Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebenaran Itu Kembali Pada Keyakinan Masing-masing?

1 Desember 2017   10:24 Diperbarui: 1 Desember 2017   14:23 1549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di ujung suatu perdebatan permasalahan yang biasanya rumit-kompleks dan para peserta debat dihadapkan pada argumentasi yang kebanyakan saling berlawanan satu sama lain maka lazim kita mendengar ucapan seperti ini dari sang mediator atau pembawa acara :

'pada akhirnya kebenaran itu kembali kepada keyakinannya masing masing',

Atau,'soal kebenarannya kita kembalikan saja kepada keyakinan hati masing masing'

Sebuah ungkapan  yang nampak bijak karena nampak memilih bersikap 'netral'- tidak memenangkan atau membenarkan salah satu fihak dan tidak mem vonis salah satu fihak sebagai kalah dan salah.dan dari sisi etika -moral memang seperti nampak 'baik' karena terlihat dapat mendinginkan suasana debat yang misal sudah demikian panasnya

Tetapi yang namanya kebenaran itu secara substansial sebenarnya tidak mengenal 'kompromi'-'jalan tengah'-'toleransi'-perdamaian,dlsb. yang dibuat manusia. sebab konsepnya dasarnya dapat bersifat hitam putih,kalau tidak benar ya salah.dan suatu perdebatan kalau acuannya murni mencari kebenaran yang hitam-putih, (yang jelas benar salah nya) memang seharusnya diakhiri oleh rumusan prinsip ini benar- ini salah.cara ini memang tepat bila diterapkan dalam forum yang memperdebatkan masalah sains misal atau mencari bentuk kebenaran empirik obyektif yang bisa ditangkap dan difahami semua orang, dan bisa juga diterapkan bila acuan yang digunakan adalah ilmu logika sebab ilmu logika juga mengenal prinsip benar-salah yang hitam putih

Bagaimana bila dalam forum yang memperdebatkan masalah agama misal ?

Disinilah manusia sering terjebak pada kesulitan tersendiri.dan sulitnya itu sebenarnya bukan tak bisa ditemukan unsur benang merah benar-salahnya bahkan yang hitam-putih sekalipun tetapi perdebatan sering deadlock itu karena pertimbangan unsur perasaan,pertimbangan SARA, toleransi,pertimbangan sosial dlsb.hal hal yang sebenarnya bersifat manusiawi. sehingga mediator debat mungkin cenderung memilih 'mengembalikan kebenaran pada keyakinan masing masing' sebuah cara 'manusiawi' tetapi sebenarnya bukan cara ilmiah,sebab ilmu pengetahuan hingga ke level membicarakan masalah apapun termasuk membicarakan atau menganalisis masalah agama agama tetaplah bersandar pada prinsip benar-salah

Jalan keluar bila beranggapan tidak ingin menimbulkan gejolak sosial-SARA adalah diluar debat-sepulang debat dari perdebatan terkait agama misal, secara pribadi atau rekan dekat tetaplah memikir mikirkan-mengkaji-menganalisis mana benar-mana salah nya hingga diperoleh keyakinan mana yang benar-mana yang salah.tak perlu terjebak pada prinsip 'kebenaran itu kembali kepada keyakinan masing masing' sebab itu hanya strategi yang dibuat manusia agar perdebatan menjadi dingin atau berakhir damai.secara epistemologis prinsip keilmuan tidak mengenal istilah 'kebenaran itu kembali kepada keyakinan masing masing' karena dalam konstruksi ilmu pengetahuan konsep benar-salah itu memiliki struktur yang jelas.termasuk ketika pisau ilmu pengetahuan itu digunakan ketika membedah yang terkait masalah keagamaan

Karena orang mungkin terkadang bingung dengan banyaknya agama dan penasaran ingin menela'ah dengan pisau ilmu pengetahuan perihal mana-benar salahnya maka disini metodologi ilmiah atau cara berfikir sistematis- terstruktur bisa digunakan.siapa bilang agama tidak bisa dibedah secara ilmiah untuk ditemukan misal salah satunya, mana konsep agama yang rasional dan mana yang tidak rasional ? Dan karena agama sebenarnya bukan melulu terkait 'kepercayaan' tetapi juga dengan rasionalitas dan kalau dikaitkan dengan semisal 'mukjizat besar' maka itu sudah terkait dengan 'bukti empirik'

Hanya kondisi sosial di zaman sekarang memang tidak seperti di zaman nabi nabi,saat itu para nabi bersikap lantang-terbuka menyatakan mana agama yang benar dan mana agama yang salah (diantaranya karena argument prinsip rasionalitas itu) karena harus dimaklumi tugas utama seorang nabi saat itu memang harus demikian-lebih pada mengutamakan prinsip kebenaran ketimbang fokus pada prinsip yang bersangkutan dengan masalah 'perasaan' manusiawi misal.hanya saat ini prinsip 'perasaan manusiawi' itu yang menjadi bahan pertimbangan lahirnya prinsip 'toleransi',SARA dlsb.

..............

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun