Bayangkan bagaimana selama ini cara kita mencari dan lalu memahami ‘kebenaran’, sebagai contoh, bila kita ingin mencari bentuk kebenaran logis-rasional-konstruktif (ideal menurut akal fikiran) maka kita akan bermain logika mungkin dengan bantuan seperangkat hukum hukum ilmu logika, hasilnya adalah nilai benar-salah yang jelas-terang alias ‘hitam putih’. Misal, X adalah benar sedang Y adalah salah, atau saya benar-anda salah’. Mengapa logika melahirkan bentuk kebenaran yang ‘hitam-putih’?. Karena karakter cara berfikir akal yang systematis selalu memilah serta menempatkan obyek berfikir kepada kutub kutub dengan posisi yang terpola-terstruktur.
Lalu bila kita ingin mencari dan memahami bentuk kebenaran yang lebih dalam lagi dari sekedar hasil permainan berlogika (karena logika kita anggap dapat menemukan bentuk kebenaran logis tetapi tetap tidak dapat menemukan bentuk kebenaran ‘hakiki’-essensial-sesungguhnya) maka kita tak lagi menggunakan sarana ‘otak’ atau ‘kepala’ (yang kita anggap sebagai pusat berlogika) tetapi akan mulai menggunakan ‘hati’, karena bila otak berfikir dengan alur berlogika maka hati berfikir dengan cara yang lebih mendalam: merenungi-menghayati-mendalami.
Itulah, cara kita berfikir-mencari kebenaran sebagaimana yang saya ungkap diatas seolah sudah menjadi pakem-postulat baku yang telah berjalan disepanjang umat manusia, dan karena kita beranggapan bahwa peralatan berfikir yang kita miliki dari dahulu kala hingga saat ini tetaplah sama tak ada perubahan sama sekali, dari zaman dahulu hingga hari ini kalau kita ingin berfikir-mencari kebenaran secara jernih maka kita berprinsip harus menggunakan akal fikiran-hati nurani.
Tetapi dalam kacamata sudut pandang post modernist bisa jadi cara kita berfikir-memahami kebenaran sebagaimana diungkap diatas sudah dianggap nilai nilai yang puritan yang sudah ketinggalan zaman sehingga dianggap harus direvisi bahkan didekonstruksi, dan bukan saja cara manusia berfikir-memahami kebenaran yang direvisi dan atau didekonstruksi bahkan peralatan berfikir yang vital seperti bahasa pun mereka bongkar pula.
Lalu lahir suatu sudut pandang kebahasaan semisal ‘metaforisme’ yang menganggap bahwa inti bahasa adalah metafor dan bahasa dianggap tidaklah mengungkap yang sebenarnya. Dengan kata lain mereka menganggap bahasa bukan suatu yang dapat menyampaikan pada ‘hakikat’ tetapi hanya permainan imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu.bahasa pun diidentikan dengan imajinasi-sumber metafor adalah imajinasi.
Dengan kata lain, misal bila dalam berbahasa kita mengungkap kalimat kalimat ‘Tuhan’-‘akal’-‘hati’ maka yang kita ungkapkan melalui kalimat kalimat itu bukanlah hal yang sebenarnya tetapi hanya imajinasi kita untuk melukiskan obyek yang ingin kita gambarkan. Menyedihkan memang kalau selama ini kita menyembah hasil imajinasi bukan wujud hakiki, berfikir dengan menggunakan atau berlandaskan pada hasil imajinasi.
Sebab itu apabila kita mengikuti keinginan mereka atau mengikuti sudut pandang mereka maka bisa jadi cara berfikir serta cara kita memahami kebenaran yang selama ini kita susun secara systematis-terstruktur akan berantakan kembali, atau cara kita memahami ‘kebenaran hakiki’ hasil kita merenung-menghayati dalam kesunyian seperti akan menjadi sia-sia karena yang kita dalami ternyata sekedar hasil ber metafor yang dianggap tidak memiliki substansi.
Artinya, cara kita berfikir dan lalu pemahaman kita terhadap kebenaran sebagaimana ditulis diawal itu memerlukan berdiri atau berpijak diatas suatu pijakan yang ‘hakiki’-permanen-tetap-tak berubah ubah bukan berdiri diatas prinsip relativitas-spekulasi-subyektivisme-pluralisme. Dengan kata lain diatas hal yang permanen itulah kita dapat membangun ‘ontology-epistemologi’ karena keduanya tentu tak bisa dibangun diatas landasan yang tidak permanen-berubah ubah. Sebagai contoh, kita berlogika dengan melibatkan sifat api didalamnya artinya berbicara tentang kebenaran yang berkaitan dengan sifat api, tetapi itu harus berdiri diatas prinsip bahwa sifat api itu hakiki-tak berubah ubah, kalau sifat api berubah ubah bisa panas-bisa dingin maka bagaimana kita bisa melogikakan sifat api?.
Tetapi latar ‘hakiki’ tempat kita berpijak itu seolah ingin diganti oleh post modernist dengan prinsip prinsip yang intinya berasal dari cara pandang mereka : relativisme-pluralitas-subyektivitas-metaforisme-keragaman. Maka, apa yang bisa kita fahami dari kebenaran kalau berdiri diatas prinsip prinsip seperti itu?.
Dengan berfikir-berlogika diatas landasan atau latar ‘yang hakiki-permanen’ itu kita bisa melahirkan proposisi proposisi yang tetap pula dengan nilai benar-salah, baik-buruk yang bersifat permanen. Contoh, kita dapat meyakini bahwa menipu-mencuri-memperkosa-berbuat jahat adalah perbuatan perbuatan yang buruk-salah.tetapi apabila landasan ‘hakiki’ itu diambil atau diganti oleh post modernist dengan prinsip prinsip baru yang mereka buat maka semua apa yang sudah secara mutlak kita anggap sebagai salah-buruk itu dapat berubah misal menjadi ‘relativ bergantung pada sudut pandang orang per orang’-subyektif- tidak lagi dipandang sebagai suatu yang mutlak-pasti, dan itu terjadi karena penghargaan tinggi pos mo pada pluralitas-keragaman pandangan sehingga rela menyingkirkan upaya upaya manusia untuk mencari bentuk kebenaran mutlak-substansial-hakiki-tunggal-bersifat pasti.
Dengan kata lain selama ini kita bisa mengatakan secara pasti misal bahwa ‘X itu benar’ dan ‘Y itu salah’ karena kita meyakini bahwa pernyataan itu berdiri diatas suatu landasan yang tetap-permanen atau ‘hakiki’ sebab kalau berdiri diatas landasan yang relative-subyektiv-bergantung pada sudut pandang orang per orang atau berdiri diatas prinsip pluralisme maka kita tak akan bisa dengan secara pasti dan meyakinkan menyatakannya. Dengan kata lain kita dapat membangun landasan ontologis dan epistemologis karena kita berpijak diatas landasan yang ‘hakiki’,sebab keduanya tak bisa berdiri diatas hal yang tidak permanen berubah-ubah.