"Itu subyektif..." Kalimat itu sering kita dengar dan terutama banyak ber lalu lalang di arena perdebatan.kalimat itu dapat berarti penolakan halus terhadap argument lawan, bisa merupakan alternatif dari menyatakan 'itu tidak benar'. Kalimat itu juga cara untuk memposisikan argument lawan pada posisi yang lemah secara keilmuan alias tidak valid
Dan yang dituduh memberi argument subyektif biasanya tidak senang hati-merasa terpojok dan merasa dijatuhkan
Istilah 'subyektif' dalam pandangan umum memang sering berkonotasi atau dimaknai secara negatif secara keilmuan, sering dipandang sebagai suatu yang diluar wilayah ilmiah. Istilah subyektif juga sering diparalelkan dengan hal yang bersifat individual seperti pengalaman pribadi-pandangan atau perasaan pribadi
Sub*jek*tif /subjktif/ a mengenai atau menurut pandangan (perasaan) sendiri, tidak langsung mengenai pokok atau halnya-KBBI
Lawan dari subyektif adalah 'obyektif' maknanya bisa menunjuk pada suatu yang dapat diterima umum tanpa kecuali sebagai kebenaran,suatu yang kebenarannya dianggap mutlak-pasti.Â
Secara ekstrim kaum materialist menarik makna 'obyektif' ke wilayah 'empirik' dan memparalelkan istilah obyektif dengan 'empirik'.dengan cara demikian maka tertutup sudah hal yang bersifat pribadi dapat masuk ke ranah keilmuan,dan dengan definisi obyektif yang ekstrim seperti itulah materialist menolak misal argumentasi yang datang dari wilayah filsafat serta agama
Arti kata objektif di KBBI adalah: mengenai keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi.
Tapi penggunaan istilah itu pada kenyataannya sebenarnya melampaui apa yang telah tertulis secara sederhana dalam kamus karena lalu berkembang menjadi alat untuk membuat vonis yang berkaitan dengan kategori benar-tidak benar, ilmiah-tidak ilmiah,real-tidak real
Nah kalau instrument ilmu pengetahuan yang mendasar seperti konsep 'realitas'-konsep 'kebenaran' kita posisikan sebagai obyek yang dihadapkan pada terminologi obyektif-subyektif maka sebenarnya satu kaki akan ada di wilayah obyektif dan satu kaki lagi akan berada di wilayah subyektif
Dengan kata lain,mustahil realitas serta kebenaran itu seluruhnya-100 persen bersifat obyektif.karena sebagiannya akan masuk wilayah subyektif
Jadi keliru besar kalau ada yang beranggapan bahwa hanya yang obyektif yang dapat diposisikan sebagai kebenaran-bernilai ilmiah
Mengapa ? ...jawabnya ternyata adalah terletak pada keterbatasan manusia itu sendiri.manusia adalah makhluk terbatas sehingga tak bisa menangkap sesuatu secara keseluruhan
Realitas misal,satu bagan akan nampak pada manusia sebagai suatu yang obyektif tapi bagan lain akan masuk kedalam wilayah individu per individu
Atau secara kaidah keilmuan yang namanya realitas serta kebenaran itu mustahil dapat ditangkap oleh semua orang secara keseluruhannya secara sama persis lalu dirumuskan sebagai 'obyektif' karena sebagian dari realitas dan kebenaran itu akan ada yang masuk ke wilayah subyektif-wilayah pengalaman serta pemahaman individu bahkan  essensi nya justru hanya dapat dihayati dalam wilayah subyektifitas itu
Analoginya,ketika serombongan orang masuk menuju kedalam ruangan sebuah gedung besar maka secara umum mereka tahu bagaimana bentuk bangun gedung itu tapi ketika sudah berada dalam gedung dan masing masing masuk ke ruangan yang berbeda beda maka bagan lain dari gedung itu ada ditangan individu individu yang memasukinya
Jadi baik secara ontologis maupun epistemologis sebenarnya keliru kalau memparalelkan kebenaran hanya dengan hal yang obyektif-yang dilihat dan difahami secara bersama sebab bagan lain dari kebenaran akan masuk ke wilayah pengalaman per individu
Contoh lain,agama mengajarkan doktrin doktrin yang bersifat umum,dan doktrin itu difahami bersama (oleh yang meyakininya) sebagai konsep kebenaran baku.tapi perluasan dari doktrin itu akan masuk ke wilayah pribadi masing masing. atau dengan kata lain bagaimana essensi dari doktrin itu akan ada di wilayah pengalaman masing masing
Dengan penjelasan diatas kita menolak mentah mentah definisi pemahaman obyektif versi kaum materialist yang memparalelkannya dengan suatu yang hanya dapat di verifikasi secara empirik
Makna obyektif versi materialist itu terlalu sempit dan kaku karena menutup sama sekali wilayah pengalaman untuk masuk ke ranah ilmiah dan memandang atau memparalelkan subyektifitas sama sekali dengan hal yang tidak ilmiah dan menolaknya sebagai bagan dari kebenaran
Padahal makna obyektif itu tak seharusnya selalu dimaknai empirik,ada banyak hal non empirik yang dapat difahami serta disepakati bersama sebagai kebenaran. Adanya misal 'cinta, kasih sayang, kebahagiaan, kesedihan' dlsb.semua itu hal abstrak yang biasa masuk ke wilayah pengalaman tapi difahami bersama sebagai kebenaran Ada nya sehingga dapat saja di kategorikan sebagai 'obyektif'
Dan nilai dari suatu pengalaman atau pandangan pribadi pun dapat disebut obyektif apabila memang terjadi secara umum pada banyak orang
Contoh, manusia merasa benci pada kejahatan,itu memang berasal dari perasaan serta pengalaman pribadi tapi karena itu dialami semua orang yang ber hati nurani maka itu dapat kita kategorikan sebagai 'obyektif'
Lalu perasaan sedih karena ditinggal orang yang dikasihi itu juga dapat dikategorikan sebagai 'obyektif' karena memang dialami dan dirasakan secara sama oleh semua orang
Bayangkan kalau makna 'obyektif' itu melulu harus dimaknai sebagai suatu yang empiris maka hal hal yang berasal dari pengalaman pribadi manusia iru akan tidak bermakna secara keilmuan
Padahal istilah oyektif-subyektif itu seharusnya bukan digunakan untuk memilah suatu obyek-permasalahan ke dalam kategori ini benar -ini tidak benar atau ini ilmiah - ini tidak ilmiah tapi untuk membuat kategori antara bentuk kebenaran yang dapat difahami bersama secara langsung dan bentuk kebenaran lain yang masuk kedalam wilayah pribadi
Dan dengan penjelasan ini saya juga bermaksud hendak memposisikan pengalaman pribadi serta hal hal yang berasal dari wilayah pribadi terhormat dan memiliki nilai secara keilmuan. Karena di ranah keilmuan kaum materialist hal itu tertolak sama sekali
Dan sekali lagi yang ingin saya tekankan, bagan dari kebenaran menyeluruh itu akan menyelinap kedalam dunia pengalaman kita masing masing dan itu berharga serta bernilai secara keilmuan walau kaum materialist menolaknya dengan menggunakan istilah 'subyektif'.
Tapi kita tak perlu terprovokasi dengan pemaknaan istilah istilah keilmuan yang dilakukan kaum materialist.mereka misal, memposisikan hal hal metafisis sebagai suatu yang tidak bermakna secara ilmiah karena dipandang tidak memiliki obyektifitas yang oleh mereka diartikan secara sefihak sebagai 'empirik'
Dan sekali lagi ini memang bentuk lain dari pertarungan melawan kacamata sudut pandang materialist yang mana mereka membuat definisi definisi tersendiri dan tanpa sadar kita terjebak kedalam permainan kata serta pemaknaan yang mereka buat
Dan buktinya kata subyektif sering dijadikan pe nihil an-pelenyapan makna-pelenyapan nilai ilmiah dari yang namanya pengalaman pribadi sehingga seolah ia tak memiliki nilai ilmiah sama sekali padahal dalam dunia agama ia memegang peran yang sangat vital,karena hanya dalam wilayah pengalaman pribadi itulah essensi agama dapat difahami
Dan tanpa terasa kita dibawa terjebak dalam cara pandang materialisme ilmiah melalui polarisasi istilah obyektif-subyektif sehingga akibatnya kita menafikan sama sekali hal hal yang non empiris hanya karena dikategorikan 'subyektif'
Dan karena itu pernyataan 'itu subyektif ..' itu sebenarnya belum tentu menunjuk pada suatu yang tidak benar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H