Mohon tunggu...
Ofi Sofyan Gumelar
Ofi Sofyan Gumelar Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Warga Kota | Penikmat dan rangkai Kata

Today Reader Tomorrow Leader

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mengayuh Jejak di Pesisir Kyushu

5 Juni 2015   14:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:21 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minggu, 14 September 2014 merupakan salah satu tanggal bersejarah dalam lembaran kisah hidup saya. Hari itu, saya berhasil menjajal sesutu yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Gowes Jarak Jauh. Kegiatan bersepeda kali ini boleh dibilang istimewa bagi saya. Setidaknya ada tiga alasan yang mendasarinya. Pertama,  ini adalah gowes jarak jauh pertama bagi saya, menempuh jarak 64 Km pulang pergi bagi seorang pesepeda amatir seperti saya amatlah jauh. Kedua, gowes jarak jauh ini saya lakukan di negeri orang. Jarang-jarang kan bisa dapat pengalaman seperti ini… Ketiga, ini adalah pengalaman pertama gowes jauh dengan sepeda pertama yang saya miliki. Serius, sepeda pertama saya justru saya beli di negeri orang, tepatnya di Jepang. Maklum, disini gak ada angkot yang bisa berhenti setiap saat di mana saja. Sementara, sebelumnya, selama di Indonesia saya tak punya riwayat suka bersepeda.

Sekedar sekilas info saja, periode tahun 2013-2014 kemarin Alhamdulillah saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di negeri Jepang, tepatnya di kota Miyazaki. Buat yang masih asing dengan nama Miyazaki, kota ini adalah salah satu prefektur di Pulau Kyushu. Tentu saja, selain bisa merasakan iklim studi di sana, bonusnya saya juga bisa merasakan pengalaman lainnya, salah satunya kesempatan untuk melakukan gowes menjelajah sisi kecil pesisir pulau Kyushu ini.

Pagi buta di hari minggu yang cerah itu, saya bersama kedua  orang teman mulai mengayuh sepeda kami dari apato kami di sekitar kampus. Sengaja kami memulai sejak pagi buta dengan harapan agar punya banyak waktu untuk menikmati suasana daerah yang kami lewati. Tidak lupa kami mempersiapkan bento dan perbekalan lain secukupnya untuk mengganjal perut selama perjalanan nanti. Salah satu teman saya bahkan membawa sekardus kecil penuh perbekalan, takut-takut gak nemu warung di tengah jalan kalau kelaparan. hehe…

Tujuan gowes kali ini adalah menjajal jalur pesisir pantai sisi timur laut pulau Kyushu, atau tepatnya dikenal sebagai jalur Nichinan coastline, sebuah jalur yang menghubungkan kota Miyazaki hingga kota kecil Nichinan. Jalur ini  kami pilih karena di sepanjang pesisir ini ada lumayan banyak objek wisata yang bisa kami kunjungi. Sebut saja Pantai Aoshima, Sun Messe, hingga Udo Jingu yang lumayan terkenal di sini.

Jalanan masih begitu lengang ketika kami mulai memasuki jalan raya. Hanya beberapa mobil yang membawa alat selancar dan jetski yang kadang melintas. Rupanya mereka bersiap-siap melewati hari liburnya di pantai. Benar saja, begitu kami melintasi pantai Aoshima, lokasi wisata pertama di jalur Nichinan coast line ini, tampak beberapa peselancar sedang mempersiapkan peralatannya. Sementara itu, pengunjung lainnya asyik jogging di sepanjang sisi pantai ini.

Oh ya,…sepedaan di sini dijamin aman, karena sepanjang jalan sudah difasilitasi dengan jalur sepeda. Di beberapa titik bahkan diberi separator besi, jadi gak perlu khawatir bakal terserempet mobil atau motor. Terus, jalanannya pun mulus banget, hampir-hampir gak nemu jalan berlubang. Lagian, pengemudi kendaraan bermotor di sana pada sopan-sopan tuh, kalau kita mau melintas jalan, dengan rendah hati mereka rela menghentikan kendaraannya sebentar, sekedar memberi kesempatan pada pesepeda yang akan melintas.

Tidak jauh dari Pantai Aoshima, terdapat dermaga Shirahama. Pagi itu deretan kapal-kapal nelayan yang menambatkan sauhnya di dermaga terlihat lenggang, tidak tampak kesibukan yang berarti. Mungkin karena hari minggu banyak nelayan yang libur. Entahlah.

Perjalanan kami lanjutkan dengan melewati route 220, jalan nasional yang terbentang di sepanjang jalur Nichinan coast line. Beberapa kilometer pertama didominasi dengan jalur menanjak sehingga cukup menguras tenaga kami. Selepas dermaga Shirahama ini, rupanya bentang alam sedikit berubah dari pesisir pantai menjadi jalanan berbukit. Bagi saya yang menggunakan sepeda lipat, rute ini cukup merepotkan juga, butuh tenaga ekstra untuk menaklukkan jalan menanjak. Kadang kalau tanjakannya sangat kurang ajar, terpaksa sepeda pun didorong. Lumayan menguras keringat. Ah, andai saat itu saya memakai sepeda gunung seperti Thrill,… tentu akan lebih mudah menaklukkan jalanan menanjak ini.

Setelah hampir setengah jam mengayuh sepeda, kami beristirahat sejenak di Horikiri Pass. Ini adalah semacam rest area bagi para pengguna jalan di route 220. Menariknya, tempat ini terletak di sebuah tebing yang menjorok ke laut. Dari lokasi ini kita bisa menikmati samudera Pasifik yang terbentang di sisi kiri rest area ini.

Selepas beristirahat, gowes kami lanjutkan melalui jalanan kecil melewati pemukiman penduduk, sedikit keluar dari jalur jalan raya. Bentang alam pantai diselingi bukit-bukit kecil menjadi pemandangan sepanjang jalan ini. Alhamdulillah, jalanan didominasi dengan turunan, lumayan bisa mengurangi sedikit tenaga untuk mengayuh sepeda. Asyiknya melewati jalur pemukiman penduduk ini, tak banyak mobil yang berseliweran.

Melewati daerah Uchiami, kami menemukan terowongan pertama sepanjang 273 m. Tercatat setelah itu, kami menemukan setidaknya tiga terowongan lagi di perjalanan ini. Nichinan Futo tunnel sepanjang 1,3 Km adalah terowongan terpanjang yang kami temui. Cukup asyik juga ternyata gowes melewati terowongan-terowongan ini.

Terowongannya sendiri dilengkapi fasilitas jalur sepeda dengan separator berupa pagar besi. Selain itu, lampu-lampu di terowongan juga sangat terang, sehingga kita tidak perlu khawatir kesulitan melihat ketika melintasinya. Hanya saja, asap knalpot mobil sedikit membuat pengap udara ketika kita berada di tengah terowongan.

Destinasi wisata berikutnya yang kami temukan adalah Sun Messe. Tempat ini merupakan replika situs Ahu Akivi suku Moai di Chile. Sejatinya situs Ahu Akivi merupakan tempat keramat yang terdiri dari deretan tujuh patung raksasa untuk pemujaan suku Moai di pulau Rapa Nui, sebuah pulau kecil di samudera pasifik dan termasuk dalam otoritas negara Chile. Situs ini sudah diakui sebagai salah satu warisan dunia oleh UNESCO. Konon kabarnya, untuk membuat replika yang sama persis dengan aslinya, pengelola Sun Messe sampai mendatangkan pemahat asli suku Moai. Konon lagi nih, kalau ditarik garis lurus pada peta, dari lokasi Sun Messe melewati Samudera Pasifik maka di sudut jauh sana di benua amerika akan berhadapan langsung dengan pulau Rapa Nui, Chile. Hmm, coba cek ah….

 

Untuk masuk ke lokasi wisata ini, kami harus merogoh kocek lumayan dalam. 700 yen per orang, plus gak boleh bawa sepeda. Halahhh,… gak bisa foto-foto sama sepedanya dong,…

Setelah beristirahat cukup lama di Sun Messe, gowes kami lanjutkan kembali. Destinasi berikutnya adalah Udo Jingu, sebuah kuil yang berlokasi di tebing pinggir pantai. Perjalanan Kali ini kembali kami menemukan tantangan yang cukup berat. Selain kontur jalan yang terdiri dari banyak tanjakan-tanjakan curam, sepanjang jalur ini tidak tersedia jalur khusus pesepeda. Kali ini kami harus ekstra hati-hati mengingat lalu lintas mulai padat. Ditambah lagi gerimis sedikit membumbui kayuhan kaki kami kali ini. Dalam hati, saya berdo’a jangan sampai deh hujan gede, bisa repot soalnya. Tak ada tempat idela buat berteduh. Di sisi kiri kanan jalan tak ada rumah penduduk atau bangunan permanen lainnya dijalur ini. Murni hutan pinus lebat di sepanjang jalur ini.

Tak terasa kami pun sampai di Udo Jingu. Sedikit melirik ke jam tangan, rupanya sudah jam 12 siang. Berarti untuk menempuh perjalanan 32 Km ini dibutuhkan waktu 6 jam dengan bersepeda, sudah termasuk istirahat di beberapa titik. Lumayan lama juga.

Udo jingu sendiri merupakan kuil Shinto yang terletak di sebuah gua kecil yang berada di sebuah tebing yang menjorok ke laut. Ukiran-ukiran alami stalaktit dalam gua menambah keindahan kuil ini. Sayangnya karena penerangan yang temaram sedikit menimbulkan kesan seram tempat ini. entah memang disengaja atau tidak, tapi ketika memasuki gua ini memang tidak tersedia penerangan yang cukup.

 

Atraksi menarik di tempat ini adalah aksi lempar batu ke sebuah karang yang terletak tidak jauh dari kuil. Mitosnya, jika kita berhasil melempar tepat ke sebuah lingkaran di tengah karang, keinginan kita bisa terkabul. Ternyata, di Jepang juga ada mitos-mitos seperti ini. Saya sendiri lebih tertarik melihat tingkah para pengunjung yang melakukan aksi ini. Bagaimana serunya ekspresi mereka ketika berhasil atau gagal melempar tepat sasaran menjadi tontonan yang menarik bagi saya.

Bagi saya, apa yang tersaji di Udo Jingu ini bisa menjadi titik kulminasi pencapaian gowes jauh kali ini. Pemandangan tebing pantai nan mempesona serta rupa kuil di dalam gua pinggir pantai mampu melepas segala penat setelah cukup jauh mengayuh sepeda. Belum lagi atraksi lempar batu disana,…rasanya sebanding dengan rasa lelah mengayuh sepeda sejauh ini. Biarpun masih terbayang betapa jauhnya perjalanan balik ke apato kami, tapi kami puas.

Kadang kepuasan setelah berhasil menaklukkan sebuah tantangan  jauh lebih berharga dibanding lelah yang didapat setelah berjuang melewati tantangan tersebut. Dari cerita bersepeda ini saya bisa mengerti mengapa begitu banyak orang yang kecanduan untuk melakukan sesuatu yang ekstrim dalam hidup mereka, meskipun itu menguras tenaga dan pikiran mereka. Itulah mungkin mengapa banyak orang yang rela mendaki gunung tertinggi, atau naik motor keliling dunia, atau kegiatan lain yang kadang bikin kita bertanya, ngapain sih capek-capek? Sebagai seorang amatir, gowes kali ini sudah cukup lumayan jauh bagi saya. Hikmah lainnya, kini begitu kembali ke Indonesia, saya mulai sering membuat schedule buat gowes jauh. Ahh, sepertinya saya kecanduan...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun