Dari berbagai perdebatan yang penulis ikuti baik di media cetak maupun elektronik termasuk di medsos seputar istilah 'kafir' yang mencuat pasca dipermasalahkan di munas alim ulama dan konbes NU di Banjar, maka penulis menemukan suatu JALAN TENGAH dari berbagai tesis serta antitesis yang mengemuka atau berseliweran di ruang publik
Jalan tengah itu adalah: bahwasanya sebagai bahasa pergaulan memang sebaiknya menggunakan istilah 'non muslim' tiada lain alasan nya tentu bukan sebagaimana yang diungkap konbes NU yaitu karena istilah 'kafir' didalamnya mengandung 'kekerasan teologis' melainkan demi untuk sebagai etika pergaulan semata, karena istilah serta alasan 'kekerasan teologis' itu tidak ditemukan dalam kitab suci dan karena itu tidak bisa dijadikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah keagamaan
Dengan kata lain, istilah 'non muslim' itu menjadi sebuah bahasa pergaulan resmi dan sekaligus status sosial dari seseorang yang bukan pemeluk agama islam.atau status manusia dihadapan manusia. Dan karena kaum muslim pun mungkin sudah terbiasa disebut sebagai 'non' oleh penganut agama lain
Tetapi sebagai orang beriman bukankah kita juga harus tahu bagaimana sebenarnya status manusia dihadapan Tuhan nya ?
Nah ketika itu yang ingin kita ketahui tentu kita tak bisa lagi berpegang pada keputusan konbes NU melainkan harus tetap merujuk pada kitab suci sebagai pedoman utama kaum beriman
Nah dalam kitab suci digambarkan status teologis masing masing tiap manusia dihadapan Tuhan, ada yang disebut 'orang ber iman', ada yang disebut orang tak beri iman alias 'kafir'dan ada juga yang mengklaim ber iman tetapi hatinya tidak dan ini disebut 'munafik'. Ada juga berbagai istilah teologis lain seperti 'mukminin', 'muttaqin', 'fasik', 'kufur', 'murtad',yang mana definisi makna nya ada dijelaskan dalam kitab suci atau al hadits
Dimana tahap atau level atau kualitas keimanan tiap manusia itu tidaklah sama,ada yang kuat dan ada yang lemah.ada yang bagus dan ada yang jelek. ada yang beriman pada satu kitab tetapi tidak pada kitab lain. Bahkan ada muslim yang ingkar kepada ayat ayat tertentu dari kitab suci
Dengan kata lain,bila wilayah sosial adalah wilayah pergaulan antara sesama manusia termasuk yang saling berbeda agama maka wilayah teologis adalah wilayah Ilahiah dimana didalamnya yang memegang kewenangan serta yang menjadi parameter tentu saja adalah Tuhan-pandangan Tuhan,bukan lagi manusia atau kategori kategori buatan manusia atau pandangan pandangan manusiawi
Apakah bahasa serta status teologis yang tertera dalam kitab suci dapat dihapus atau diabaikan ? tentu saja tidak, karena hal itu sudah dibuat serta ditetapkan sendiri oleh Tuhan sehingga menolak nya sama dengan menolak ketentuan atau ketetapan Tuhan
Tetapi tentu manusia harus bijak kapan serta dimana bahasa sosial serta bahasa teologis itu kita gunakan. Bahasa teologis misal biasa digunakan ketika dalam acara ceramah atau pengajian intern diantara umat beragama yang seiman saat membahas masalah yang terkait dengan hal menyangkut masalah teologis seperti masalah keimanan
Tetapi bukankah selama ini kaum muslim sudah terbiasa menyebut istilah 'non muslim' itu dalam bahasa pergaulan sehari hari ? dalam pidato pidato resmi atau pernyataan pernyataan terbuka di media misal sudah terbiasa bila istilah non muslim itu yang digunakan