Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Apa "Dosa" Seorang Immanuel Kant?

8 Januari 2020   09:15 Diperbarui: 8 Januari 2020   11:47 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuhan menciptakan akal tiada lain agar manusia menjadi makhluk yang dapat berpikir, sehingga kalau ada perintah Tuhan yang menyuruh manusia untuk berpikir sebagaimana tercantum dalam kitab suci, maka itu pasti salah satunya yang melibatkan akal.

Apa yang harus dipikirkan oleh akal?

Dalam kitab suci tentu jelas ada tuntunannya. Intinya untuk mengolah baik persoalan fisik maupun metafisik atau untuk memahami baik persoalan fisik yang berada dalam wilayah pengalaman maupun wilayah metafisik yang sudah berada di luar wilayah pengalaman.

Sehingga kalau lalu ada manusia yang dengan mengatasnamakan akal atau nalar lantas mengklaim 'agama berlawanan dengan akal' maka akal yang bagaimana yang ia maksudkan sehingga akal itu tidak dapat memahami agama.

Sebab jangan-jangan manusia mempersempit wilayah jelajah akalnya sendiri sehingga lalu menjadi sulit memahami agama? Untuk itu, kemungkinan yang dapat terjadi adalah, bukan agama yang tidak masuk akal tetapi akal itu sendiri yang dipersempit sehingga lalu menjadi tidak bisa memahami agama.

Sebab sungguh kontradiktif misal bila di satu sisi Tuhan memerintahkan manusia untuk berpikir dengan akalnya tapi di sisi lain akalnya sulit memahami konsep-konsep tentang Tuhan atau yang Tuhan deskripsikan dalam kitab suci.

Masalahnya yang lalu terjadi adalah, manusia suka memformat akal sedemikian rupa sehingga akal lalu menjadi tak bisa leluasa bergerak di wilayah metafisik karena dibatasi oleh sistem atau aturan keilmuan yang dibuat sendiri oleh manusia.

Sehingga kalau lalu akal itu menjadi tidak bisa berjalan atau bekerja sebagaimana yang menjadi keinginan sang penciptanya maka kita harus curiga terhadap manusia yang mengotak-atik atau memodifikasi cara berpikir akal itu sehingga ia tak bisa berfungsi sebagaimana seharusnya.

Dan kecurigaan itu patut ditujukan pada dunia filsafat sebab di sanalah ranah manusia berkecimpung mengelola persoalan akal atau mengelola beragam persoalan metafisis yang berkaitan dengan akal.

Misal yang patut dipertanyakan dari filsafat adalah bila ada konsep atau sistem metafisika yang membuat manusia justru menjadi sulit atau tidak bisa memahami Tuhan serta konsep-konsep yang ia deskripsikan dalam kitab suci.

Apa yang dibuat sistem metafisika tersebut terhadap akal sehingga, misal, akal justru menjadi tidak bisa fleksibel dalam mengolah persoalan metafisika atau menjadi tidak bisa bebas lagi menerabas persoalan persoalan metafisika yang bersifat kompleks itu termasuk yang sudah berada di luar wilayah pengalaman dan terutama yang sudah berkaitan dengan masalah ketuhanan.

Atau sistem metafisika yang bagaimana yang membuat Tuhan menjadi seolah terisolasi dari persoalan-persoalan metafisika yang ditemukan oleh manusia, sedang akal itu ketika ia menelusur persoalan-persoalan metafisis menurut agama idealnya justru dapat bertemu dengan konsep-konsep Ilahiah sebagai mitra berpikir, mitra berdialektika dan mitra untuk memperoleh jawaban jawaban metafisis yang tidak bisa ditemukan oleh manusia.

Lahirnya faham nihilisme adalah salah satu contoh dimana ketika manusia mengolah persoalan persoalan metafisis ia tak mau ber mitra atau tak mau menggandeng Tuhan untuk menyelesaikan persoalan metafisis yang ia kelola sehingga mereka mengeliminasi Tuhan dari persoalan metafisis.

Bila lalu kaum nihilis itu mengklaim 'mengatas namakan akal' maka kita mesti bertanya,apa yang dilakukan kaum nihilis terhadap akal itu sehingga sang akal lalu tidak bisa memahami Tuhan serta konsep metafisis yang Tuhan deskripsikan dalam kitab suci?

Apakah eksisnya paham nihilisme ini masih berkaitan dengan hadirnya sistem metafisika Immanuel Kant yang membatasi cara kerja akal dengan unsur pengalaman sehingga akal tidak bisa menerobos wilayah-wilayah di luar pengalaman?

.................

Inti persoalan terkait masalah akal.

Pertama harus kita ketahui bahwa ada dua institusi yang sama sama berbicara tentang akal dan termasuk problem metafisik yang dihadapi akal yaitu filsafat dan agama Ilahiah.

Sains juga tentu institusi yang berbicara tentang akal, tapi dalam sains wilayah kerja akal tentu dibatasi oleh metodologi keilmuan yang ada dalam sains itu sendiri, sehingga dalam sains akal itu hanya diarahkan bekerja mengolah serta mengelola persoalan keilmuan yang ada di wilayah fisik dan tidak ditujukan untuk mengolah serta mengelola persoalan keilmuan yang ada di dunia metafisik.

Tugas sains adalah sebatas mencari kebenaran empirik bukan kebenaran rasional sebagaimana yang dicari dalam filsafat klasik. Kebenaran empirik adalah kebenaran yang sebatas berbicara obyek yang ada di wilayah fisik sedang kebenaran rasional cakupannya lebih luas sebab juga berbicara masalah metafisis termasuk yang sudah berada diluar wilayah pengalaman

Sehingga kalau ada orang yang mendeskripsikan rasionalitas, prinsip akali, konsep kebenaran menurut akal TAPI metodologi yang ia gunakan murni hanya mengacu pada kaidah sainstifik, murni hanya mengacu pada unsur pengalaman maka artinya ia telah melakukan malfungsi akal dan telah melakukan modifikasi terhadap akal sehingga akal menjadi sulit menerabas persoalan persoalan metafisis yang lebih bersifat kompleks dan ini tentu berlawanan dengan prinsip agama dalam memandang serta mengelola akal

Memenjarakan akal dalam penjara empirisme ! sejatinya itulah 'dosa besar' yang dibuat filsafat terhadap agama yang imbasnya masih dapat kita rasakan hingga saat ini,sehingga ketika agama bicara hal metafisis masih selalu saja ada orang orang yang mempermasalahkan bukti empirik langsungnya,padahal sebelumnya agama menyatakan obyek metafisis yang dibicarakan itu berada di luar wilayah pengalaman

Dengan kata lain, menurut sang penciptanya akal itu peralatan untuk memahami persoalan keilmuan baik yang bersifat fisik maupun metafisik,untuk merumuskan atau memahami baik kebenaran yang bersifat empiris maupun rasionalistik, untuk mengelola persoalan keilmuan yang bersifat empiris yang ada dalam wilayah pengalaman dan persoalan metafisis yang sudah berada diluar wilayah pengalaman

Sehingga karena fungsi akal yang multi dimensi itulah maka perlu untuk memperluas wilayah jelajah akal dan bukan malah mempersempitnya agar akal itu dapat fleksibel berjalan ke berbagai arah baik yang bersifat fisik maupun metafisik

Sehingga kalau akal dalam cara kerja nya misal harus dibatasi oleh unsur pengalaman maka jelas akal tak akan bisa bekerja menerabas persoalan metafisika yang sudah berada di luar wilayah pengalaman.

Sedang sebagaimana kita ketahui bahwa dalam agama kita akan dibawa oleh Tuhan menerabas persoalan persoalan metafisika yang sudah berada di luar wilayah pengalaman. Konsekuensinya apabila manusia membuat sistem metafisika yang intinya bersifat membatasi cara kerja akal dengan prinsip keilmuan tertentu misal prinsip keilmuan yang memutlakkan akal-proposisi akali-konsep akali mutlak harus mengacu atau berdasar pada unsur pengalaman langsung maka otomatis akal tidak akan bisa mengelola serta menyelesaikan persoalan persoalan metafisika yang obyeknya sudah berada diluar wilayah pengalaman

Sehingga dengan memberlakukan system 'metafisika empiristik' tersebut otomatis Tuhan-agama menjadi terisolir dari bahasan keilmuan metafisis dan terlempar pada apa yang disebut oleh Kant sebagai noumena atau 'wilayah misteri yang tidak bisa diketahui' sehingga lalu akal hanya dapat berjalan di wilayah fenomena-wilayah sebatas yang dapat dialami.lalu wilayah noumena itu di stigmakan sebagai bukan wilayah ilmiah dan karenanya akal dilarang masuk kesana

Sedang dalam pandangan Tuhan tak selalu hal metafisis yang ada diluar fenomena itu masuk wilayah noumena yang tidak dapat atau tidak boleh diketahui sebab bila Tuhan memandang hal itu sebagai suatu yang urgent untuk difahami maka hal itu harus dibukakan bukan dibuat misteri yang mustahil diketahui 

Lalu ketika ada orang yang membuat proposisi metafisis yang tidak berdasar pada fenomena - pengalaman langsung yang dapat di alami manusia maka proposisinya itu lalu dianggap sekedar 'omong kosong'. nah konsekuensinya,bila lalu ada orang yang berbicara tentang konsep konsep Ilahiah atau proposisi metafisis yang dinyatakan kitab suci maka,apakah lantas harus divonis hanya omong kosong metafisis hanya karena tidak berdasar pengalaman langsung ?

Lalu pertanyaannya,apakah misi para nabi membawa konsep konsep metafisis yang hanya berisi omong kosong ?

Dalam sudut pandang agama sebenarnya suatu fitnah sekaligus bencana besar bila dari dunia filsafat lahir system metafisika yang justru lalu berimbas kepada manusia menjadi sulit memahami konsep kebenaran Ilahi yang menjadi inti daripada agama lalu misal membelokkan persoalan agama ke persoalan moral seolah agama hanya persoalan serta ajaran moral

Karena mesti diketahui dalam ranah agama Ilahi moralitas atau persoalan moral itu bukan intisari agama melainkan hanya salah satu cabang yang berkaitan dengan humanitas - kemanusiaan.intisari agama adalah konsep kebenaran Ilahiah yang untuk dapat memahaminya diantaranya memerlukan kerja akal.dan konsep kebenaran Ilahi itu hanya dapat difahami oleh akal bila cara berfikir akal itu fleksibel-tidak satu arah-tidak orientasi hanya ke dunia fisik-tidak terikat secara mutlak oleh unsur pengalaman

Lalu apa yang terjadi setelah akal itu dibawa mengembara ke dunia filsafat dan diantaranya lalu kita menemukan system filsafat yang malah berakibat membuat cara bekerja akal itu bukan malah makin meluas tapi malah makin menyempit dan akhirnya malah ada yang berujung nihilisme yang merupakan faham yang sebenarnya membunuh eksistensi akal, karena prinsip akali walau bagaimanapun  akan berlawanan dengan prinsip nihilisme

Memang tidak semua system filsafat bersifat mempersempit gerak langkah akal,para failosof klasik justru banyak menemukan kategori kategori serta system yang justru dapat memperluas, yang 'pure reason' istilahnya.tapi apa daya di era Immanuel kant rasionalitas pure reason itu dibatasi karena dianggap melahirkan proposisi proposisi metafisis yang sudah tidak ilmiah dan puncaknya di era filsafat kontemporer konsep metafisika hasil olah fikir para failosof klasik itu malah di dekonstruksi.

Sehingga sebenarnya lebih sulit memahami agama di ranah filsafat kontemporer ketimbang di ranah filsafat klasik, karena di ranah filsafat kontemporer peralatan ilmah yang menopang rasionalitas yang diantaranya dapat digunakan untuk menjelaskan persoalan ketuhanan dan konsep konsep Ilahiah itu sudah tak dijadikan parameter keilmuan yang utama lagi

................

Apakah Immanuel kant 'ikut berdosa' ?

Kalau kita cermati dan dalami kitab suci maka disana tak ada deskripsi bahwa rumusan akal harus berdasar pengalaman langsung tidak sebagaimana system metafisika yang ada dibuat manusia dalam dunia filsafat

Karena Tuhan tahu bahwa persoalan metafisika yang dihadapi oleh manusia itu teramat kompleks meliputi wilayah yang dapat dialami dan wilayah yang tidak dapat dialami sehingga bila membatasi cara kerja akal dengan prinsip empirisme maka otomatis jalan akal menuju persoalan metafisika yang sudah berada diluar pengalaman akan tertutup dan wilayah diluar pengalaman itu pun akan menjadi wilayah mysteri yang seolah mustahil diketahui

Dan artinya bagaimana cara agar akal itu bisa leluasa dapat menerabas serta lalu mengolah dan mengelola persoalan persoalan metafisis yang sudah berada diluar wilayah pengalaman tentu akal harus dibekali dengan prinsip prinsip keilmuan yang non empiris

Sehingga kalau ada orang yang mendeskripsikan rasionalitas,prinsip akali,konsep kebenaran menurut akal TAPI metodologi yang ia gunakan murni hanya mengacu pada kaidah empirik-sainstifik,murni hanya mengacu pada unsur pengalaman maka artinya ia telah melakukan mal fungsi akal dan telah melakukan modifikasi terhadap akal sehingga akal menjadi sulit menerabas persoalan persoalan metafisis yang lebih bersifat kompleks dan ini tentu berlawanan dengan prinsip agama dalam mengelola akal

Dengan kata lain,menurut sang penciptanya akal itu berfungsi untuk memahami persoalan keilmuan baik yang bersifat fisik maupun metafisik,untuk merumuskan atau memahami baik kebenaran yang bersifat empiris maupun rasionalistik

Sehingga kalau akal atau cara kerja akal itu misal harus dibatasi oleh unsur pengalaman maka jelas akal tak akan bisa bekerja menerabas persoalan metafisika yang sudah berada di luar wilayah pengalaman

Sedang sebagaimana kita ketahui bahwa dalam agama kita akan dibawa oleh Tuhan menerabas persoalan persoalan metafisika yang sudah berada diluar wilayah pengalaman dan untuk hal ini filsafat dapat membantu untuk menemukannya disamping peralatan keilmuan yang berasal dari kitab suci tentunya

Dan yang harus difahami bahwa intisari dari agama Ilahi itu sebenarnya adalah konsep kebenaran Ilahiah-bukan konsep moral atau moralitas yang hanya salah satu bagan dari ajaran agama yang berkaitan dengan prinsip prinsip kemanusiaan

Sehingga keliru misal kalau ada yang menyatakan bahwa moralitas atau prinsip moral adalah inti dari agama sehingga fokus persoalan metafisis ketika membicarakan Tuhan lalu di fokuskan ke masalah moral

Inti ajaran agama adalah konsep kebenaran Ilahiah yang untuk memahaminya memerlukan peran serta akal dan akal itu tak akan bisa memahami konsep kebenaran Ilahiah apabila cara kerjanya dibatasi oleh prinsip keilmuan yang bersifat membatasi misal membatasi nya dengan prinsip empirisme atau prinsip berdasar pengalaman langsung sehingga proposisi akali yang tidak berdasar pengalaman lantas dianggap tidak valid atau tidak ilmiah atau malah dianggap hanya omong kosong

Dan karena akal yang akan digunakan untuk menelusur persoalan metafisis terkait konsep kebenaran Ilahiah itu harus merupakan akal yang diperluas-akal yang tidak terpenjara prinsip prinsip empirisme maka segala bentuk system metafisika yang bersifat membatasi-mengekang-mengerangkeng akal sehingga akal tidak bisa leluasa bekerja di wilayah metafisis yang sudah berada diluar wilayah pengalaman dan apalagi yang mendekonstruksi instrument keilmuan yang menopang cara kerja akal tentu harus ditolak

Para agamawan tentu akan menolak kalau persoalan Tuhan-agama lalu dibelokkan ke sebatas problem moral seolah itulah inti agama dan seolah itulah satu satunya solusi mengeluarkan agama dari problem filsafati yang mengelilinginya

Karena seperti yang telah saya utarakan,persoalan yang paling essensial dari agama adalah konsep kebenaran Ilahiah atau kebenaran menurut cara pandang Tuhan dan itu mustahil dapat manusia temukan kalau manusia mengerangkeng akal nya di wilayah empiris

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun