Tradisi Budaya DaerahÂ
Malang Selatan
1. Labuhan di Pantai Selatan
Labuhan, merupakan tradisi nenek moyang pendahulu kita yang sampai saat ini masih dilakukan oleh masyarakat setempat yang bertempat tinggal di daerah pesisir Pantai Selatan. Budaya ini merupakan suatu tradisi atau warisan turun-temurun yang diberikan oleh para pendahulu atau tokoh adat yang berada di daerah tersebut dan sampai saat ini masih dijaga kelestariannya.
Ritual ini dilaksanakan sekali dalam setahun guna sebagai bentuk ucapan syukur terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat dan nikmat-Nya selama ini, khususnya hasil laut yang melimpah yang merupakan pemberian Tuhan dan dianggap memiliki berkah bagi masyarakat sekitar Pantai Selatan. Kemudian, ada juga yang mengatakan labuhan ini dimaksudkan untuk berkomunikasi secara simbolik kepada penguasa Laut Pantai Selatan yaitu, Nyi Roro Kidul.
Setiap tahunnya, tradisi ini selalu dinantikan ribuan pengunjung dari berbagai daerah. Namun, karena adanya pandemi covid-19 kegiatan labuhan kali ini diselenggarakan sederhana dan tertutup untuk umum dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Semua masyarakat yang mengikuti upacara adat ini dilaksanakan berdasarkan adat Jawa dengan memakai pakaian khas orang Jawa atau Kejawen.
Masing-masing daerah melaksanakan ritual labuhan secara bervariasi, mulai dari penetapan tanggal, rangkaian acara, kelengkapan apa saja yang harus disiapkan seperti sesaji untuk larung, dan lain sebagainya.Â
Hampir di setiap bagian pantai masyarakatnya menyelenggarakan tradisi labuhan. Akan tetapi mereka memiliki inti dan tujuan yang sama yaitu bersyukur dengan melabuhkan beberapa piranti adat tersebut. Dan diiringi dengan lantunan do'a dan pujian.
Belakangan setelah islam masuk Indonesia, maka do'a-do'a dalam upacara labuhan laut ada yang ditambah dan diganti dengan bahasa Arab yang sebagian diambil dari ayat-ayat Al-Qur'an. Hal ini menunjukkan telah terjadi pencampuran budaya antara budaya lokal dengan ajaran Islam. Â
Ritual Labuhan di Pantai Selatan dilaksanakan dengan melabuh atau melarung sesaji ke tengah laut, dimana sebagian warga setempat melarung kepala, kulit, dan kaki kambing atau sapi ke Laut Selatan. Selain itu, ada juga yang melarung ubo rampe seperti aneka macam buah-buahan, sayur-sayuran, bunga tujuh warna, dan nasi tumpeng. Sebelum dilarung ke laut, biasanya sesaji-sesaji tersebut diberi do'a bersama oleh masyarakat.
Seusai dido'akan, sesaji tersebut dibawa atau dikirab menuju bibir pantai kemudian dimasukkan ke dalam dua perahu untuk ritual labuhan. Para masyarakat hadir untuk menyaksikan prosesi ritual, tidak hanya masyarakat setempat namun ada juga para wisatawan dari daerah lain.Â
Pada saat sesaji dilabuh ke laut, para warga akan saling berebut untuk mengambil air di sekitar sesaji yang kemudian dimasukkan ke dalam botol, yang dipercaya air tersebut membawa berkah.
Sementara itu, bagi para wisatawan yang berkunjung di pantai ini terlihat antusias menyaksikan prosesi labuhan ini. Mereka juga mengabadikan setiap prosesi dengan handphone yang mereka bawa.
2. Nyadran atau Nyekar
Tradisi ini dilakukan dengan ziarah kubur ke makam orang tua atau keluarga guna membersihkan makam, menabur bunga lalu mendo'akannya. Masyarakat yang melakukan tradisi Nyadran percaya bahwa membersihkan makam adalah simbol dari pembersihan diri menjelang bulan suci. Nyadran dilakukan sebagai bentuk bakti kepada para pendahulu dan leluhur.
3. Kenduri atau Slametan
Kenduri pada dasarnya merupakan sebuah tradisi atau kebiasaan dalam masyarakat sebagai acara rutin ketika ada seseorang yang meninggal, perkawinan, menempati rumah baru, kematian seseorang ataupun penanggalan Jawa. Kenduri masih menjadi salah satu tradisi yang dapat mempererat tali silaturrahim masyarakat lingkungan tersebut.
Dengan adanya kenduri, terdapat nilai-nilai Islami yang bersifat sosial seperti, bersikap santun pada orang lain, suka menolong, mampu berempati dan mampu menghargai hak antar sesama.Â
Nilai-nilai yang telah ada di dalam masyarakat itu harus diperjuangkan dan dilestarikan hingga saat ini sehingga budaya yang telah ada di dalam masyarakat tidak hilang begitu saja. Slametan adalah inti tradisi kejawen, yang menjadi sebuah permohonan simbolik masyarakat terhadap Tuhan atas rasa syukur kepada-Nya.
4. Tingkeban
Tradisi ini diselenggarakan apabila anak yang dikandung adalah anak pertama bagi si ibu, ayah atau keduanya. Pada kelahiran bayi itu sendiri disebut dengan babaran atau brokohan, lima hari setelah melahirkan disebut dengan pasaran dan tujuh bulan setelah kelahiran disebut dengan pitonan.
5. MidadareniÂ
Midadareni yaitu slametan perkawinan yang diselenggarakan pada malam hari, dalam upacara ini mengharapkan agar pasangan atau kedua mempelai tidak terpisahkan satu sama lain.
6. Wiwit
Wiwit merupakan tradisi yang dilakukan oleh para petani, menjelang panen di ladang atau sawahnya, dalam bahasa lainnya mengawali panen. Tradisi ini dilakukan di sawah, dengan membawa bancaan dengan berbagai ubo rampenya.Â
Dilakukan pemilik sawah dengan beberapa orang keluarga. Bancaan yang dibawa dido'akan terlebih dahulu sebelum disebar atau diletakkan di pojok-pojok sawah dengan menggunakan takir (wadah dari daun pisang).
7. Tedhak SitenÂ
Tedhak Siten sendiri artinya adalah melangkah di bumi. Tradisi ini menggambarkan kesiapan seorang anak untuk menghadapi kehidupan yang sukses di masa depan, dengan berkah Tuhan dan bimbingan dari orang tua sejak masa kecilnya.Â
Upacara ini dilakukan ketika anak telah memasuki usia 7 lapan atau 245 hari. Tedhak siten menggunakan sajen yang melambangkan permintaan dan do'a kepada Tuhan untuk menerima berkah dan perlindungan serta memerangi perbuatan jahat dari manusia dan roh jahat.
Itulah tradisi-tradisi yang ada di daerahku, gimana dengan daerah kalian kakak-kakak? Pasti lebih banyak lagi yaa...
Dok. 23 Feb. 22_Uhsinul Fatmawati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H