Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berpikir Holistik, Apa Selanjutnya?

1 Desember 2017   20:09 Diperbarui: 1 Desember 2017   21:05 1994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artinya kalau dilihat secara menyeluruh hakikat realitas-alam semesta itu sebenarnya sama sekali tak ber ubah ubah pada era perkembangan sains yang manapun tetapi manusia lah yang melihatnya dari sudut pandang yang berbeda beda. realitas sebenarnya sama sekali tidak berubah tetapi cara manusia yang melihat serta mendeskripsikannya itu yang berubah ubah karena mereka melihatnya dari sudut pandang yang berbeda beda

Perhitungan matematika Hawking mungkin sudah jauh melangkah keluar menembus luar angkasa tetapi apa yang dideskripsikan Newton tetap ada dan terjadi hingga hari ini bahkan bisa kita lihat secara kasat mata.itu artinya sekelas Hawking pun tetap tidak merubah kenyataan

Apakah pemahaman terhadap konsep kebenaran menyeluruh bisa diperoleh melalui cara berfikir partikularistik-empiristik ?

Nah sekarang kalau kita kembali kepada hal yang bersifat mendasar;dalam masalah mencari kebenaran mana yang lebih manusia cari : kebenaran yang bersifat menyeluruh ataukah sekedar 'kebenaran partikularistik' (?) .. sebab cara pandang-cara berfikir menyeluruh akan melahirkan pemahaman terhadap adanya kebenaran yang bersifat menyeluruh dan cara pandang partikularistik hanya akan melahirkan pemahaman terhadap kebenaran yang bersifat partikularistik.

Dan artinya, banyak orang yang cara pandang-cara berfikirnya cenderung partikularistik dan sulit untuk bisa memadukan tiap bagan-elemen dari keseluruhan sehingga ujungnya ia tidak faham dengan konsep 'kebenaran menyeluruh' dan dianggapnya itu hanya 'ilusi' atau 'konsep khayali' atau 'dogma'.kecenderungan ini terjadi pada orang orang yang mudah menstigmakan sesuatu yang datang dari agama sebagai 'dogma' atau 'ilusi' yang mana pelabelan stigmatis itu sebenarnya lebih karena ketidak fahamannya terhadap 'cara pandang menyeluruh',dikiranya agama bisa dan cukup disikapi oleh cara pandang empiristik

Atau dengan kata lain,contoh dari belum difahaminya cara berfikir holistik misal melihat-menilai dan lalu mem vonis agama dengan hanya menggunakan kaidah-metode serta parameter sainstifik padahal perlu cara berfikir yang lebih holisistik untuk melihat sesuatu yang  sudah berada diluar dari bagan yang biasa digumuli

.......

Lalu,apakah bahasan tentang cara berfikir holistik dan sebaliknya cara berfikir partikularistik itu demikian penting ?.. secara mendasar bahasan tentang masalah ini sebenarnya sangat urgent sebab ini merupakan bagian dari perdebatan panjang perihal masalah 'kebenaran' khususnya yang selalu jadi bahan perdebatan diantara para saintis-filosof dan agamawan.sebagai contoh tidak sedikit saintis yang sulit memahami konsep kebenaran agama yang diungkap para agamawan oleh karena kendala utamanya adalah cara pandang serta cara berfikirnya cenderung selalu partikularistik tak bisa melihat masalah yang diperdebatkan dengan cara pandang menyeluruh

Dengan kata lain sebab keseluruhan-kebenaran menyeluruh itu adalah sebuah konsep-konstruksi yang tidak bisa dibangun oleh empirisme-oleh metode empirik semata tetapi suatu konsep yang hanya bisa difahami apabila melibatkan yang abstrak-akal fikiran-metodologi abstraksi -rasionalitas

Semakin problem keilmuan-kebenaran menuju wilayah metafisik maka masalah akan semakin kompleks dan itu memerlukan cara pandang-cara berfikir yang harus lebih meluas-bersifat menyeluruh-holistik.dan kesalahan manusia adalah ketika problem keilmuan-kebenaran sudah berkaitan dengan masalah agama-ketuhanan-hal abstrak-metafisik (sudah meluas-kompleks) tetapi cara pandang dan cara berfikirnya masih tetap empiristik-masih cenderung partikularistik .ini ibarat masih menggunakan teropong burung saat ketika sudah mengamati alam semesta atau masih memakai meteran tukang kayu saat sudah mengukur luasnya samudera. akhirnya yang terjadi adalah bermunculannya stigma negative terhadap agama akibat cara pandang serta cara berfikir yang tidak tepat 

Kemenyeluruhan-universalitas memang hanya bisa ditangkap dan difahami oleh peralatan berfikir yang memiliki cara pandang yang holistik-menyeluruh-yang bisa merekonstruksikan semua bagan-elemen dari keseluruhan.ibarat teropong besar yang bisa melihat atau menjangkau secara lebih menyeluruh ketimbang teropong kecil yang bisa menjangkau hanya bagan demi bagan nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun