Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rekonstruksi Pesan Emha Ainun Nadjib: Mencari Makna 'Kebebasan Berfikir'

18 Oktober 2016   19:22 Diperbarui: 19 Oktober 2016   06:59 1779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akal fikiran sebagai parameter kebebasan yang lain

Idem,demikian pula dengan akal maka akal adalah alat berfikir yang cara berfikirnya alamiah-tidak dapat di doktrin serta direkayasa fihak lain karena ia memiliki innate knowledge yang adalah anugerah sang penciptanya

Sehingga apabila dipertemukan dengan prinsip ‘kebebasan berfikir’ maka akal akan menjadi salah satu parameternya.demikian pula apabila dipertemukan dengan pesan Cak Nun diatas maka untuk menentukan apakah bahan serta cara berfikir yang dihantar Cak Nun itu dapat diterima atau tidak oleh akal maka ya harus menunggu prosessing yang dilakukan oleh akal,tak bisa lantas secara langsung menerima dan atau menolak

.....................

Nah sekarang yang mungkin menjadi ‘dilema’ bagi sebagian orang adalah adanya prasangka-anggapan yang lalu menjelma menjadi bangunan stigmatik bahwa agama itu bertentangan dengan kebebasan-bertentangan dengan akal bahkan sebagian non teis mengggapnya bertentangan dengan nurani,bahkan para ulama pun ikut terbawa imbas menjadi dianggap ‘makelar indoktrinasi’-bukan di simbolkan sebagai pengusung kebebasan berfikir sebagaimana yang orang lekatkan dengan sosok seperti Cak Nun

Nah untuk menjawab benar tidaknya sangkaan-stigma demikian maka untuk menjawab dengan jalan fikiran yang bebas-tanpa paksaan-tanpa indoktrinasi-tanpa cuci otak- maka ya kita harus menyerahkannya kepada  pertama kepada hati nurani dan kedua,mekanisme cara berfikir akal


Masalahnya adalah : bagaimana kalau andai suara hati nurani seseorang lalu condong mengikuti suara para ulama dan analisis akal fikirannya membenarkan apa yang mereka doktrinkan (?) .. bukankah sebagaimana yang telah saya analisis diatas bahwa nurani dan akal adalah simbol kebebasan berfikir ?

.................

Nah lebih jauh lagi, andai kalau suara hati nurani itu lalu memperlihatkan keberfihakan pada agama-pada hukum Tuhan-pada ketaatan terhadap perintah Tuhan  maka apakah itu masih akan dianggap sebagai simbol manusia yang sudah kehilangan prinsip kebebasan berfikirnya?  .. bagaimana kalau  itu merupakan rumusan suara hati nurani serta mekanisme akal fikirannya ?  

Lalu apa itu makna ‘kebebasan berfikir’ bila peran suara hati nurani serta otoritas akal dalam berfikir diabaikan (?)

Saya menjadi teringat kepada istilah ‘standar ganda’ yang dipakai dalam dunia perpolitikan,sebagai contoh; media tertentu sering ber opini bahwa 'barat' memproklamirkan demokrasi ke seluruh dunia sebagai system yang bila menolaknya maka seolah akan dianggap belum berada di jalan yang benar,nah masalahnya lalu ketika golongan tertentu yang tidak disukai barat memenangkan proses demokrasi maka barat malah tidak mengakuinya dan malah mencari cari cara untuk meruntuhkannya,maka media mempopulerkan istilah 'standar ganda'

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun