Manusia adalah makhluk yang menangkap kebenaran,itu adalah suatu kepastian.tetapi manusia pun adalah makhluk yang bisa terperosok kepada ketidak benaran,itupun adalah suatu kepastian. bagaimana membedakan secara lebih spesifik-hitam putih-konseptual antara kebenaran dan ketidak benaran maka hal itu memerlukan metodologi serta parameter ilmiah tersendiri untuk bisa menilai dan membedakannya. dan masalah terkait metodologi serta parameter ilmiah itu tentu harus dibahas dalam artikel terpisah.untuk tidak ribet maka makna ‘kebenaran’ disini tidak mengacu kepada pandangan yang spesifik atau misal mengikuti kecenderungan pandangan golongan tertentu tetapi sebatas yang manusia-umum dapat fahami atau dapat menjangkaunya sesuai kemampuan naluri alamiah dari peralatan berfikir yang mereka miliki
Manusia dapat menangkap kebenaran karena ia memiliki peralatan berfikir atau bisa disebut juga sebagai : peralatan penangkap kebenaran.contoh nyata yang terjadi pada diri saya sebagai manusia; dengan dunia panca indera saya bisa menangkap beragam bentuk fakta empirik yang dikonsepsikan sebagai ‘kebenaran empirik’,dengan akal fikiran saya dapat menangkap adanya suatu bentuk kebenaran yang dapat difahami oleh akal yang kita kenal sebagai bentuk ‘kebenaran rasional’ atau bentuk kebenaran yang berdasar prinsip logika.tidak berhenti sampai disitu, dengan hati-kalbu yang terdalam saya menangkap adanya suatu bentuk kebenaran terdalam yaitu bentuk kebenaran yang terkait dengan hal hal yang bersifat essensial-mendasar-substansial semisal adanya maksud tujuan terdalam dibalik segala suatu-adanya landasan batiniah semisal ruh cinta kasih sayang dibalik suatu tindakan atau perbuatan.
adanya ‘hakikat’ yang abstrak dibalik semua realitas yang nampak,sebagai contoh;saya dapat menangkap adanya maksud tujuan Ilahi yang terdalam dibalik firman firman Tuhan yang disampaikan melalui para utusanNya (kebenaran dalam artian menurut keyakinan saya tentunya) atau; saya menangkap hal yang bersifat batiniah dibalik tindakan seorang ayah terhadap anaknya.dan banyak lagi hal lainnya yang merupakan bentuk bentuk kebenaran yang tidak tertangkap secara langsung oleh pengalaman dunia inderawi juga yang tidak tergambarkan secara konstruktif oleh kemampuan logika akal fikiran manusia (yang hanya hati yang bisa menangkapnya secara utuh).atau, manusia menangkap sesuatu dengan apa yang disebut sebagai ‘mata batin’,sesuatu yang diyakini menjadi landasan dari suatu realitas-peristiwa-kejadian.
Sebagai manusia anda dapat menangkap serta menghayati bagaimana bentuk korelasi-keterpaduan-harmonisasi antara dunia indera-akal-hati yang berusaha saya ungkapkan diatas ketika berhadapan dengan beragam realitas persoalan apakah itu persoalan kehidupan se hari hari atau persoalan keilmuan yang dibicarakan dalam dunia filsafat misal.dengan kata lain; manusia memiliki tiga peralatan utama dalam berfikir : dunia indera-akal-hati yang dengan semua itu manusia merumuskan ‘kebenaran’
Masalah ilmiah yang hendak kita permasalahkan disini adalah : apakah beragam bentuk kebenaran yang berbeda beda yang ditangkap oleh beragam peralatan berfikir yang berbeda itu harus saya fahami secara terkotak kotak-parsialistik,ataukah saya harus memahaminya secara menyeluruh ? atau,apakah beragam peralatan berfikir yang ada pada diri manusia itu hanya untuk membuat manusia memahami kebenaran secara terkotak kotak-parsialistik-tidak menyatu padu ? dan apa makna atau kegunaan dari memahami kebenaran secara menyeluruh ?
Makna ‘menyeluruh’ bagi saya disini adalah : adanya harmonisasi-kemenyatupaduan antara fungsi dunia indera dengan akal dan lalu dengan hati,atau ada keterpaduan antara input yang diperoleh melalui dunia inderawi dengan pandangan rasional yang diperoleh akal serta lalu dengan kehendak suara hati semisal hasrat kalbu yang menginginkan untuk memahami sesuatu secara menyeluruh atau hasrat hati yang menginginkan memahami essensi atau hakikat atau makna terdalam dari sesuatu.
dengan kata lain,ada keterpaduan atau keharmonisan berfikir antara dunia inderawi-akal-hati.dan mengapa saya harus mengungkap istilah ’keterpaduan serta keharmonisan’ ? karena saya sering menangkap adanya hal yang sebaliknya yaitu ketak harmonisan atau ketakpaduan antara ketiga bentuk alat berfikir yang ada pada manusia itu,dan itu bisa diakibatkan misal karena manusia menggunakan kacamata sudut pandang tertentu yang adalah hasil ide-pemikiran manusia
Contoh : seorang yang dengan dunia inderawinya melihat adanya wujud wujud terdesain di alam semesta tetapi ia melihatnya dengan menggunakan kacamata sudut pandang materialist,sehingga akal nya sulit menangkap keharusan adanya wujud pendesain dibalik obyek terdesain dan tentu hatinya sulit menerima pandangan bahwa ada makna terdalam-ada maksud tujuan Ilahiah sebagai sang pendesain dibalik adanya wujud wujud terdesain.nah disini kita dapat melihat akibat dari seseorang yang memakai kacamata tertentu dalam mengamati alam semesta maka baik akal fikiran maupun hati-kalbu nya tidak dapat berfungsi secara optimal.
karena pertama,akal nya tak dapat menangkap adanya grand konstruksi yang tentunya bersifat Ilahiah dibalik wujud alam semesta yang terdesain,kedua,tak dapat menangkap essensi-hal mendasar dari adanya wujud terdesain di alam semesta seperti menangkap hakikat serta makna terdalam nya.atau dengan kata lain dalam hal ini tak ada kesatu paduan antara ketiga alat berfikir yang ada pada manusia itu.disini pemahamannya terhadap alam semesta seolah hanya berhenti di sebatas penangkapan penangkapan inderawi semata
Sehingga masalah lain yang hendak diungkap disini adalah : adanya ketimpangan dalam penggunaan peralatan berfikir dimana tidak seluruh peralatan berfikir yang ada pada diri manusia itu digunakan secara optimal.dan itupun ada penyebabnya yang kelak dapat kita telusuri secara lebih spesifik.dalam bahasa lain : banyak manusia yang condong terlalu banyak menggunakan isi kepala nya dalam berfikir serta menggunakan apa yang ada dalam isi kepalanya itu sebagai parameter tetapi tidak tergerak menggunakan hati nya dalam berfikir sebagai upaya mengimbangi aktifitas isi kepala nya.mengapa demikian ?
karena ia percaya kepada suatu paradigma ilmiah tertentu yang menganggap apa yang keluar dari hati sebagai ‘bukan bagian dari ilmu pengetahuan’.semisal paradigma ilmiah materialist yang menjadikan fakta atau kebenaran empirik sebagai parameter sekaligus tujuan serta muara dari ilmu pengetahuan dan tak begitu mempedulikan persoalan essensi atau ‘hakikat’ atau ‘makna terdalam’ dari sesuatu.padahal hasrat untuk memahami hal hal yang bersifat essensial-mendasar itu terdapat dalam kalbu manusia yang tentu kalbunya hidup (tidak mati berfikir)