Dan itulah di akhir zaman ini terkadang cara berfikir orang tertentu (seperti materialistik-agnostik-atheistik) hanya orientasi ke satu kutub dan tidak melihat ke kutub lain yang menjadi pasangannya sekedar untuk ‘bercermin’,mereka tak bisa membuat perbandingan logis antara dua dua obyek yang saling berpasangan,padahal keserba berpasangan itu dapat membuat manusia mengenal kutub yang satu dengan bercermin pada kutub yang lain yang menjadi pasangannya,inilah akar ‘berfikir dualistik’ yang melahirkan hukum hukum berfikir yang serba logic serta cara berfikir yang tertata-terstruktur yang menjadi konstruksi dari bentuk kebenaran rasional
Cara berfikir yang anti terhadap cara berfikir dualistik ala akal-logos atau ala konsep rasionalisme murni itu kita sebut sebagai cara berfikir ‘monistik’ atau cara berfikir 'absurd'-sebuah cara pandang atau cara berfikir ‘satu rel’ yang mendominasi cara berfikir pemikir di era kontemporer.cara berfikir ‘ganjil’ yang membingkai tren berfikir dunia kontempiter itu melahirkan atau beranak pinak menjadi cara berfikir : materialistik-empiristik-positifistik-relatifistik-pluralistik-subyektifistik-individualistik-chaotik-nihilistik,sebuah tren berfikir yang tidak lagi mengacu pada hukum berfikir yang ketat sebagaimana yang kita kenal dalam ilmu logika
Dan bandingkan dengan cara berfikir yang masih logosentris yang masih berkerangka cara pandang dualistik yang  dipakai para failosof klasik dan juga dipakai teolog ketika membedah konsep kebenaran agama yang melahirkan cara berfikir : tertata-terstruktur-sistematis-konstruktif-mengacu pada hukum hukum berfikir,mencari makna hakiki bukan bersandar pada nihilisme-orientasi pada obyektifisme dalam artian bisa difahami keseluruhan akal manusia bukan subyektifisme,percaya kepada kemutlakan bukan relatifisme,orientasi mencari bentuk kebenaran tunggal bukan orientasi pada pluralisme
Sebagai contoh,ketika mereka menemukan fenomena chaos di alam semesta mereka tak mau menyadari bahwa di alam semesta juga ada yang menjadi pasangannya yaitu : keteraturan,semisal mekanika alam semesta sebagaimana yang diungkap Newton atau wujud manusia yang garis besarnya terdesain beraturan dan masih banyak lagi wujud terdesain beraturan lain.mereka tak mau menyandingkan dan membandingkan kedua kutub yang berbeda Itu sebagai pasangan dualisme yang saling menerangkan satu sama lain  sehingga hanya ada chaos dan chaos dan chaos yang ada di alam fikiran mereka padahal ilmu pengetahuan semisal matematika-fisika-teknologi demikian pula konsep ‘kebenaran’ itu mustahil berangkat dari chaoisme atau mustahil berpijak pada ketakberaturan atau kekacauan.ilmu pengetahuan hanya bisa berangkat dari kejelasan-keteraturan yang permanen-baku-mutlak seperti mutlaknya sifat api-atau mutlaknya hukum fisika tertentu atau perhitungan matematika formal
Dan termasuk ketika mereka dibawa berbicara tentang ‘nurani’ mereka pun berfikir ‘ganjil’ dengan hanya mengaitkan nurani dengan ‘kehendak atau hasrat hati’ dan tidak menyandingkan serta membandingkannya dengan karakter ‘hawa nafsu’ yang juga sama sama ada dalam hati sehingga batas antara mana wilayah nurani dan mana wilayah nafsu menjadi kabur.dengan kata lain,mereka malah memparalelkan semua yang lahir dari kehendak hati semisal kehendak untuk bebas tanpa batasan batasan Ilahiah sebagai ‘nurani’ padahal bagaimana kalau yang keluar dari hati itu kehendak yang dilandasi keinginan nafsu ?
………………….
Dalam khazanah agama dua karakter yang berasal dari hati yang berbeda karakter itu sering diungkap lewat kalimat 'bisikan malaikat vs bisikan saitan' sebuah dualisme ala hati yang mungkin sudah banyak dilupakan orang yang orientasi pada yang satu : dunia materi,realitas nampak,kebenaran empirik,kesenangan duniawi. apa lagi yang sudah tak peduli lagi pada nilai benar-salah,baik-buruk
Bahkan yang lebih parah lagi dari cara pandang materialistik yang mendasari cara pandang atheisme adalah penyangkalan terhadap adanya 'hati' serta perannya sebagai alat berfikir dan hanya mengakui 'otak' sebagai satu satunya alat berfikir,padahal otak itu adalah satelite hati,tanpa otak manusia tak akan bisa berlogika formalistik-berfikir terstruktur tetapi tanpa hati bagaimana manusia dapat menghayati-mendalami-merenungi-menyelami,sebagai bentuk bentuk cara berfikir mendalam yang biasa manusia lakukan ketika memikirkan hal hal yang bersifat  mendalam seperti mencari essensi-saripati dari segala suatu permasalahan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H