Kita sering mendengar istilah ‘nurani yang terusik’ misal pada pernyataan pernyataan di bawah ini
‘Nuraniku terusik’ dengan apa yang dilakukan Hitler terhadap bangsa Yahudi,dengan apa yang dilakukan Serbia terhadap entis Serbia,dengan apa yang dilakukan Junta militer Myanmar terhadap etnis Rohingya
‘Nuraniku terusik’ mendengar nasib seorang nenek tua yang kemarin meninggal di gubuk pinggiran rel kereta  yang sehari hari hidup sebatangkara tetapi terpaksa harus menghidupi dirinya seorang sendiri karena disamping tak memiliki sanak family yang dekat juga tak ada seorangpun yang mau dan tergerak hati menyantuni nya Â
Hati kita mungkin akan mudah ‘menerima’ pernyataan pernyataan diatas itu sebagai kalimat yang berasal dari ungkapan nurani,bahkan sebaliknya kalau ada yang tak peduli-cuek-tidak merasa terusik nuraninya mendengar pembantaian yang dilakukan Rezim Nazi terhadap bangsa Yahudi,Serbia terhadap etnis Bosnia,Junta militer Myanmar terhadap etnis Rohingya  maka kita dapat mem vonis yang bersangkutan sebagai orang yang tidak memiliki ‘kepekaan nurani’
……………………………………………………………….
Tetapi mungkin anda akan merasa aneh-ganjil-mengerenyitkan kening bila ada ungkapan seperti berikut :
‘Nuraniku terusik mendengar lokalisasi peracuran itu diobrak abrik satpol PP hingga rata dengan tanah’
‘Nuraniku terusik mendengar kantor perwakilan majalah playboy itu rusak berat dilempari  batu oleh warga’
‘Nuraniku terusik mendengar si pembunuh berdarah dingin itu dihukum mati’
‘Nuraniku terusik mendengar Tuhan menghukum perilaku menyimpang penduduk Sodom dan Gomorrah demikian kerasnya sehingga seolah tak menyisakan seorangpun di dalamnya
…………………………………………………………..