Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

'Essensi Mendahului Eksistensi' (?)

1 Januari 2014   17:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:16 1730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

….

Renungan sederhana buat para eksistensialist mania ….

…..

Manusia berada diantara ‘eksistensi’ dan ‘essensi’,dua istilah yang memiliki makna-pengertian yang berbeda

Eksistensi berkaitan dengan atau menyangkut ‘apa yang harus diperbuat’- apa yang bisa disetting  oleh manusia - kebebasan manusiawi - secara umum dengan gerak kehidupan manusiawi, sedang essensi bersangkutan dengan ‘hakikat’ - suatu yang hakiki - landasan dasar - suatu yang tak bisa diubah oleh manusia.dengan kata lain eksistensi adalah pilihan bebas manusia sedang essensi adalah ‘hakikat manusia’. bila kita buat analogi : eksistensi manusia ibarat para pemain bola yang bebas berimprovisasi di lapangan - bebas membuat pola dan strategi permainan,dan esssensi ibarat lapangan bola serta semua aturan permainan bola yang tak bisa diubah dan hanya wajib dita’ati oleh semua pemain yang berada di lapangan

Jadi ada suatu yang bisa dipilih-bisa disetting-bisa direncanakan-bisa diprogram secara bebas dan ada yang baku- yang tetap-yang tak bisa diubah (hakiki).dalam kehidupannya manusia bebas berfikir-bebas menentukan pilihan-bebas mengarahkan kehidupannya-bebas berusaha dan berbagai bentuk kebebasan lain,tetapi ada yang tetap-ada yang baku-ada yang tak bisa diubah-ada yang hakiki yang meupakan hukum atau system kehidupan dimana manusia terkungkung didalamnya,sebagai contoh hukum kehidupan pasti : ada siang-malam,yang muda akan menjadi tua,yang sehat akan mengalami sakit,yang hidup akan mengalami mati,yang beramal akan dimintai pertanggung jawaban dihadapan Tuhan dst.dst.dan hukum kehidupan ini menjadi setting atau latar bagi panggung kehidupan dunia dimana manusia bereksistensi diatas nya.

Sebagai contoh : dalam kehidupannya manusia bergumul dengan beragam  usaha dan ikhtiar yang mungkin bisa dipilih secara bebas tetapi hukum kehidupan pasti seperti tua - kematian - balasan amal perbuatan tak akan pernah bisa dihindarinya

Jadi manusia bereksistensi dalam essensi (yang telah ditetapkan baginya).eksistensi selalu berkaitan dengan kebebasan karena menyangkut pilihan bebas manusia terhadap kehidupannya,manusia seolah bebas memilih peran yang akan mereka mainkan,sedang essensi ibarat panggung yang telah disediakan yang mau tak mau manusia harus berada diatasnya karena hanya itu satu satu nya panggung yang disediakan bagi kehidupan manusia

Dalam panggung dunia manusia seolah bebas bereksistensi-bebas memilih peran-bebas memilih kacamata pandang-bebas memilih kepercayaan serta bebas bebas yang lain, tetapi mesti diingat ada hal hal yang bersifat tetap-baku-hakiki yang tak bisa dilemparkan kepada pilihan bebas manusia semisal hukum kehidupan pasti yang merupakan ‘essensi’ (hakikat-bersifat hakiki-tak bisa di utak atik manusia)

Ada banyak filsuf yang berbicara masalah ‘eksistensi’manusia lalu mereka menjadi para filsuf eksistensialist dan memproklamirkan ‘eksistensialisme’ yang menempatkan eksistensi manusia sebagai hal terpenting dalam hidup,mereka mengutak atik pilihan bebas manusia termasuk pilihan bagaimana memandang hidup dan kehidupan.mereka menjadi ‘idola’ sebab mengajarkan kebebasan untuk memilih jalan serta cara pandang.tetapi apakah mereka juga memikirkan ‘essensi’ yang menjadi latar - panggung serta system yang mengungkung kehidupan manusia (?) atau mereka meletakkan eksistensi hanya diatas prinsip ‘fenomenologisme’ (bedasar fenomena yang tertangkap oleh kesadaran pengalaman indera manusia ?) belaka ….atau sejauh mana pendalaman serta pemahaman para filsuf eksistensialist terhadap makna ‘essensi’ .. sudahkan mereka menggapainya (?)

Eksistensi-filsafat eksistensialisme-para filsuf eksistensialis memang seperti selalu nampak menarik untuk dibahas-dijadikan wacana sebab hal itu berkaitan dengan kebebasan manusia berfikir –bereksistensi,tetapi ‘essensi’ seperti ‘tidak menarik’ untuk dibahas sebab berkaitan dengan sesuatu yang tetap-yang baku-yang tak berubah (yang hakiki) sehingga tak bisa diutak atik manusia.tetapi merupakan suatu fakta bahwa betapapun manusia bebas ber eksistensi - bebas berbuat mereka dikungkung oleh ‘essensi’ yang sama (semua ada dalam kungkungan system-hukum kehidupan yang sama : semua bakal mati, semua bakal dihadapkan ke pengadilan Tuhan/bagi yang telah percaya)

…….

Sekarang coba tolong renungkan, manusia yang senantiasa mengutak atik problem ‘eksistensi’ - mensetting fikirannya diatas prinsip kebebasan, tetapi ia tidak berfikir tentang hal hal yang bersifat essensial dalam kehidupan semisal hukum kehidupan yang mengungkung dan yang pasti akan merenggutnya.sebagai ilustrasi, apapun yang difikirkan-diidamkan lalu dikatakan oleh seorang eksistensialist mania semisal Jean paul sartre tentang ‘eksistensi - kebebasan’ kehidupannya sendiri tetaplah  berakhir dengan tua dan kematian suatu yang diluar kehendak manusia tentunya. sehingga, apa sebenarnya makna pergumulan masalah ‘eksistensi’ bagi manusia yang adalah akan mati (?)

Dan menjadi pelajaran bagi kita yang masih hidup bahwa sehebat dan sekeras apapun manusia berfikir tentang eksistensi,tentang kebebasan toh pada akhirnya ia tak bisa lepas dari kodrat - takdir serta hukum kehidupan pasti yang adalah semua itu merupakan ‘essensi’

……………..

Eksistensi ada sebelum essensi (?) … tidak,tidak… panggung telah terlebih dahulu ada sebelum para pemeran memasukinya ….. system selalu dibuat terlebih dahulu sebelum obyek system.sehingga betapa bagaimanapun manusia merasa ‘bebas’ tetapi system telah mengikatnya terlebih dahulu.kalau eksistensi mendahului essensi maka manusia bisa menciptakan hakikatnya - takdirnya sendiri sendiri

Kebebasan adalah satu satunya landasan nilai (?) .. bukan,bukan..kebebasan hanyalah  ‘persepsi’ atau ‘cara manusia menyikapi’ bukan kemutlakkan yang serba menentukan.itu sebab ber eksistensi ria tanpa mengenal essensi-hakikat-‘yang tetap’ hanya akan menjadikan manusia (dan pandangan pandangan nya) sebagai ‘parameter kebenaran’,berkebalikan dengan prinsip Ilahi yang menjadikan hal yang tetap-hakiki sebagai parameter

Manusia adalah makhluk yang menentukan dirinya sendiri (?) … juga bukan,... andai manusia bisa serba menentukan dirinya sendiri maka tak akan ada penderitaan dan tak akan ada hal hal yang tidak diingini manusia seperti sakit - tua - kematian yang merupakan ‘hukum kehidupan pasti’

Manusia mungkin merasa bebas dan merasa tidak terikat kepada sebuah ketetapan - keharusan tertentu apapun bentuknya tetapi kodrat manusia adalah essensinya juga.manusia membutuhkan cinta - kasih sayang itu karena hal itu adalah merupakan kodratnya,manusia mungkin merasa tak terikat kepada apapun tetapi setiap manusia yang hidup pasti akan mati karena itu adalah takdirnya.kodrat-takdir adalah ‘essensi’ manusia yang telah ditetapkan mendahului eksistensinya

………….

Seharusnya eksistensi itu berdiri diatas (pemahaman terhadap) essensi yang benar, tidak berdiri diatas sekedar ‘fenomena’ - sesuatu yang nampak kepada kesadaran inderawi manusia, sebab fenomena yang nampak itu bukan essensi tetapi bagian luar dari essensi.essensi itu pada permukaannya suatu yang nampak tetapi pengertian mendasarnya bersifat abstrak-gaib-non empirik

Lain dengan bila eksistensi manusia disandarkan pada kacamata sudut pandang ‘fenomenologist’ bukan pada ‘essensi’ maka itu artinya pilihan bebas manusia hanya disandarkan pada fenomena fenomena yang tertangkap kesadaran indera manusia.(sebab essensi itu bukan sebatas yang tertangkap kesadaran inderawi manusia -‘fenomena’ adalah bagian dari essensi tetapi bukan essensi yang sebenanya)

….

Hanya sebuah nasihat …. bahwa sebagai manusia kita mesti melihat secara berimbang, disamping berfikir tentang kebebasan yang bisa kita reguk manusia juga mesti berfikir tentang ‘ketidak bebasan yang merenggut kebebasan’ sebagaimana juga yang telah dialami oleh Sartre sendiri dan para filsuf eksistensialist lain yang kebebasanya telah direnggut oleh takdirnya

………..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun