Karena memegang suatu iman dengan kuat-teguh itu secara psikologis-secara manusiawi akan ber efek pada perasaan gamang pada ritual-ritual yang melambangkan kepercayaan yang berbeda atau berlawanan dengan imannya.
Perasaan gamang itu biasanya disikapi dengan cara menjaga jarak dan bukan memusuhi tentunya.
Dan sekali lagi yang harus saya ingatkan bahwa sebagaimana sebuah negara bila ia ingin diakui eksistensi keberadaannya maka harus ada batas negara dengan negara lain yang berbeda sebagai tanda keberadaannya. dan satu entitas akan memiliki batasan yang membedakannya dengan entitas lain yang menandai eksistensinya.
Demikian pula dengan iman, tanpa definisi, tanpa batasan maka eksistensinya akan hilang.
Bagaimana menjaga batasan iman itu di tengah keragaman, kebhinekaan tanpa menimbulkan konflik sosial?
Ingat konflik-benturan dengan yang berbeda kepercayaan itu akan selalu ada selama kita memegang iman tertentu, hanya jangan sampai konflik iman itu menjadi konflik sosial yang tidak perlu.
Dan inilah hal-hal mendasar yang mesti didalami serta difahami dan tentu harus diterima oleh para penggagas toleransi, kebhinekaan, keragaman, demokrasi di seluruh dunia bila mereka tidak mau berkonflik dengan pihak yang teguh memegang iman.artinya sekali lagi,jangan pernah berkeinginan membuat sebuah ide-gagasan-konsep yang dianggap bisa melenyapkan benturan iman-kepercayaan ! Karena selama keragaman ada maka benturan itu akan selalu ada
......
Tulisan ini juga berasal dari kegundahan hati, melihat orang orang yang mengklaim memiliki iman tertentu tapi tanpa merasa risih bercampur baur secara ritual dengan pihak yang berbeda iman, seperti sudah tidak lagi mengenal makna iman dan apalagi mengenal batasan batasannya.
Lebih parah lagi, ia nampak bangga dengan kegiatan tersebut lalu membuat narasi dengan judul "simbol toleransi-kerukunan". artinya, prinsip toleransi lebih dikedepankan tapi prinsipp iman dikebelakangkan.