Apakah faktor mood atau kelelahan harus menjadi faktor yang menjadi sandungan atau halangan bagi sang istri untuk melayani sang suami ? Rasa-rasanya saya belum pernah mendengar ajaran agama yang sampai ke mempersoalkan unsur mood seorang istri, entahlah kalau itu masuk persoalan etika.
Tetapi larangan saklek-ekspkisit karena persoalan mood itu belum saya temukan dalam ayat suci,kecuali perintah normatif untuk memperlakukan istri secara baik.
Nah perdebatan sengit antara dua narasumber beda visi itu pun terjadi ketika tiba ke persoalan mood itu tadi. Sang ustadz tidak memandang hal itu sebagai suatu halangan karena sang istri harus berupaya menyesuaikan diri dengan hasrat sang suami tanpa harus mempersoalkan unsur mood.
Sedangkan bagi sang aktivis perempuan persoalan mood seperti sebuah urusan vital karena itu dipandang sebagai hak asasi kaum wanita dan karenanya memandang pelanggaran terhadap urusan mood itu sebagai sebuah kekerasan seksual yang mungkin menurutnya pantas untuk diganjar hukuman
Membayangkan hal demikian terjadi pada diri sendiri
Dari perdebatan keras nan sengit antara dua kutub yang berbeda pandangan itu saya sejenak coba berintrospeksi diri, tentu saja inteospeksi diri sebagai seorang suami sekaligus sebagai seorang lelaki yang memiliki hasrat seksual dan bagaimana apabila hasrat seksual itu sudah mencapai ubun-ubun.
Lalu sebagai suami saya pun membayangkan andai saya misal melakukan kekerasan seksual akibat persoalan sang istri yang sedang tidak mood atau merasa dipaksa untuk melayani dan lalu saya diadukan ke polisi dan lalu saya dijemput polisi dan lalu diajukan ke pengadilan dan lalu dipenjara sekian tahun.
Saya mencoba membayangkan rentetan sebab akibat peristiwa yang mungkin dipandang aktivis perempuan sebagai kejahatan seorang suami terhadap sang istri itu. Apa yang saya rasakan?
Anehnya ketimbang telah merasa melakukan kejahatan saya lebih merasa telah dihianati oleh seorang istri yang dulu dicintai-dinikahi dan lalu saya banting tulang mati-matian untuk menafkahinya hanya untuk urusan yang saya pandang tak seberapa. Sebab bila memang demi cinta toh urusan mood bahkan urusan lelah dapat dikesampingkan. Sehingga rasanya keterlaluan banget kalau sang istri mengadukan suami nya ke polisi akibat persoalan tersebut.
Entahlah apakah sang aktifis pejuang kesetaraan perempuan tadi dapat mendalami-menghayati serta merasakan apa yang seorang suami seperti saya ikut rasakan ? Ataukah yang ada dalam benaknya hanya persoalan kesetaraan-kesetaraan-kesetaraan... hak asasi, hak asasi, dan hak asasi.
Berlanjut,lalu saya pun mencoba membayangkan se keluarnya dari penjara akibat melakukan kekerasan seksual terhadap istri tersebut.saya membayangkan,apakah masih akan tersisa rasa cinta terhadap sang istri yang telah menjebloskan saya ke penjara hanya karena persoalan tak seberapa tersebut?