Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Perihal Kemandirian Akal dari Ketergantungan Mutlak pada Input Dunia Indrawi

1 Juli 2020   20:56 Diperbarui: 1 Juli 2020   21:07 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Images : Jalan Akhirat.wordpress.com

 Ini adalah lanjutan dari tulisan kemarin perihal kemandirian akal dari ketergantungan secara mutlak pada input dunia inderawi

Ketika seorang atheis menulis di medsos 'langsung percaya adalah suatu kebodohan dan melihat dulu baru percaya maka itu adalah ciri akal sehat'

Dan saya langsung menanggapi dengan membuat tulisan yang intinya menekankan bahwa prinsip demikian atau prinsip 'lihat dulu baru percaya' adalah prinsip yang melemahkan akal, prinsip yang membuat akal terpenjara oleh prinsip empirisme. Prinsip yang membuat akal menjadi sempit, prinsip yang membuat akal nerada dibawah dominasi dunia inderawi.

Tapi diluar dugaan reaksi muncul atas pandangan saya tersebut,seseorang menyanggah pandangan saya dan berkata apa yang salah dengan pernyataan (diduga) ateis tersebut ?

Memang benar prinsip 'lihat dulu baru percaya' itu dari satu sisi bukanlah prinsip yang salah dan banyak digunakan orang di zaman ini misal oleh seorang yang hendak membeli barang atau sedang mengejar suatu berita yang memerlukan verifikasi empiris atau intinya digunakan oleh semua orang yang sedang mencari atau mengejar ngejar kebenaran yang bersifat empiris.

Artinya prinsip 'lihat dulu baru percaya' itu berlaku di dunia ilmu empirik yang acuan atau parameternya memang adalah kebenaran empiris,dan dalam dunia sains prinsip demikian malah menjadi suatu postulat yang menjadi kewajiban untuk dipegang sehingga sesuatu tidak bisa disebut benar apabila belum terbukti secara empirik atau tak layak dipercaya bila bukti empiriknya tidak ada.

Pandangan sains ini wajar dan benar sebab yang dikejar sains adalah murni hanya kebenaran fisik-empirik dan bukan kebenaran metafisis,bukan kebenaran rasional, bukan kebenaran menyeluruh juga bukan kebenaran hakiki sehingga bila ada saintis yang mencari cari kebenaran non fisik-non empirik maka artinya ia sudah berada diluar ranah sains

Perhatikan masalah ini:

Hanya saya meminta pembaca tulisan saya memperhatikan masalah ini yang saya awali dengan pertanyaan pertanyaan berikut ;

Apakah dalam kehidupannya manusia hanya bergumul dengan persoalan persoalan empirik ? yang niscaya memerlukan bukti empirik langsung itu ?

Bukankah akal fikiran atau akal budi manusia dihadapkan pada dua permasalahan sekaligus yaitu permasalahan fisik dan non fisik ?

Bukankah dalam kehidupannya seorang manusia dewasa yang telah bergumul dengan banyak permasalahan kehidupan wajar kalau misal mempermasalahkan atau mempertanyakan apa itu hakikat serta makna hidup ? Apa tujuan manusia hidup serta akan kemana setelah manusia mati ... dlsb.persoalan persoalan yang akan berkaitan dengan masalah ketuhanan serta keagamaan.

Artinya persoalan yang ditemukan serta digumuli manusia dalam kehidupannya bukanlah persoalan sainstifik semata tetapi persoalan persoalan metafisis yang sudah tak bisa di jawab oleh baik oleh sains maupun filsafat dan wajar apabila manusia yang bergumul dengan permasalahan seperti ini lalu bersentuhan dengan agama terlepas dari apakah kelak mau percaya atau tidak karena persoalan persoalan demikian adalah persoalan yang sudah pakem dibahas oleh agama.

Nah kembali pada prinsip ateis diatas alias prinsip 'lihat dulu baru percaya' apakah prinsip demikian bisa digunakan di wilayah persoalan metafisis ? karena ciri khas persoalan metafisis adalah tidak lagi dipandu oleh pembuktian pembuktian empirik secara langsung tidak sebagaimana ketika masih di ranah sains.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa bila prinsip 'lihat dulu baru percaya' itu digunakan sebagai acuan di ranah metafisika maka itu akan membunuh potensi akal dalam mengelola perdoalan metafisika atau setidaknya melemahkan posisi akal.

Karena harus diketahui bahwa akal diciptakan Tuhan bukan semata untuk menghadapi serta menggumuli persoalan fisik tapi juga untuk menghadapi serta menggumuli persoalan metafisik.

Nah ketika masih di ranah ilmu fisik atau di ranah sains maka akal masih dipandu oleh pembuktian pembuktian empirik secara langsung dimana bila bukti empirik langsung tidak ada maka sudah terbiasa kalau manusia berhipotesa atau ibarat bayi maka ia masih disusui-belum bisa lepas dari prinsip empirisme.

Dalam dunia sains tugas akal adalah melapis tugas dunia indera karena yang dituju adalah sebatas mencari kebenaran empirik-bukan kebenaran akali-rasional

Tetapi ketika sudah masuk wilayah metafisis dan berhadapan dengan beragam problem metafisis yang bersifat kompleks maka akal tak bisa lagi bergantung secara mutlak pada input dunia inderawi. 

Kalau ada orang yang hendak ikutan mengkaji persoalan metafisik tapi yang digunakan sebagai acuan adalah prinsip sainstifik-prinsip empirisme tentu itu salah jalan karena yang dicari dan dituju oleh metafisika atau hal hal serta persoalan metafisis adalah bentuk kebenaran metafisis semacam kebenaran rasional-kebenaran hakiki-bukan lagi kebenaran empirik sebagaimana dalam sains

Artinya ketika sudah tiba di ranah persoalan metafisis maka akal harus mandiri-tak boleh lagi terikat secara mutlak pada input dunia  inderawi dan otomatis prinsip 'lihat dulu baru percaya' itu tak berlaku lagi di dunia persoalan metafisis.

Artinya menerapkan prinsip 'lihat dulu baru percaya' di ranah metafisika itu hanya akan melemahkan akal ketika akal harus mulai lepas dari ketergantingan secara mutlak pada input dunia inderawi.

Tapi sebagaimana kita tahu kaum ateis-materialist sudah biasa kalau ketika mereka berhadapan dengan persoalan persoalan metafisis mereka masih saja selalu menuntut pembuktian pembuktian langsung secara empirik'artinya akal mereka masih selalu terikat dengan prinsip empirisme-sainstifik.

Padahal segala suatu itu ada tempatnya,sains ada tempatnya demikian pula agama.manusia harus bijak kapan serta dimana prinsip sainstifik digunakan dan kapan prinsip agama yang harus dikedepankan.

Dengan kata lain, bila prinsip lihat dulu baru percaya itu berlaku di dunia sains maka tidak demikian dalam agama,dalam agama untuk percaya bukan harus lihat dulu tapi harus menggunakan akal fikiran terlebih dahulu tentu dengan sebelumnya mengamati fenomena fenomena yang terjadi di dunia empirik agar tidak jatih pada ilusi atau halusinasi,karena yang dikejar agama bukan kebenaran empirik tapi kebenaran metafisik dibalik seluruh fakta empirik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun