Ya tentu tidak bisa karena itu hanya akan menjatuhkan derajat sains pada pseudosains yang karakter simpulan dan penjelasannya sudah tidak lagi empiristik dan tidak terukur berdasar hukum fisika formal.
Seperti kita tahu penjelasan sains terkait obyek material itu selalu dikonstruks oleh hukum fisika atau mengacu pada hukum fisika sehingga rumusannya dapat dijelaskan secara hukum fisika.Tapi yang terjadi ketika sains via neurosains bicara aspek kejiwaan manusia itu tidak dikonstruks oleh atau berdasar hukum fisika melainkan lebih banyak berdasar hal hal yang sifatnya hipotesa teoretis. Neurosaintis lebih banyak bicara hipotesa neurosains ketimbang misal mengungkap fakta empirik yang langsung dapat diamati secara inderawi (kalau klaim pakai metode sains,karena metode sains dasarnya empirisme)
Hukum fisika itu dapat di konstruksikan atau dijelaskan BILA menyangkut atau "pemain"nya obyek fisik-materi sedang jiwa manusia karena bukan hasil proses biologis-kimiawi-material maka penjelasan berdasar hukum fisika nyatanya tidak bisa diberlakukan pada fenomena atau kasus kejiwaan
Hukum fisika tak bisa dipakai menjelaskan fenomena kejiwaan karena jiwa bukan hasil atau ekses pergerakan material.Beda dengan ketika sains menjelaskan tubuh biologis manusia maka disana hukum fisika dapat digunakan untuk menjelaskannya karena yang bermà in dalam proses biologis adalah unsur materi
Nah maka sebab itulah agama,ilmu psikologi,filsafat menjelaskan manusia dari beragam aspek lain yang sains tidak bisa menjelaskannya secara tuntas
Nah yang terjadi pada manusia tentunya hanya salahsatu kasus.Ketika bicara alam semesta pun terjadi kasus serupa.Sains misal sudah tak bisa mengupas lagi apa itu kemaha tak terbatasan diluar alam semesta yang terbatas,maka agama menyingkap lebih jauh apa itu kemaha tak terbatasan dibalik alam semesta yang terbatas
......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H