“Biodiversity, saving these tiny fragments of amazing beauty to conserve wildlife and plant species and to show our children. We do not need to rape and pilage every last centremitre of this planet for mans greed,” (Kerry Scarveris)
Andai saja Leonardo DiCaprio tidak liburan ke Kawasan Leuser, Aceh pada bulan maret 2016 lalu, saya mungkin tak akan menyadari ada ‘sesuatu’ pada kawasan ekosistem tersebut. Dibalik pemberitaan khas infotainment, berbarengan dengan kedatangan DiCaprio juga mencuat isu negatif seputar ancaman terhadap kelestarian kawasan ekosistem Leuser.
Leuser merupakan kawasan dengan luas lebih dari 6,5 juta hektar yang terdiri dari hutan tropis dataran rendah dan berbukit. Leuser memiliki lahan gambut seluas lebih dari 460 ribu hektar yang kaya akan karbon. Yang membuatnya sangat spesial adalah disini terdapat 105 spesies mamalia, 382 jenis burung, dan 95 spesies reptil dan amfibi. Leuser juga menjadi rumah terakhir bagi spesies langka sumatera seperti harimau, orangutan, badak, gajah, macan dahan dan beruang madu. Disini pula menjadi habitat bagi bunga terbesar dan tertinggi, Rafflesia dan Amorphophallus, serta dipenuhi beragam pohon langka lainnya. Tak heran, ilmuan dan konservationist kelas dunia menyebut ekosistem Leuser sebagai “high concervation value”.
Mengingat pentingnya fungsi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) ini, pemerintah kemudian menetapkan KEL sebagai Kawasan Strategis Nasional yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Sebelumnya, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pemerintah Nasional telah mengamanatkan Leuser untuk dikelola dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian dan pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari. Ini termasuk larangan pemberian izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser ini.
Adalah RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Aceh 2013-2033 yang menjadi kekhawatiran masyarakat yang peduli pada kelangsungan KEL ini. RTRW yang dituangkan dalam Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tersebut ternyata tidak mengakomodir Kawasan Ekosistem Leuser sebagai salah satu dari dari empat Kawasan Strategis Nasional yang ada di Aceh. Ini menjadi ancaman karena dengan tidak adanya KEL pada RTRW Aceh, pemerintah daerah seperti membuka pintu bagi kegiatan usaha untuk beraktifitas di Kawasan ini, mengingat KEL tidak lagi menjadi kawasan lindung.
Seperti diketahui, RTRW merupakan instrumen yang menjadi arahan bagi pembangunan wilayah selama kurun waktu 20 tahun ke depan. Didalamnya telah diplot peruntukan ruang/lahan pada daerah-daerah yang ada dalam wilayah tersebut, wilayah mana saja yang dapat dikembangkan dan mana saya yang menjadi kawasan yang harus dilindungi.
Polemik RTRW Aceh semakin berkembang manakala ditemukan adanya beberapa hal yang tak sesuai ketentuan dalam proses penyusunan maupun isi substansi RTRW ini. Penyusunan RTRW Aceh ini telah menabrak beberapa peraturan dan undang-undang diatasnya. Meminjam istilah Jaya Suprana, penulis menyebutnya sebagai kelirumologi RTRW Aceh. DIbawah ini adalah beberapa kelirumologi yang terdapat dalam RTRW Aceh 2013-2033 tersebut:
1. Penyusunan RTRW Aceh tidak menghiraukan Evaluasi Rancangan Perda dari Kemendagri.
Sebagaimana proses penyusunan Perda pada umumnya, penyusunan Perda/Qanun tentang RTRW harus melalui Evaluasi dari pemerintah pusat, termasuk Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) serta adanya kewajiban gubernur untuk menyempurnakan rancangan perda berdasarkan evaluasi pemerintah pusat tersebut . Ketentuan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Qanun Aceh nomor 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh tersebut ditetapkan pada tanggal 31 Desember 2013, sementara hasil evaluasi Kemendagri yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 650-441 Tahun 2014 Tanggal 14 Februari 2014, tentang Evaluasi Rancangan Qanun Aceh Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tahun 2014-2034. Keputusan Mendagri tersebut disampaikan kepada Gubernur Aceh dengan Surat No. 050/1162/IV/Bangda, Tanggal 20 Februari 2014.
2. RTRW Aceh 2013-2033 ternyata berlaku surut sejak ditetapkan.
Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 ini ditetapkan pada tanggal 31 Desember 2013, dimana perda tersebut mengatur RTRW Aceh yang berlaku sejak tahun 2013 hingga tahun 2033. Dimana kelirumologinya? Yaa, RTRW ini berlaku surut untuk tahun 2013 yang ketika ditandatangani terhitung kurang dari 24 jam lagi. Padahal Perda termasuk peraturan yang tidak dapat berlaku surut, sesuai dengan azas non retroaktif.
3. Dalam Qanun RTRW Aceh, Kawasan Ekosistem Leuser tidak disebutkan dalam pasal penetapan kawasan strategis
Dalam Qanun RTRW Aceh Pasal 47 menyebutkan tentang penetapan kawasan strategis yang terdiri dari kawasan strategis nasional dan kawasan strategis aceh. Namun dalam penjabarannya, Kawasan Ekosistem Leuser tidak termasuk dalam kawasan strategis yang dimaksud dalam qanun ini. Padahal penetapan KEL sebagai Kawasan Strategis Nasional telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008, serta tata batasnya telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 190/Kpts-II/2001, Tentang Pengesahan Batas Kawasan Ekosistem Leuser di Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Tidak dicantumkannya KEL dalam RTRW tentu saja sebuah kekeliruan. Ini berarti RTRW disusun tanpa melihat ketentuan peraturan sebagaimana disebut diatas. padahal jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, pada pasal 150 disebutkan keharusan memasukkan KEL dalam pengaturan peraturan daerah. Artinya keberadaan KEL adalah mutlak harus diperhatian, bukannya dihilangkan dalam RTRW Aceh tersebut.
4. Karena ditetapkan sebelum adanya rekomendasi evaluasi dari Kemendagri, beberapa pasal lain dalam RTRW ini masih belum sesuai dengan ketentuan peraturan diatasnya. Setidaknya terdapat 27 rekomendasi yang diberikan oleh Kemendagri dalam evaluasinya. Tentu saja ini membuat substansi isi RTRW tersebut menjadi keliru secara peraturan.
Kekhawatiran terhadap kerusakan KEL bukannya tanpa alasan. Jauh sebelum RTRW Aceh ini ditetapkan, aksi perusakan terhadap kawasan ini telah lama berlangsung. Adalah logis jika kemudian masyarakat menduga bahwa pemerintah daerah tidak pro pada perlindungan KEL saat mereka menemukan RTRW Aceh yang seharusnya melindungi kawasan ini malah menghapusnya dari pola ruang provinsi ini. Poin 3 pada kelirumologi RTRW Aceh diatas bisa menjadi indikasinya.
Temuan Tim Kajian Tata Ruang Aceh (Tim KTRA) menyebutkan dalam RTRW Aceh tersebut terdapat 242 ribu Hektar hutan yang diusulkan untuk dirubah peruntukannya, sebagian menjadi Areal Peruntukan Lain (APL) yang bisa digunakan untuk aktifitas perkebunan, tambang atau kegiatan usaha lainnya. Tentu saja ini menjadi indikasi bahwa perambahan hutan Kawasan Ekosistem Leuser secara legal sangat mungkin terjadi dalam beberapa tahun ke depan.
Apa saja ancaman yang bisa mengganggu kelestarian Leuser ini? Seiring waktu berjalan, beberapa fakta memperlihatkan adanya invasi terhadap kawasan KEL ini telah terlihat semenjak RTRW ini ditetapkan. berikut adalah beberapa hal yang bisa menggambarkan betapa ancaman itu nyata adanya dan terus berlangsung hingga kini.
Ekspansi Industri Perkebunan Kelapa Sawit
Ekspansi Perkebunan kelapa sawit di kawasan Leuser telah dimulai sejak jaman pemerintahan Soeharto. Meskipun sempat terhenti akibat konflik Aceh, namun RAN (Rainforest Action Network) mencatat pemberian ijin perkebunan kelapa sawit kembali banyak diberikan oleh pemerintah daerah sejak tahun 2011, walaupun secara hukum ini melanggar peraturan perundangan. Sementara itu, Diluar ijin yang diberikan resmi oleh pemerintah daerah, pembabatan hutan marak terjadi oleh aktifitas perkebunan sawit illegal.
Berapa jumlah perusahaan yang mengantongi ijin usaha perkebunan sawit ini? Walhi mencatat hingga maret 2015 terdapat 127 perusahaan yang mengantongi ijin Hak Guna Usaha (HGU) dengan total luas mencapai 385.435 Hektar, dengan rincian yang meliputi di Kabupaten Aceh Tamiang (27 perusahaan), Aceh Timur (25), Nagan Raya (15), Aceh Utara (12), Aceh Singkil (10), Subulussalam (9), Aceh Barat (7), Bireuen (7), Aceh Barat Daya (3), Aceh Jaya (3), Aceh Selatan (3), Aceh Tengah (2), Pidie (2), Pidie Jaya (1), dan Aceh Besar (1).
Bisa dibayangkan ketika KEL dikeluarkan dari RTRW sebagai kawasan strategis yang harus dilindungi, bukan tidak mungkin ijin perkebunan di dalam kawasan Leuser akan semakin marak diberikan ke depannya.
Kompas, edisi 14-15 Oktober 2016 melaporkan aksi perambahan Taman nasional Gunung Leuser (TNGL) oleh penduduk. Di kawasan Sei Bamban, Besitang, tiga tahun terakhir ini puluhan warga telah membangun perkampungan dan rumah pondok dari kayu hutan di kawasan taman nasional. Warga menanam tanaman semusim, seperti jeruk, pisang, ubi, terong, juga karet dan sawit. Masyarakat perambahan hutan juga membuka perkebunan sawit dan karet di dalam kawasan TNGL yang hasilnya kemudian ditampung oleh perusahaan yang berada di sekitar kawasan TNGL. Setiap minggunya, sekitar 500 ton dan 50-50 ton karet dihasilkan dari perkebunan illegal ini.
Perambahan hutan ini tentu saja menyebabkan dampak yang mengkhawatirkan. Menurut Manager Forum Kawasan Leuser (FKL), Rudi Putra menyebutkan bahwa Sekitar 16.000 hektar kawasan hutan dari total 376.104 hektar TNGL di Aceh Tenggara beralih fungsi menjadi perkebunan, terutama kebun sawit.
Pembangunan jalan bisa menjadi dilema dalam proses pembangunan. Disatu sisi ini bisa membuka aksesibilitas antar daerah, namun dilain sisi pembangunan jalur transportasi ini bisa menimbulkan kerusakan lingkungan, terutama bagi kawasan konservasi. Dalam rencana pembangunan jalur transportasi di provinsi Aceh, terdapat beberapa jalur yang rencananya akan melintasi KEL.
Beragam kegiatan dan rencana pembangunan seperti disebut diatas tentu saja sangat terasa dampaknya bagi kawasan ekosistem Leuser. Apa saja dampak ekologis yang disebabkan oleh aktifitas pembangunan dan industri tersebut?
Hilangnya Biodiversity dan Terganggunya Habitat Satwa
Dampak awal yang akan terjadi adalah hilangnya keragaman tumbuhan yang hidup di kawasan tersebut. Perlu diingat, di kawasan ini tumbuh beragam jenis tumbuhan langka, seperti Rafflesia dan Ammorphophilus serta beragam tumbuhan besar yang telah berusia ratusan tahun. Ini tentu saja menjadi kerugian jika dilihat dari sisi konservasi alam.
Dampak yang paling terasa adalah ancaman terhadap habitat satwa liar yang hidup di sana. Orangutan, Gajah, Harimau Sumatera dan Badak akan semakin kehilangan menyusut populasinya akibat kehilangan habitatnya. Alih fungsi lahan untuk perkebunan dan pertambangan, serta masuknya akses jalan di kawasan ini menyebabkan ruang hidup mereka semakin menyempit. Disamping itu, ancaman penangkapan liar terhadap mereka akan semakin kerap terjadi.
Potensi Banjir Bagi Wilayah di Sekitar Kawasan
Salah satu fungsi KEL adalah sebagai daerah penyangga dan penahan air. Dengan ditebangnya pohon untuk alih fungsi lahan akan membuat hutan kehilangan fungsinya untuk menahan air. Sebuah studi menyebutkan bahwa Penduduk Aceh di sekitar wilayah KEL melaporkan penurunan debit air 50% di hampir 80% sungai sebagai akibat deforestasi serta alih fungsi lahan KEL. Penurunan debit sungai ini tentu berdampak pada pertanian warga yang sangat bergantung pada pasoka air. Sementara itu hilangnya hutan sebagai penyimpan air juga berpotensi menyebabkan banjir. Menurut Data Walhi, aceh sudah mengalami 1.119 kali banjir pada rentang waktu 2007 hingga 2014.
Isu utama terkait ekspansi perkebunan sawit di lahan gambut adalah meningkatnya produksi gas rumah kaca. Asal tahu saja, lahan gambut memiliki manfaat sebagai penyerap karbon terbesar, sehingga bisa menurunkan efek pemanasan global. Kawasan Ekosistem Leuser memiliki tiga area hutan gambut terbesar, yaitu lahan gambut Tripa, Kluet dan Singil, dimana pada ketiga lokasi tersebut terdapat sejumlah perusahaan kelapa sawit. Ekspansi perusahaan ini dalam memperluas areal kebunnya membuat mereka merambah lahan gambut di ketiga lokasi ini.
Ironis yaa…
Revisi RTRW Aceh
Dengan memperhatikan ancaman yang ada terhadap KEL tersebut diatas, sudah seharusnya pemerintah daerah maupun pusat lebih memperhatikan kelangsungan masa depan Kawasan konservasi ini. Solusi yang bisa ditempuh haruslah sebuah kebijakan yang mampu memuaskan semua pihak, tanpa mengabaikan arti penting dari wilayah konservasi tersebut.
Mengingat pentingnya keberadaan ekosistem dan keanekaragaman hayati, maka sudah seharusnya pemerintah memberikan perlindungan serta payung hukum yang bisa menjamin keberlangsungannya di masa depan. Di Aceh, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) adalah mata rantai utama bagi lingkungan sekitarnya. Upaya untuk melindunginya harus ditempuhdengan tetap memasukkannya dalam perencanaan ruang, serta tidak menurunkan statusnya karena pertimbangan pragmatis.
Ya, langkah pertama yang mendesak untuk segera dilakukan adalah dengan merevisi RTRW Aceh 2013-2033. Apa yang dilakukan beberapa LSM serta aktivis lingkungan mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung perlu mendapatkan apresiasi.
Memperhatikan beberapa hal yang keliru dalam RTRW Aceh tersebut serta hasil evaluasi Kemendagri yang tidak diperhatikan dalam penyusunan RTRW Aceh ini menunjukkan bahwa terdapat banyak kekurangan dalam perencanaan ruang aceh untuk 20 tahun ke depan nanti. Apa yang disampaikan diatas sebagai ancaman terhadap ekosistem ini merupakan bukti bahwa pemerintah perlu segera merevisi dan menyesuaikan RTRW Aceh ini dengan lebih berpihak pada kepentingan konservasi kawasan leuser serta berpedoman pada peraturan yang berlaku.
Dokumentasi GERAM (sumber: youtube HaKa)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H