Mohon tunggu...
Unnu Hartomo
Unnu Hartomo Mohon Tunggu... Wiraswasta bidang engineering -

Design engineer with mechanical engineering background.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Orientasi “Hasil Semata”: Penyebab Mengakar Kuatnya "Budaya Korupsi" di Indonesia?

27 Januari 2016   20:07 Diperbarui: 27 Januari 2016   20:15 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="sumber: Don Peppers Blog"][/caption]Bila bisa dijadikan suatu kebanggaan, mungkin “budaya korupsi” bisa dijadikan salah satu identitas bangsa Indonesia. Sayangnya budaya korupsi  ini lebih mengarah kepada konotasi yang negatif alias tidak pantas dan sangat memalukan, namun “budaya korupsi” sudah merupakan hal yang lumrah di negara kita tercinta ini dari tingkat kehidupan terendah sampai tingkatan yang lebih tinggi sekalipun, baik skala kecil, skala besar, secara sembunyi-sembunyi/halus maupun terang-terangan.  

Sudah banyak referensi yang membahas secara dalam mengenai budaya korupsi di Indonesia, dari mulai asal muasalnya, modus, motif, cara pencegahan, aspek hukum dan sebagainya. Tapi sejauh ini budaya yang sudah melekat kuat ini susah untuk dihilangkan. Bisa diibaratkan inilah petunjuk identitas terkuat bangsa Indonesia yang sesungguhnya.

Sekarang kita akan mencoba menela’ah secara pemikiran awam, mengapa budaya korupsi ini sangat mengakar kuat di Indonesia. Bila ditela’ah secara mendalam kemungkinan besar ada pola/cara pikir pada kebanyakan masyarakat Indonesia yang salah dan telah tertanam dalam alam bawah sadar dan menjadi budaya sejak jaman dahulu kala. Budaya ini secara perlahan dan pasti telah mulai ditanamkan sejak usia dini (masa kanak kanak). Pola pikir ini sangat mendasar, sederhana, tapi bisa mengubah masyarakat Indonesia kebanyakan menjadi  koruptor mulai kelas teri sampai monster kelas kakap. Hal paling mendasar tersebut adalah: Cara pikir kebanyakan masyarakat Indonesia yang hanya berorientasi pada “hasil semata” bukan “proses menuju hasil”. Bagaimana hubungan cara pikir ini dengan budaya korupsi bangsa Indonesia ini? Tulisan ini akan mencoba menela’ah lebih lanjut.

OrientasiHasil Semata” vs Orientasi “Proses menuju Hasil”

Orientasi “hasil semata” adalah segala sesuatu hal yang dilakukan akan lebih mengutamakan “hasil yang diperoleh” daripada “proses untuk mencapai hasil tersebut”. Tidak peduli bagaimana prosesnya, bisa dengan proses yang benar ataupun dengan proses yang salah, yang penting hasilnya sesuai keinginan. Di dalam agama manapun, diajarkan bahwa proseslah yang terpenting, karena di dalamnya ada keberkahan dari Tuhan Yang Mahe Esa bila proses yang dijalani berada pada koridor yang benar menurut ajaran agama, tidak peduli bagaimana hasil akhirnya.

Hasil akhir hanyalah efek dari proses tersebut. Biasanya bila prosesnya baik dan benar, maka hasilnya pun akan maksimal. Kalaupun hasilnya tidak sesuai dengan harapan, namun proses yang baik dan benar tersebut telah memberikan banyak hikmah dan  keberkahan, bisa berupa:  pengalaman berharga, ilmu bermanfaat, hubungan relasi bertambah, kesehatan, waktu bermanfaat, terbukanya pintu rizki lainnya dan sebagainya.

Dari pengalaman hidup sehari-hari di negara kita tercinta ini, ternyata kebanyakan masyarakat Indonesia lebih mengutamakan “hasil” daripada “proses”. Kesuksesan hakiki di mata kebanyakan masyarakat Indonesia adalah hasil yang tampak, tidak peduli prosesnya bagaimana. Padahal hasil maksimal itu tidak selalu berwujud alias abstrak, namun karena pola pikir masyarakat Indonesia yang telah diracuni sejak usia dini, maka hasil maksimal itu adalah sesuatu yang tampak mentereng/mencolok dan bisa dikagumi secara langsung. Manusia yang intelek dan berwawasan luas tidak akan dengan mudah melihat “hasil semata”, tetapi akan berusaha memahami bagaimana “proses”  yang telah dilalui dalam mencapai hasil tersebut atau dapat memahami arti dari hasil yang hakiki, bisa berwujud ataupun tak berwujud/abstrak.  

Beberapa contoh sederhana berikut dapat memberikan sedikit gambaran, bagaimana  bentuk dari orientasi  pada “hasil semata”:

Ada percakapan beberapa orang (mungkin makelar), intinya percakapan mereka membahas mengenai beruntungnya jadi makelar hasil pertanian, tidak perlu lelah melakukan proses tanam, bisa mengatur harga dan untung lebih besar, sedangkan petani harus kerja berat melakukan proses tanam dan untungnya pun tidak seberapa. Di sini mereka hanya berorientasi pada hasil, tanpa memikirkan proses.

Kalau makelar yang tidak curang mungkin tidak masalah, tapi kalau makelar yang curang maka hasilnya kemungkinan tidak membawa keberkahan walaupun dengan hasil keuntungan yang melimpah. Petani sendiri kemungkinan melakukan hal yang lebih berkah dan bernilai moral tinggi, mereka telah sukses melakukan proses tanam dengan kesungguhan dan menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan orang banyak. Petanilah yang sukses, kalau kita melihat dari prosesnya, bukan sekedar dari hasil keuntungan petani. Mungkin petani hidup pas-pasan, tetapi mereka menikmati proses tersebut dan mungkin juga memberikan kebahagian;

Dari obrolan beberapa orang, salah satu dari mereka membicarakan temannya yang kebetulan sedang tidak di sana, dia bilang temannya itu suskes sekali, mobilnya baru dan rumahnya bagus. Mereka tidak peduli bagaimana prosesnya yang penting tampak mentereng hasilnya. Selain itu mereka juga membicarakan teman yang lainnya yang kebetulan juga tidak hadir, bahwa temannya tersebut manusia gagal, berkali-kali usaha tetapi gagal. Mereka tidak menghargai proses yang sedang dijalani temannya tersebut. Padahal temannya yang sedang berproses itulah yang sukses. Sukses melakukan aksi bukan sekedar diam diri tanpa usaha. Sedangkan teman yang dibilang sukses dengan mobil baru dan rumah bagus tersebut, semuanya didapat dari warisan orang tuanya;

Ada seseorang yang sangat membanggakan anaknya yang punya nilai sangat baik di sekolahnya, dia bilang anaknya sukses sekolahnya nilainya bagus-bagus, sedangkan ada orang  yang tidak begitu membanggakan anaknya, bahkan anaknya sendiri dibilang tidak terlampau pandai karena nilai sekolahnya yang biasa saja. Namun ternyata anak yang nilainya bagus tersebut sangat egois, tidak ringan tangan dan sering menyuruh orang orang lain. Berbeda dengan anak yang dianggap tidak pandai, anaknya ringan tangan/suka menolong, tidak egois, suka membaca dan banyak bertanya tentang berbagai hal karena rasa ingin tahunya yang sangat besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun