Mengapa ‘nurani’ masih dapat meraba perbedaan antara dua bentuk pernyataan diatas ?  ( walau andai nurani itu tidak memperoleh pendidikan akademik tinggi sebagaimana ada pendidikan akademik untuk mengisi otak dan hanya memahami bentuk perbedaannya itu berdasar ‘insting alamiah’ ? )
Karena nurani itu memiliki ‘logika’nya sendiri,nurani yang masih bisa membedakan antara mana benar-mana salah,mana baik-mana buruk,mana bijak mana picik,mana yang hina-mana yang mulia  disebut ‘nurani yang tercerahkan’,orangnya disebut ‘ber akal budi’. sedang orang yang hatinya tak bisa meraba atau membedakan antara mana benar-mana salah,mana baik-mana buruk,mana bijak-mana picik,mana mulia- mana hina dan hal hal DUALISTIK lain disebut sebagai orang yang ‘buta mata hati’ karena cenderung 'bermata satu'.dan itulah fungsi instrument yang serba berpasangan yang ada dalam kehidupan-yang mengonstruks realitas alias konsep 'DUALISME' yang menuntun hati sehingga dapat ‘bercermin’, memahami ‘benar’ karena bercermin pada ‘salah’,’mulia’ karena bercermin pada ‘hina’.’keselamatan’ karena bercermin pada ‘kebinasaan’,'ketenangan' karena bercermin pada 'kegelisahan', 'harapan' karena bercermin pada 'keputus asa an' dst.dst.dan bayangkan kalau dalam kehidupan hanya tercipta satu satu kutub maka sulit bahkan mustahil bagi kita untuk berlogika termasuk hati,ia tak akan mengenal dualisme benar-salah,baik buruk
Jadi pengertian ‘nurani’ bukan hanya berkaitan dengan kelemah lembutan-belas kasihan-belas kasih sayang semata tetapi nurani juga dapat mengetahui mana benar-mana salah,mana baik-mana buruk,mana bijak-mana picik. jadi keliru kalau nurani itu hanya berkaitan atau hanya di paralelkan dengan kelemah lembutan-kasih sayang-belas kasihan tetapi buta dengan nilai benar-salah,baik-buruk.sebab tidak sedikit penjahat-pelaku kriminal yang memanfaatkan ketakjuban atau keberhormatan manusia pada kelemah lembutan-belas kasihan tetapi dibalik itu terdapat akal bulus untuk berbuat jahat.dengan kata lain kelemah lembutan itu dapat relatif-tak mutlak pasti selalu bermakna 'baik'.seorang penjahat kambuhan maka baginya tentu hukuman yang setimpal bukan kelemah lembutan atau mengedepankan konsep kasih sayang
Dan kedua,mengapa nurani dapat meraba mana benar-mana salah,mana baik-mana buruk ? karena nurani itu memiliki ‘cermin’ untuk mengenali dirinya sendiri.dan cermin itu adalah ‘hawa nafsu’ yang juga adalah terdapat dalam hati manusia,dengan bercermin pada karakter hawa nafsi yang bisa melahirkan hal hal yang buruk-salah bahkan bejat atau tercela maka nurani dapat mengenal identitas karakter dirinya dengan secara lebih utuh-bukan sekedar meraba-raba atau berspekulasi
Sebagaimana dalam konsep dualisme yang permanen kita dapat mengenali apa itu ‘benar’ dengan bercermin pada ‘salah’,’baik’ dengan bercermin pada ‘buruk’,’bahagia’ dengan bercermin pada ‘derita’,’untung’ dengan bercermin pada ‘rugi’,’abadi’ dengan bercermin pada ‘fana’,maka demikianlah dalam hati pun Tuhan mendesain adanya hal yang berpasangan sehingga yang satu dapat bercermin pada yang lain.dari hati lahir karakter yang selalu cenderung pada kebaikan-hal hal yang baik serta dapat lahir karakter yang dapat cenderung pada hal hal yang buruk-jahat bahkan bejat.yang satu kita sebut ‘nurani’ dan yang satu kita sebut ‘hawa nafsu’.bila karakter ‘hawa nafsu’ dalam hati manusia itu tak kita kenali maka kita khawatir bahwa orang akan sulit memahami karakter hakiki nurani dan konsekuensinya apa yang sebenarnya datang dari hawa nafsu malah bisa diklaim  sebagai berasal dari nurani
Itulah karakter yang terjadi pada orang yang ‘buta mata hati’ adalah tidak mengenal dualisme nurani-hawa nafsu,tidak mengenal dualisme adanya dua kecenderungan yang berbeda bahkan dapat berlawanan yang dapat lahir dari satu hati manusia.dan bukan hanya persoalan dualisme yang ada dalam hati, kecenderungan buta terhadap konsep dualisme secara umum memang membuat manusia akan menjadi cenderung ‘bermata satu’
Mereka yang ’buta nurani’ atau yang tidak mengenal hakikat karakter nurani yang sebenarnya karena tak menyandingkan serta membandingkannya dengan karakter hawa nafsu maka konsekuensinya memang akan cenderung menganggap apapun yang selaras dengan keinginannya-dengan hasrat kehendak hatinya sebagai kehendak ‘nurani’ padahal karakteristiknya adalah karakter ‘hawa nafsu’.misal keinginan terhadap kebebasan yang tanpa batasan Ilahiah,kehendak akan perilaku seks bebas-menolak hukuman atas perzinahan,dlsb.mereka paralelkan sebagai ‘keinginan nurani’ dan atau keinginan keinginan akan pelampiasan nafsu yang buruk pun bisa saja mereka paralelkan sebagai ‘kehendak nurani’ padahal itu adalah keinginan yang datang dari hasrat nafsu
Itulah sebagaimana benar itu harus selalu disandingkan serta dibandingkan dengan salah sebagai cermin abadinya,hidup dengan mati,bahagia dengan derita,harapan dengan putus asa,ketakteraturan dengan keteraturan,cacat dengan sempurna,mutlak dengan relative,spekulasi dengan kepastian, dlsb. sebagai bentuk bentuk dualisme yang mengkonstruk realitas sekaligus mengonstruks akal fikiran manusia (dimana ababila konsep dualisme yang mutlak-permanen demikian itu ditolak maka konsekuensinya itu akan merusak cara berfikir akal yang dualistik-tertata-terstruktur),maka demikian pula nurani harus selalu disandingkan serta diperbandingkan dengan hawa nafsu,atau dengan kata lain masing masing harus saling bercermin untuk dapat memahami hakikat dirinya masing masing.maka dengan bercermin kepada nurani disatu sisi untuk memahami apa itu hawa nafsu dan bercermin pada hawa nafsu untuk memahami apa itu nurani maka kelak kita akan bisa memahami mana proposisi yang datang dari sifat-watak-karakter nurani dan mana yang datang dari sifat-watak-tabi’at hawa nafsu
Sungguh ironis-naif bahkan menyedihkan dan sekaligus menjengkelkan bagi orang orang yang telah memiliki ilmu pengetahuan seputar hati apabila hal hal yang buruk-salah bahkan a-moral seperti pornografi-seks bebas-LGBT diparalelkan dengan ‘nurani’ sedang kecintaan seseorang pada kebenaran dan kebaikan misal diparalelkan dengan ‘hawa nafsu’
…………………………………
Tetapi itulah di era menjelang akhir zaman ini dimana kecenderungan cara pandang ‘bermata satu’ makin menguat memang terdapat arus pemikiran yang bahkan seolah ingin menggugat-mendekonstruksi-meruntuhkan cara berfikir logos-dualistik yang diantaranya melahirkan pemahaman terhadap konsep ‘rasionalitas’ atau konsep kebenaran berdasar akal.coba perhatikan karakter pemikir posmo yang ingin meruntuhkan konsep konsep ‘logosentris’ ala para failosof klasik yang masih bertumpu pada cara berfikir dualistik yang melahirkan pola fikir yang masih memperlihatkan karakter terstruktur-sistematik