang terdapat pada sandiwara yang mereka dengarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun