Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Batas Iman dan (Sekaligus) Batas Toleransi

17 Oktober 2019   07:45 Diperbarui: 20 Oktober 2019   08:56 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewasa ini konsep 'toleransi' telah menjadi suatu gagasan atau pandangan dunia alias 'worldview' tersendiri. 

Menjadi suatu wacana yang populer sebagaimana juga prinsip HAM-demokrasi. itu terjadi karena ada peran-eksistensi kaum intelektual dibelakangnya yang menjadi penggagas ide nya

Pada kenyataannya dalam era kekinian konsep toleransi telah menjadi suatu yang banyak diwacanakan, diajarkan, dianjurkan, dipublikasikan, dikomunikasikan kepada publik atau 'dimasyarakatkan'.

Hal itu dilakukan mungkin para penggagas toleransi melihat bahwa di masyarakat dunia ada banyak keragaman agama -kepercayaan dan gagasan toleransi itu dibuat dengan maksud untuk agar tidak terjadi benturan benturan di antara yang berbeda-beda itu karena hal itu dianggap  dapat berubah menjadi konflik terbuka.

images : Hidayatullah.com
images : Hidayatullah.com
Hal itu tentu suatu yang sah-sah saja, utamanya adalah untuk agar jangan terjadi konflik sosial. tetapi yang tidak boleh ada dalam fikiran para penggagas toleransi adalah satu hal ini:

Jangan pernah mewacanakan gagasan toleransi dengan maksud untuk meniadakan benturan antar keyakinan atau benturan antar kepercayaan, karena itu sama dengan hendak melebur tiap perbedaan agar perbedaan itu menjadi tidak ada!

Karena adanya benturan kepercayaan adalah sebuah keniscayaan pada masyarakat yang berbeda kepercayaan dan itu harus diterima sebagai realitas

Salah satunya adalah dengan berupaya mengobok obok-mengganggu-memprovokasi fikiran publik yang memiliki suatu iman-keyakinan tertentu agar juga terbuka dalam arti menerima.

Maksud 'menerima' di sini adalah mau membenarkan keyakinan yang berbeda atau berlawanan dengan keyakinannya. memprovokasi agar mau terbuka terhadap keyakinan orang lain dan makna 'terbuka' di sini adalah ya, mau membenarkan.

Bentuk provokasi itu di antaranya adalah dengan mengecam fanatisme, mengecam keteguhan pada keyakinan sendiri, atau mengeluarkan kata-kata seperti: "Jangan merasa benar sendiri" (logikanya, lha, apa harus membenarkan apa yang saya yakini salah?).

Padahal makna 'toleransi' yang sesungguhnya adalah cukup dengan bersikap menghormati keyakinan atau kepercayaan yang berbeda dengannya.

Makna 'menghormati' di sini adalah mempersilahkan orang lain bila ingin menganut kepercayaan yang menjadi pilihannya dan sama sekali bukan 'membenarkan'.

Nah kerancuan sering terjadi kala prinsip toleransi ini oleh sebagian orang malah dibelokkan menjadi anjuran untuk juga menerima alias membenarkan kepercayaan yang berbeda dengannya. dan ini adalah jalan menuju merusak iman.

Artinya, iman kita tidak akan rusak bila kita sekedar menghormati apa yang menjadi pilihan orang lain. tapi iman kita akan rusak bahkan hancur lebur berantakan apabila kita lalu membenarkan kepercayaan yang berlawanan dengan iman kita

Artinya, syarat bagi berdirinya iman adalah tidak membenarkan apa yang berlawanan dengan iman kita. artinya juga, iman itu mengenal benar-salah dan karenanya juga akan mengenal batasan.

Batasan iman adalah hal hal yang berlawanan dengan apa yang diimani itu. Artinya, bagi seorang yang beriman maka yang berlawanan dengan prinsip yang diimaninya adalah suatu yang salah walau secara sosial dan secara manusiawi kita yang memiliki iman tertentu, harus menghormati apa yang menjadi pilihan orang lain yang berbeda dengan iman kita.

Batasan iman inilah yang harus difahami terlebih dahulu dan harus dihormati oleh para penggagas toleransi atau penggagas pluralisme. Jangan sampai para penggagas toleransi-pluralisme-keragaman-kebhinekaan itu sama sekali buta terhadap batasan-batasan iman.

Karena bila para penggagas toleransi tidak mengenal serta menghormati batasan iman maka yang akan terjadi adalah kegalauan, keresahan batin pada masyarakat yang memegang iman tertentu, bahkan konflik antara orang yang memiliki iman tertentu itu dengan penggagas toleransi.

Silahkan para penggagas toleransi-pluralisme-keragaman menganjurkan untuk saling menghormati di antara kepercayaan yang berbeda, tapi jangan pernah mengecam keteguhan pada iman tertentu atau menganjurkan untuk terbuka, dalam artian mau menerima dan dalam artian mau membenarkan kepercayaan yang lain karena itu sudah melanggar batasan iman.

Jangan pernah mengatai orang yang teguh memegang suatu iman misal dengan kata-kata: "Jangan merasa benar sendiri", mengatai 'berideologi tertutup' dll. dengan maksud agar orang yang teguh memegang iman itu mau melepaskan keteguhan terhadap iman nya.atau memandang negatif terhadap keteguhan imannya

Karena hal tersebut bukan menghormati orang yang teguh memegang iman tapi sudah taraf memprovokasi iman.

Lalu apa ciri toleransi antar kepercayaan yang berbeda yang masih sehat dan yang sudah 'sakit' ?

Misal bila kita bergaul, berinteraksi dengan sesama manusia yang berbeda kepercayaan dalam beraktivitas sosial, berbisnis, bekerja di satu instansi, bertetangga tanpa mempermasalahkan apa kepercayaannya.

Toleransi yang sudah sakit adalah yang memegang satu iman tertentu tapi malah ikutan ritual agama lain tanpa perasaan gamang sedikitpun dan lalu merasa bangga bila ada penggagas toleransi tertentu yang memuji-muji aktivitas demikian.

Karena memegang suatu iman dengan kuat-teguh itu secara psikologis-secara manusiawi akan ber efek pada perasaan gamang pada ritual-ritual yang melambangkan kepercayaan yang berbeda atau berlawanan dengan imannya.

Perasaan gamang itu biasanya disikapi dengan cara menjaga jarak dan bukan memusuhi tentunya.

Dan sekali lagi yang harus saya ingatkan bahwa sebagaimana sebuah negara bila ia ingin diakui eksistensi keberadaannya maka harus ada batas negara dengan negara lain yang berbeda sebagai tanda keberadaannya. dan satu entitas akan memiliki batasan yang membedakannya dengan entitas lain yang menandai eksistensinya.

Demikian pula dengan iman, tanpa definisi, tanpa batasan maka eksistensinya akan hilang.

Bagaimana menjaga batasan iman itu di tengah keragaman, kebhinekaan tanpa menimbulkan konflik sosial?

Ingat konflik-benturan dengan yang berbeda kepercayaan itu akan selalu ada selama kita memegang iman tertentu, hanya jangan sampai konflik iman itu menjadi konflik sosial yang tidak perlu.

Dan inilah hal-hal mendasar yang mesti didalami serta difahami dan tentu harus diterima oleh para penggagas toleransi, kebhinekaan, keragaman, demokrasi di seluruh dunia bila mereka tidak mau berkonflik dengan pihak yang teguh memegang iman.artinya sekali lagi,jangan pernah berkeinginan membuat sebuah ide-gagasan-konsep yang dianggap bisa melenyapkan benturan iman-kepercayaan ! Karena selama keragaman ada maka benturan itu akan selalu ada

......

Tulisan ini juga berasal dari kegundahan hati, melihat orang orang yang mengklaim memiliki iman tertentu tapi tanpa merasa risih bercampur baur secara ritual dengan pihak yang berbeda iman, seperti sudah tidak lagi mengenal makna iman dan apalagi mengenal batasan batasannya.

Lebih parah lagi, ia nampak bangga dengan kegiatan tersebut lalu membuat narasi dengan judul "simbol toleransi-kerukunan". artinya, prinsip toleransi lebih dikedepankan tapi prinsipp iman dikebelakangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun