Mohon tunggu...
Ofi Sofyan Gumelar
Ofi Sofyan Gumelar Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Warga Kota | Penikmat dan rangkai Kata

Today Reader Tomorrow Leader

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Belajar dari Metamorfosis Kota Bandung

25 September 2015   22:04 Diperbarui: 30 September 2015   06:06 1255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="tema Peringatan Hari Habitat Dunia 2015"][/caption]

Tahun ini Hari Habitat Dunia yang akan diperingati tanggal 5 Oktober 2015 mengambil tema Public Spaces for All. Melalui peringatan Hari Habitat Dunia tahun ini, UN Habitat berusaha menyadarkan pemerintah dan juga masyarakat akan pentingnya ruang publik. Pembangunan kota yang terlalu mengarah pada kepentingan ekonomi telah menepikan kebutuhan bagi ruang interaksi warga.

Istilah ruang publik pertama kali dikemukakan oleh Filsuf Jerman, Juergen Habermas dalam bukunya yang berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquire Into a Category of Bourjuis Society yang diterbitkan sekitar tahun 1989. Habermas mengartikan ruang publik sebagai ruang bagi diskusi kritis yang terbuka bagi semua orang yang ditandai oleh tiga hal, yaitu responsif, demokratis dan bermakna.

Dalam lingkup penataan kota, ruang publik dapat diartikan sebagai tempat dimana setiap orang memiliki hak untuk memasukinya tanpa harus membayar uang masuk atau uang lainnya. Dari pengertian ini yang termasuk ruang publik adalah jalan (termasuk pedestrian), tanah perkerasan (pavement), public squares, dan taman (park). Hal ini berarti bahwa ruang terbuka hijau (open space) publik seperti jalan dan taman serta ruang terbuka non-hijau publik seperti tanah perkerasan (plaza) dan public squares dapat difungsikan sebagai ruang publik (Sumber: disini).

Mengingat pentingnya ruang publik sebagai tempat interaksi warga perkotaan, Pemerintah Indonesia kemudian menetapkan kewajiban pengadaannya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Secara spesifik, dalam pasal 28 disebutkan kewajiban kota menyediakan fasilitas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH). Jadi jelas, setiap kota wajib memiliki Ruang Publik.

Ketika peraturan bicara kewajiban penyediaan 30% ruang publik dari luas kota, tampaknya kota-kota di Indonesia kesulitan memenuhinya. Kita melihat, ruang publik yang tersedia di kota-kota besar di Indonesia sangat terbatas. Ini tentu saja menjadi pertanyaan sekaligus tantangan besar, begitu sulitkah untuk menghadirkan ruang publik yang mudah dijangkau warga kota? Apa saja sebenarnya tantangan yang ada dalam pengembangan ruang publik tersebut? Serta bagaimana solusinya?

Untuk menjawab pertanyaan diatas, tak ada salahnya kita menengok metamorfosis kota Bandung, terutama untuk belajar bagaimana konsep membangun ruang publik yang nyaman bagi warganya. Mengapa harus Bandung?

Dalam kurun waktu 2 tahun terakhir, banyak perubahan yang terjadi di kota ini. Bandung tengah menggeliat dari kota yang hanya mengandalkan pembangunan sporadis tak berkonsep menjadi kota yang nyaman untuk warganya. Pembangunan yang dulunya mengarah pada pola hedonisme yang ditandai maraknya pembangunan berbagai pusat perbelanjaan kini lebih mengarah pada aspek humanis dengan hadirnya berbagai ruang publik (terutama taman) di  sudut-sudut kota. Berkaca dari metamorfisis Bandung yang relatif cepat ini, kita bisa mempelajari bagaimana Bandung menjawab tantangan pembangunan ruang kota yang baik bagi warganya.

[caption caption="Aktifitas Warga di Salah Satu Taman Kota Bandung (Sumber Foto: Dadang Suherna)"]

[/caption]

Tantangan pertama dalam menghadirkan ruang publik adalah soal political will dari walikotanya. Sudah bukan rahasia lagi jika orientasi pembangunan kebanyakan para pemimpin hasil pemilihan langsung di Indonesia adalah money oriented, bagaimana caranya mengembalikan ongkos politik yang demikian besar saat pemilukada. Inilah yang mendorong mereka lebih condong melakukan pembangunan yang lebih memiliki nilai ekonomis. itulah mengapa dibandingkan membangun ruang publik, pemberian rekomendasi pembangunan mall atau tempat hiburan lainnya dirasa lebih menguntungkan.

Sejak awal terpilih, Walikota Bandung Ridwan Kamil telah mencanangkan salah satu program kerjanya adalah membangun sebanyak mungkin ruang publik. konsep ini dilatarbelakangi oleh target pembangunan kota yang lebih bertujuan meningkatkan nilai indeks kebahagiaan warga kota Bandung. Menurutnya, kondisi warga Bandung saat itu mengarah pada ciri kota yang sakit, dimana warganya enggan berinteraksi diluar rumah. Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan ruang publik yang representatif. Latar belakangnya sebagai arsitek kota semakin memperkuat political will-nya ini.

Bagaimana dengan walikota lain dengan latar pendidikan jauh dari arsitektur atau perencanaan kota? Ini bukan masalah. Jauh sebelum Bandung, kita bisa melihat keberhasilan Surabaya dalam menata kotanya serta bagaimana kota tersebut menyediakan banyak ruang publik. Sebelum periode walikota Risma, adalah walikota Surabaya Bambang DH yang telah meletakkan dasar tata kota Surabaya hingga bisa menjadi seperti sekarang ini. Background akademisnya adalah bidang pendidikan, bukan perencana kota. Jadi, soal latar belakang pendidikan pemimpin kota bukanlah poin pentingnya.

Ini menjadi peringatan bagi kita. Jika kita ingin hak atas ruang publik di kota kita terpenuhi, mulai sekarang mari cermati dulu program-program yang ditawarkan oleh mereka yang maju mencalonkan diri jadi pemimpin kota nantinya. Adakah niat untuk membangun ruang publik yang memadai dalam program kerja mereka? Atau jangan-jangan hanya menambah sesak kota dengan pembangunan gedung-gedung beton kapitalis?

Tantangan kedua yang selalu mengemuka adalah soal pembiayaan. Banyak pemerintah kota mengklaim APBD mereka tidak mencukupi untuk membangun banyak ruang publik. Dana yang tersedia sudah banyak tergerus oleh urusan lain yang dirasa lebih urgent. Untuk hal ini, lagi-lagi Bandung memberi contoh bagaimana solusinya.

Persoalan APBD yang pas-pasan juga dihadapi oleh pemerintah kota Bandung. Namun, alih-alih mengabaikan pembangunan ruang publik, secara kreatif kota ini mencari sumber pembiayaan lain. Bandung kemudian menyasar pembiayaan dari dana CSR (corporate Social Responsibility) beberapa perusahaan besar baik nasional maupun multinasional. Bahkan demi mengejar dana CSR ini, walikotanya rela terbang menjemput bola ke berbagai Negara. Menurut Ridwan Kamil, di luar sana banyak perusahaan multinasional yang kebingungan mengucurkan dana CSR mereka. Inilah peluang yang coba ditangkap oleh kota Bandung.

Sebagai gambaran, selama tahun 2014 kota Bandung mampu mengumpulkan dana sebanyak 18 Milyar sebagai sumbangan pihak ketiga (salah satunya dari CSR) untuk revitalisasi taman kota. Sedangkan untuk tahun 2015 sumbangan dana pihak ketiga sampai bulan Juli saja mencapai 25 Milyar yang peruntukannya lebih difokuskan untuk bersolek dalam menyambut Konferensi Asia Afrika (KAA). Dampaknya? Lihat saja sepanjang jalur Asia Afrika, kini lebih tertata dan menarik.

[caption caption="Warga Bersantai di Sepanjang Jl. Asia Afrika (Sumber foto kiri: FB Ridwan Kamil; Foto kanan: galamedianews.com)"]

[/caption]

Katanya Bandung juga berencana menggunakan skema PPP (Public Private Partnership) untuk pembangunan kota mereka. Nantinya melalui skema pembiayaan ini pembangunan beberapa project besar di kota ini akan didanai oleh swasta terlebih dahulu, mungkin termasuk pembangunan ruang publiknya. Meskipun masih debatable, setidaknya ini menjadi gambaran bagaimana kota ini berupaya mencari sumber alternatif pembiayaan pembangunan daripada hanya berpaku pada APBD saja.

Permasalahan ketiga yang sering mengemuka adalah soal penyediaan lahan yang terbatas. Soal ini Bandung mengambil langkah dengan melakukan revitalisasi taman kota eksisting, serta mempergunakan lahan kosong maupun terlantar untuk disulap menjadi ruang publik. Sebagai gambaran, Bandung sebenarnya telah memiliki 604 taman kota yang tersebar di berbagai wilayah. Dari jumlah ini, ditargetkan akan direvitalisasi sebanyak 40 taman menjadi taman tematik. Sebagian taman sudah berwujud sebagaimana kita lihat di kota Bandung saat ini. Lihatlah bagaimana Taman Alun-Alun Bandung dirubah menjadi hamparan karpet hijau tempat para orang tua bercengkerama dengan anak-anaknya.

[caption caption="Revitalisasi Taman Alun-Alun Bandung (Sumber foto kiri: bisnisislam.kemenag.co.id; foto kanan: beritasatu.com)"]

[/caption]

Soal pemanfaatan lahan terlantar, tengok bagaimana Bandung menyulap area kolong jembatan jalan layang Pasupati yang tadinya digunakan sebagai lahan parkir liar serta tempat mangkal anak jalanan berubah menjadi taman tematik. Disana berdiri Taman Jomblo, Taman Film serta area bermain Skateboard. Lahan yang dulunya terkesan gelap, kumuh dan menyeramkan diubah menjadi taman yang atraktif.

[caption caption="Metamorfosis Kolong Jalan Layang Pasupati (Sumber Foto Kiri: infobandung.co.id; foto kanan: tempo.co)"]

[/caption]

Kemudian, soal bagaimana cara menarik masyarakat untuk mau datang ke ruang publik? Ini urusan bagaimana kota mengerti kemauan warga. Kerap ditemui di beberapa kota ruang publik hanya berupa sebuah area yang bersih, rapi namun minim aktifitas manusia. Banyak ruang publik yang dibangun hanya untuk enak dipandang tapi susah diakses warga. Pasti ada yang salah dalam designnya atau mungkin tidak sesuai dengan harapan warganya. Fenomena ini sempat disinggung William H. Whyte dalam tulisannya: What Makes Public Spaces Fail & What makes Them Succeed.

Saat akan membangun berbagai taman tematik, Walikota Bandung terlebih dahulu menanyakan seperti apa sih taman kota yang diharapkan oleh warganya? Dari sini masuk berbagai pendapat masyarakat yang kemudian diwujudkan menjadi taman kota sesuai gambaran taman kota ideal menurut versi masing-masing warga. Bagi mereka yang senang nonton film dan ingin mengenang sensasi nonton layar tancap, silahkan datang ke Taman Film. Hobi musik? Datanglah ke Taman Musik. Hobi makan? Silahkan datang ke Braga Cullinary Night, Cibadak Culinary Night atau Antapani Culinary Night setiap malam minggu. Di tempat tersebut, jalanan untuk sementara ditutup demi menyediakan ruang bagi penikmat kuliner untuk nongkrong bersama. komplit bukan?

[caption caption="Cara Ridwan Kamil Menyerap Harapan Warga Tentang Taman Kota (Sumber: FB Ridwan Kamil)"]

[/caption]

Metamorfosis Bandung dalam menata ruang publiknya kini telah merubah wajah kota ini. Dulu orang enggan datang ke taman. Taman lebih terkesan kusam dan menyeramkan, bahkan beberapa taman lebih dikenal dengan hal-hal negatif seperti tempat mangkal waria ataupun tempat anak muda bertukar narkoba. Kini wajah itu telah berubah, kini semakin banyak warga beraktifitas di taman-taman kota. Sedemikian atraktifnya taman-taman kota ini, bukan hanya warga Bandung saja yang tertarik datang kesana, warga luar kota pun banyak yang tertarik untuk menikmatinya. Mall menjadi kalah popular oleh taman.

Lebih jauh, indikator keberhasilan penataan ruang publik ini bisa dilihat dari nilai indeks kebahagiaan warga Bandung setahun terakhir. Survey yang dirilis BPS Kota Bandung tahun 2014 menunjukkan angka indeks kebahagiaan warga kota bandung adalah 68,90 yang berada pada kategori Bahagia (50-75). Terbayang jika pembangunan ruang publik ini semakin masif beberapa tahun ke depan, bukan tidak mungkin angkanya akan meningkat menjadi sangat bahagia (level 75-100). Ini menjadi pertanda bahwa ruang publik di kota ini telah berhasil mengembalikan salah satu kebutuhan dasar warga kota: tempat untuk berinteraksi sosial secara bebas. Rasanya tak salah jika kota ini menjadi media pembelajaran bagi kota lain dalam upaya menyediakan ruang publik yang nyaman bagi warga mereka.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun