Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kritik God Delusion Part I

3 November 2020   06:24 Diperbarui: 3 November 2020   07:00 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Facebook/hopefulagnostic

Dan orang orang yang memeluk agama dengan kuat karena unsur pengalaman-hasil mendalami secara lebih intens mereka adalah orang orang yang dapat berbahagia dengan keyakinannya.mereka adalah orang yang kukuh memegang iman,mereka tak mau menukar iman bahkan dengan keuntungan duniawi yang melimpah

Tentu saudara ingat kisah para martir iman dimasa silam,mereka yang rela kehilangan harta benda bahkan nyawa demi imannya, sebuah fenomena yang sulit diterangkan secara memadai oleh teori psikologi apapun, tapi dapat difahami secara spiritual bahwasanya itu terjadi karena mereka memiliki kemelekatan yang kuat dengan rasa bahagia ketika mereka memegang iman tersebut.

mereka bukan orang orang yang dangkal secara spiritual sehingga mudah merasa terkekang berada dalam lembaga agama dan lalu tumbuh rasa 'tidak bahagia' sebagaimana dibayangkan Dawkins

Kemudian tidak sedikit kaum intelektual yang masuk kedalam suatu agama sebagai hasil analisisnya secara keilmuan terhadap kitab suci dan mereka menemukan kebenaran yang sesuai dengan ilmu yang mereka kuasai atau seorang yang menjadi ahli agama karena mendalami kitab sucinya secara intelektual dari berbagai aspek-sisi serta sudut pandang yang mereka kuasai. Sebab itu tak bisa hanya ateisme yang merasa berhak bikin klaim 'kepuasan intelektual'

Sebagaimana tak bisa hanya atheisme yang berhak klaim atas kewarasan dan moralitas. mengapa ?

Karena parameter 'kewarasan' itu sendiri dapat berbeda beda.beda cara pandang maka akan beda pula dalam memaknainya.sebagai contoh; teis dan ateis pasti akan beda dalam mrmaknainya karena mereka berlawanan pendapat

Dalam pandangan ateis 'orang waras' dan standar kewarasan tentu adalah berdasar kacamata sudut pandang mereka dan sebaliknya akan demikian menurut teis, mereka memiliki kacamata sudut pandang yang berbeda dalam menilai kewarasan

Demikian pula dengan moralitas. moralitas teis dan ateis walau misal secara formal berangkat dari dalil filsafati yang sama tetapi ujungnya akan tetap berbeda.mereka akan berbeda dalam menilai, menempatkan,membingkai serta meng aplikasikannya dalam kehidupan

Sebagai satu contoh,kasus kartun penghinaan terhadap nabi yang dibuat oleh Charlie hebdo, bila mereka di tanya atau singgung soal moralitas dari perilaku (menghina) tersebut maka mereka juga bisa bikin klaim tersendiri atas moral,mereka juga mungkin tak akan mau mengakui bahwa apa yang mereka lakukan adalah tidak bermoral.

Tetapi moralitas yang mereka pegang adalah standar moral yang telah di bingkai oleh prinsip kebebasan yang tidak dibatasi nilai benar-salah.ekpressi kebebasan tanpa nilai kecuali sekedar mengekpresikan bentuk kebebasan itu sendiri

Beda dengan moralitas dalam pandangan teis-orang ber iman mereka membingkainya dengan prinsip benar salah,baik buruk yang ada dalam ajaran agamanya dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sebagai bentuk pelaksanaan ajaran agamanya-bukan sekedar moral atas nama moral tapi moralitas atas nama Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun