Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Subyektif Itu Belum Tentu Tidak Benar!

15 November 2019   23:30 Diperbarui: 16 November 2019   09:23 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Images : makassar.tribunnews.com

"Itu subyektif..." Kalimat itu sering kita dengar dan terutama banyak ber lalu lalang di arena perdebatan.kalimat itu dapat berarti penolakan halus terhadap argument lawan, bisa merupakan alternatif dari menyatakan 'itu tidak benar'. Kalimat itu juga cara untuk memposisikan argument lawan pada posisi yang lemah secara keilmuan alias tidak valid

Dan yang dituduh memberi argument subyektif biasanya tidak senang hati-merasa terpojok dan merasa dijatuhkan

Istilah 'subyektif' dalam pandangan umum memang sering berkonotasi atau dimaknai secara negatif secara keilmuan, sering dipandang sebagai suatu yang diluar wilayah ilmiah. Istilah subyektif juga sering diparalelkan dengan hal yang bersifat individual seperti pengalaman pribadi-pandangan atau perasaan pribadi

Sub*jek*tif /subjktif/ a mengenai atau menurut pandangan (perasaan) sendiri, tidak langsung mengenai pokok atau halnya-KBBI

Lawan dari subyektif adalah 'obyektif' maknanya bisa menunjuk pada suatu yang dapat diterima umum tanpa kecuali sebagai kebenaran,suatu yang kebenarannya dianggap mutlak-pasti. 

Secara ekstrim kaum materialist menarik makna 'obyektif' ke wilayah 'empirik' dan memparalelkan istilah obyektif dengan 'empirik'.dengan cara demikian maka tertutup sudah hal yang bersifat pribadi dapat masuk ke ranah keilmuan,dan dengan definisi obyektif yang ekstrim seperti itulah materialist menolak misal argumentasi yang datang dari wilayah filsafat serta agama

Arti kata objektif di KBBI adalah: mengenai keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi.

Tapi penggunaan istilah itu pada kenyataannya sebenarnya melampaui apa yang telah tertulis secara sederhana dalam kamus karena lalu berkembang menjadi alat untuk membuat vonis yang berkaitan dengan kategori benar-tidak benar, ilmiah-tidak ilmiah,real-tidak real

Nah kalau instrument ilmu pengetahuan yang mendasar seperti konsep 'realitas'-konsep 'kebenaran' kita posisikan sebagai obyek yang dihadapkan pada terminologi obyektif-subyektif maka sebenarnya satu kaki akan ada di wilayah obyektif dan satu kaki lagi akan berada di wilayah subyektif

Dengan kata lain,mustahil realitas serta kebenaran itu seluruhnya-100 persen bersifat obyektif.karena sebagiannya akan masuk wilayah subyektif

Jadi keliru besar kalau ada yang beranggapan bahwa hanya yang obyektif yang dapat diposisikan sebagai kebenaran-bernilai ilmiah

Mengapa ? ...jawabnya ternyata adalah terletak pada keterbatasan manusia itu sendiri.manusia adalah makhluk terbatas sehingga tak bisa menangkap sesuatu secara keseluruhan

Realitas misal,satu bagan akan nampak pada manusia sebagai suatu yang obyektif tapi bagan lain akan masuk kedalam wilayah individu per individu

Atau secara kaidah keilmuan yang namanya realitas serta kebenaran itu mustahil dapat ditangkap oleh semua orang secara keseluruhannya secara sama persis lalu dirumuskan sebagai 'obyektif' karena sebagian dari realitas dan kebenaran itu akan ada yang masuk ke wilayah subyektif-wilayah pengalaman serta pemahaman individu bahkan  essensi nya justru hanya dapat dihayati dalam wilayah subyektifitas itu

Analoginya,ketika serombongan orang masuk menuju kedalam ruangan sebuah gedung besar maka secara umum mereka tahu bagaimana bentuk bangun gedung itu tapi ketika sudah berada dalam gedung dan masing masing masuk ke ruangan yang berbeda beda maka bagan lain dari gedung itu ada ditangan individu individu yang memasukinya

Jadi baik secara ontologis maupun epistemologis sebenarnya keliru kalau memparalelkan kebenaran hanya dengan hal yang obyektif-yang dilihat dan difahami secara bersama sebab bagan lain dari kebenaran akan masuk ke wilayah pengalaman per individu

Contoh lain,agama mengajarkan doktrin doktrin yang bersifat umum,dan doktrin itu difahami bersama (oleh yang meyakininya) sebagai konsep kebenaran baku.tapi perluasan dari doktrin itu akan masuk ke wilayah pribadi masing masing. atau dengan kata lain bagaimana essensi dari doktrin itu akan ada di wilayah pengalaman masing masing

Dengan penjelasan diatas kita menolak mentah mentah definisi pemahaman obyektif versi kaum materialist yang memparalelkannya dengan suatu yang hanya dapat di verifikasi secara empirik

Makna obyektif versi materialist itu terlalu sempit dan kaku karena menutup sama sekali wilayah pengalaman untuk masuk ke ranah ilmiah dan memandang atau memparalelkan subyektifitas sama sekali dengan hal yang tidak ilmiah dan menolaknya sebagai bagan dari kebenaran

Padahal makna obyektif itu tak seharusnya selalu dimaknai empirik,ada banyak hal non empirik yang dapat difahami serta disepakati bersama sebagai kebenaran. Adanya misal 'cinta, kasih sayang, kebahagiaan, kesedihan' dlsb.semua itu hal abstrak yang biasa masuk ke wilayah pengalaman tapi difahami bersama sebagai kebenaran Ada nya sehingga dapat saja di kategorikan sebagai 'obyektif'

Dan nilai dari suatu pengalaman atau pandangan pribadi pun dapat disebut obyektif apabila memang terjadi secara umum pada banyak orang

Contoh, manusia merasa benci pada kejahatan,itu memang berasal dari perasaan serta pengalaman pribadi tapi karena itu dialami semua orang yang ber hati nurani maka itu dapat kita kategorikan sebagai 'obyektif'

Lalu perasaan sedih karena ditinggal orang yang dikasihi itu juga dapat dikategorikan sebagai 'obyektif' karena memang dialami dan dirasakan secara sama oleh semua orang

Bayangkan kalau makna 'obyektif' itu melulu harus dimaknai sebagai suatu yang empiris maka hal hal yang berasal dari pengalaman pribadi manusia iru akan tidak bermakna secara keilmuan

Padahal istilah oyektif-subyektif itu seharusnya bukan digunakan untuk memilah suatu obyek-permasalahan ke dalam kategori ini benar -ini tidak benar atau ini ilmiah - ini tidak ilmiah tapi untuk membuat kategori antara bentuk kebenaran yang dapat difahami bersama secara langsung dan bentuk kebenaran lain yang masuk kedalam wilayah pribadi

Dan dengan penjelasan ini saya juga bermaksud hendak memposisikan pengalaman pribadi serta hal hal yang berasal dari wilayah pribadi terhormat dan memiliki nilai secara keilmuan. Karena di ranah keilmuan kaum materialist hal itu tertolak sama sekali

Dan sekali lagi yang ingin saya tekankan, bagan dari kebenaran menyeluruh itu akan menyelinap kedalam dunia pengalaman kita masing masing dan itu berharga serta bernilai secara keilmuan walau kaum materialist menolaknya dengan menggunakan istilah 'subyektif'.

Tapi kita tak perlu terprovokasi dengan pemaknaan istilah istilah keilmuan yang dilakukan kaum materialist.mereka misal, memposisikan hal hal metafisis sebagai suatu yang tidak bermakna secara ilmiah karena dipandang tidak memiliki obyektifitas yang oleh mereka diartikan secara sefihak sebagai 'empirik'

Dan sekali lagi ini memang bentuk lain dari pertarungan melawan kacamata sudut pandang materialist yang mana mereka membuat definisi definisi tersendiri dan tanpa sadar kita terjebak kedalam permainan kata serta pemaknaan yang mereka buat

Dan buktinya kata subyektif sering dijadikan pe nihil an-pelenyapan makna-pelenyapan nilai ilmiah dari yang namanya pengalaman pribadi sehingga seolah ia tak memiliki nilai ilmiah sama sekali padahal dalam dunia agama ia memegang peran yang sangat vital,karena hanya dalam wilayah pengalaman pribadi itulah essensi agama dapat difahami

Dan tanpa terasa kita dibawa terjebak dalam cara pandang materialisme ilmiah melalui polarisasi istilah obyektif-subyektif sehingga akibatnya kita menafikan sama sekali hal hal yang non empiris hanya karena dikategorikan 'subyektif'

Dan karena itu pernyataan 'itu subyektif ..' itu sebenarnya belum tentu menunjuk pada suatu yang tidak benar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun