Dengan kata lain dalam hal pemahaman terhadap konsep ‘ilmu pengetahuan’-‘kebenaran’ dewasa ini manusia sering terlalu orientasi-fokus hanya kepada bukti serta hasil empirik (semisal teknologi)-positivisme lalu makna ‘rasionalitas’-penggunaan akal pun dibatasi mengikuti prinsip Kantian yang melekatkannya lebih kepada dunia pengalaman alias condong kepada logika dialektika materialist, dimana penggunaan akal untuk kepentingan menjelajah dunia metafisik secara bebas-secara lebih luas sebagaimana konsep agama Ilahiah menjadi terkebiri.dan apalagi penggunaan ‘hati’ sebagai peralatan berfikir yang sebenarnya paling vital bagi manusia untuk menangkap hal hal mendalam yang bersifat mendasar tidak dilibatkan karena tak ada pengakuan ilmiah terhadap proposisi proposisi yang terkait  hasil penghayatan hati,hati seolah tersingkir dari wilayah ilmiah
Itulah paradigma ilmiah materialist yang fokus-orientasi hanya kepada hal hal yang nampak-yang bersifat permukaan-yang tertangkap pengalaman inderawi dimana akal-cara berfikir akal harus tunduk pada prinsip prinsip materialistik mengebiri fungsi hati dari dunia ilmu pengetahuan dan tentu dari konsep ‘kebenaran’,berbeda dengan konsep agama Ilahiah yang sangat menekankan fungsi hati untuk agar manusia dapat mendalami-menghayati serta memahami hal hal yang bersifat essensial-mendasar dari segala suatu seperti persoalan ‘hakikat serta makna terdalam’
Sehingga kita dapat menakar dan mengukur sendiri,apakah adanya paradigma ilmiah materialistik yang melahirkan ideologi saintisme dan positivisme dan tentu parameter ‘kebenaran’ tersendiri yang serba materialistik itu sesuai dengan tujuan Tuhan menciptakan tiga macam alat berfikir pada diri manusia yang idealnya ketiganya memang seharusnya berjalan bersamaan secara menyatu padu ? atau,apakah paradigma ilmiah materialistik bersesuaian dengan filosofi berfikir menyeluruh dengan melibatkan keseluruhan peralatan berfikir untuk memahami kebenaran secara menyeluruh ?
Dengan kata lain kemenyeluruhan itu dapat hadir karena adanya korelasi yang signifikan antara berbagai peralatan berfikir yang ada pada diri manusia,sebaliknya bila dalam memahami ‘ilmu pengetahuan’ serta ‘kebenaran’ manusia cenderung selalu memahami segala suatu secara terkotak kotak  : ini wilayah empirik-ini wilayah rasionalitas-ini wilayah moral-ini wilayah mistik-ini wilayah ilmu pengetahuan-ini wilayah agama dst.dan berhenti hingga disitu-tanpa upaya untuk memahaminya secara menyatupadu atau tanpa berupaya meng korelasi kan satu sama lain maka bagaimana ketiga alat berfikir yang ada pada diri manusia itu dapat berkolerasi satu sama lain (?)
Atau bila saya menangkap sesuatu dengan dunia inderawi saya dan akal fikiran saya dapat mengabstraksikannya kedalam konsep yang rasional tetapi hati saya belum dapat menangkap essensi-hakikat-makna terdalam-maksud tujuannya maka itupun berarti saya belum memahami sesuatu itu secara menyeluruh.artinya kebenaran belum dapat di sebut menyeluruh apabila ‘hati’ sebagai alat berfikir yang terdalam belum dilibatkan atau belum menangkap dan memahami essensi terdalamnya, dimana fungsi hati adalah pada lapisan pemahaman yang bersifat essensial-mendasar
Contoh : ada berbagai fakta empirik yang dihadirkan dipengadilan kasus kopi Mirna dengan terdakwa Jessica Wongso,dan berbagai fihak yang berkepentingan masing masing memeras otak-berlogika tentu demi untuk tujuannya masing masing,ada yang bertujuan demi kepentingan penuntutan-penyidikan-menghakimi serta membela.tetapi kita belum dapat memahami kebenaran seputar kasus kopi Mirna itu secara menyeluruh apabila ‘hati’ belum sampai pada kesimpulan meyakini Jessica bersalah atau tidak misal.ini hanya salah satu contoh vital nya ‘hati’ dalam konsep kebenaran menyeluruh dan itu biasanya selalu terkait dengan masalah ‘keyakinan’.dengan kata lain,manusia bersentuhan dengan hati nya ketika mereka menginginkan ‘keyakinan’-sebuah hasrat naluriah yang terdapat pada jiwa manusia yang sehat tentunya
Sehingga sesuatu belum dapat difahami secara menyeluruh apabila belum sampai ke tahap menyentuh keyakinan.itu sebab saya selalu membawa unsur ‘hati’ ke ranah ilmu pengetahuan sebab bila ilmu pengetahuan belum menyentuh hati dan meninggalkan jejak berupa keyakinan maka ilmu pengetahuan itu belum hadir kedalam alam fikiran manusia secara menyeluruh-hanya baru tampil dalam bentuk kepingan kepingan fakta empirik atau kepingan kepingan konsep akali yang parsialistik-terkotak kotak dalam berbagai disiplin keilmuan yang berbeda beda.befungsinya ketiga alat berfikir yang ada pada diri manusia secara padu itu akan membuat semua obyek-instrument ilmu pengetahuan menjadi menyatu padu secara runtut satu sama lain membentuk suatu kesatuan pemahaman
Dengan kata lain,pemahaman terhadap kebenaran menyeluruh atau di istilahkan dengan ‘kemenyeluruhan’ adalah optimalisasi semua alat fikir yang ada dalam diri manusia,bukan hanya sebatas orientasi pada optimalisasi peralatan iderawi serta yang dihasilkannya tetapi juga optimalisasi akal fikiran dan hati,dan secara epistemologis bukan berhenti atau menjadikan fakta empirik sebagai muara kebenaran yang terakhir tetapi berupaya memahami hal hal yang non empirik dibalik yang empirik atau memahami hal yang metafisis dibalik yang fisik
Apakah (keterpecahan-keterkotak kotakkan) itu sebuah masalah ? bagi yang tak mempermasalahkannya utamanya bagi kaum positifist-materialist mungkin tidak,tetapi bagi saya yang ingin pemahaman terhadap ‘kebenaran’ itu tak hanya sampai di memori pengalaman dunia inderawi juga tak hanya masuk ke ‘kepala’,tak hanya sampai sebatas permukaan,tak hanya sebatas mengumpulkan fakta demi kebenaran kebenaran empirik yang nampak adalah sebuah persoalan besar,sebab saya ingin persoalan kebenaran itu menyentuh hingga ke hati dan meninggalkan jejak berupa keyakinan yang ‘hakiki’-keyakinan terhadap adanya hal hal yang essensial-mendasar
Bila kita memakai bingkai institusi : manusia termasuk saya menangkap bentuk kebenaran tertentu baik dari sains-filsafat maupun agama,bentuk bentuk kebenaran yang memiliki derajat yang berbeda satu sama lain karena berbicara tentang dimensi serta tujuan yang berbeda beda.tetapi apakah lalu saya harus memahami kebenaran secara terkotak kotak-parsialistik : ini kebenaran sains-ini kebenaran filsafat-ini kebenaran agama tanpa saya berusaha memahami keseluruhannya secara menyatu padu ? atau, apakah sebagaimana kata seorang rekan Kompasioner rekan berdialektika saya bahwa apa yang saya yakini harus disimpan (dan dikunci) di wilayah ‘mistik’-‘transeden’ dan tak boleh mengkorelasikannya sesuka hati dengan fakta fakta empirik,saya fikir yang penting adalah ‘saya berupaya menyatupadukannya’ agar dapat terlihat korelasi antara apa yang saya yakini dengan yang ada pada dunia nampak
Apakah kebenaran yang datang dari arah yang berbeda beda itu adalah kebenaran yang berbeda beda dan karenanya harus difahami secara terkotak kotak ? tidak adakah jalan untuk memahaminya secara menyatu padu ? itu adalah pertanyaan yang terselip dihati saya jauh sejak lama sebelum saya mengenal dunia tulis menulis.dan lalu tulisan tulisan saya pun seolah manifestasi dari hasrat saya untuk memahami kebenaran secara menyeluruh alias filosofi ‘kemenyeluruhan’ itu