Mohon tunggu...
Ugit Rifai
Ugit Rifai Mohon Tunggu... Guru - Learn, Invent, Dedicate

Muncul dan membesar di Cirebon atau Cerbon. Pernah menetap di Bandung selama 9 tahun untuk kuliah dan bekerja. Sekarang sudah kembali dari perantauan dan menetap di Cerbon. Dengan kesibukan mengajar sehari-hari, masih sempat menyenangi membaca dan menulis. Internet adalah wadah utamanya. Karena kalau nulis di media belum tentu dimuat. hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerita Pendek: Cinta Rahasia

31 Desember 2010   04:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:10 3044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

CINTA RAHASIA

Ugit Rifai Amsal Hadi

Seperti masa-masa yang sudah, aku selalu menemukannya. Tuhan mungkin selalu berkehendak demikian. Aku bukan siapa-siapa menolak kehendak-Nya. Aku tak tahu apakah aku sedang berbaik sangka kepada-Nya, ataukah sebaliknya. Tapi, aku merasa Tuhanlah yang selalu membuatkan langkah-langkah untukku. Aku seolah air yang akan selalu menemukan muaranya, tak peduli dari arah mana ia dicurahkan dan ke mana dialirkan. Aku akan selalu menemukan seseorang untuk kucintai secara diam-diam.

Seorang teman pernah berujar, ”Cinta paling jernih di alam dunia ini adalah cinta rahasia yang tak pernah terucap dan tak pernah terungkap.”

Aku sempat benar-benar tak percaya dengan ucapannya. Aku bahkan tak begitu yakin kalau ia memahami kata-katanya sendiri. Cinta itu menurutku serupa angin. Dia mungkin tak membentuk tak berujud, tapi kau merasakannya. Kalau arimu tersentuh lembutnya, kau akan tahu itu angin. Lalu, bagaimana mungkin cinta tak terungkap?

Baru aku mengerti maksud kalimat itu, ketika aku menemukannya, dia, dan dia yang satu lagi. Dan sekarang, aku menemukan lagi dia yang lain. Aku tak pernah tahu nama-nama mereka. Bagiku itu tak penting. Aku bahkan tak pernah mencari tahu atau sekadar ingin tahu. Nama bagiku tak lebih dari label yang bisa diganti dengan apapun sesukaku. Biarpun begitu, aku tak pernah menamai mereka dengan apapun. Aku cukup menyebutnya ‘dia’.

Aku menemukan dia yang pertama di bus antarkota jurusan Bandung-Cirebon. Waktu itu aku langsung yakin kalau dia berasal dari Kota Sumedang karena ketika bus yang mengantarku menghentikan lajunya tak jauh dari kantor Polres Sumedang, dia baru terlihat menyesaki kerumunan penumpang. Aku tak pernah ambil pusing tentang kemungkinan lain kalau seumpama sebenarnya ia berasal dari Bandung, bukan Sumedang. Toh, itu juga jadi bagian yang tak penting.

Pertama kali terlihat, ia begitu biasa. Ingat, aku bilang ‘terlihat’. Ya, aku tak pernah benar-benar ingin melihatnya. Ia muncul begitu saja dan mengisi ruang pandangku. Aku tak mungkin menghindarinya. Ia yang begitu biasa dengan rambut sebahu diikat. Lehernya tak begitu jenjang, tapi tetap terlihat tanpa geraian rambut yang menutupi. Tubuh langsingnya dibalut kaus lengan panjang dengan motif garis-garis. Terlihat tangannya menjangkau-jangkau pegangan bus. Sebagian lengannya terbuka dari singkapan lengan panjang kaus yang dikenakannya. Kulitnya yang sewarna cangkang telur menisbatkan keindahan yang tak biasa. Ah, sayang wajahnya tak menghadapku. Aku pun tak pula pandai mengira-ngira.

Dua hari berlalu, aku menemukan dia yang sama di kampusku. Aku yakin itu dia dari kulitnya yang sewarna cangkang telur. Ternyata wajahnya manis dengan dua mata sipit, hidung pesek dan bibir mungil. Dia selalu terlihat di tempat dan waktu yang tak tentu. Aku pernah tak sengaja melihatnya sedang berjalan menuju tempat kuliahnya, sedangkan aku berada di dalam kamar asrama mahasiswa. Pernah pula ia terlihat di dalam perpustakaan kampus saat aku sedang mencari referensi untuk skripsiku. Tak jarang pula ia muncul di koperasi mahasiswa atau sekadar meluruskan kakinya di koridor masjid kampus. Ia selalu terlihat. Aku tak sengaja melihatnya. Sejak itulah, aku nyatakan dalam hati: Aku cinta dia.

Dia lalu begitu saja menjadi bagian penting dalam doa-doaku. Aku tak tahu apa yang sedang diperbuatnya atau apa yang sedang ia hadapi. Tapi, doaku buatnya cukup. Aku mendoakan kesuksesan atas apapun yang dikaitkan dengannya. Aku tak butuh nama untuk mendoakannya, begitu pun Tuhan. Ia tak perlu nama untuk mengabulkan doa seseorang. Aku mencintainya dalam hatiku.

Dia yang pertama jarang lagi terlihat saat aku mesti meninggalkan asrama mahasiswa. Lalu aku pun menempati sebuah kamar kos jauh dari asramaku dulu. Dia tak lagi terlihat. Aku masih mencintainya dalam hatiku.

Kemudian muncullah dia berikutnya dari perjumpaan yang tak diduga. Dia yang terlihat selewat di permulaannya. Tapi aku langsung menemukan raut wajahnya di situ. Kulit wajahnya terang berhias mata lentik, hidung agak mancung, dan bibir mungil. Tak sehelai rambutnya terurai. Rambutnya tertutup kerudung krem berenda yang membungkus kepalanya. Dia sedang membeli sarapan paginya, sementara aku sedang mencari-cari sampo untukku mandi pagi itu. Warung yang begitu kecil tak mungkin menghindarkan kami dari saling bertatap, meski sekejap. Seketika itu, hatiku kembali menghadirkan cinta. Aku cinta dia dalam diam.

Begitu aku mencintainya, tapi aku tak mau mengenalnya atau ia mengenalku. Biarlah dia menganggapku sebagai orang lain yang tak pernah dianggap ada. Karena jika begitu, cintaku padanya mungkin sekali akan terungkap. Aku tak mau itu. Aku ingin mencintainya diam-diam.

Selanjutnya keadaan tak pernah lagi sama. Selalu berubah. Dia terlihat, dia hilang. Dia yang lain muncul ke muka. Aku selalu menemukannya.

Terakhir kali, dia yang baru hadir. Tapi, sial, aku sudah tahu namanya lebih dulu. Bukan salahku, namanya terlihat begitu saja menempel di atas seragam yang dipakainya. PUTRIE, begitulah tulisan di papan nama itu. Dia cantik. Kali ini aku tak sengaja melihatnya duduk di belakang meja di dalam kantor pos. Dia adalah pegawai pos. Ah, hatiku bimbang kali ini. Apakah aku masih bisa mencintainya diam-diam? Lalu pikiran itu muncul: Jika nama tak penting untuk dicari, maka apa bedanya jika telah ditemukan? Kita masih bisa menggantinya dengan yang lain. Keputusan dibuat, aku akan mencintainya dengan sembunyi-sembunyi.

Entah saat itu aku sedang sial atau beruntung, hari berikutnya dia terlihat lagi sedang berjalan melewati gang sempit di sekitar tempat kosku. Kami berpapasan. Sial, dia menyapaku! Meski belum tahu namaku, dia merasa mengenali wajahku dari perjumpaan sebelumnya. Aku terpaksa tersenyum dan membalas sapaannya.

Lewat dua hari, dia tak terlihat. Aku lega. Aku masih ingin mencintainya dengan sembunyi-sembunyi. Tapi, perkiraanku meleset. Aku menemukan secarik kertas di gang sempit antara bangunan-bangunan kamar kos yang biasa dia lewati. Itu miliknya, kulihat namanya di atas. Lalu, menyusul ada tanggal lahir, alamat, pekerjaan, dan seterusnya. Sial, aku jadi tahu lebih banyak tentang dia! Tenang, ini cuma deretan huruf-huruf dan angka-angka yang tidak berarti. Aku pikir aku masih bisa mencintainya dengan sembunyi-sembunyi.

Hari selanjutnya suasana tenang. Tak ada lagi kabar tentang dia. Aku pun berusaha menghindari untuk pergi ke kantor pos. Aku beralih ke jasa kurir. Semua berjalan lancar. Hingga suatu siang, saat aku sedang makan siang dengan temanku, tiba-tiba saja dia muncul dan duduk di samping temanku. Dia menyapa temanku tanpa canggung lalu menyambungi obrolan kami. Sial, ternyata dia kawan temanku! Dia sadar aku ada saat itu, lalu mata kami saling berpandang. Alamak, dia mengulurkan tangannya. Sial, hari itu kami berkenalan juga!

Aku sudah terlampau banyak ditimpa kesialan dengan dia yang baru ini. Tapi, biarlah, aku masih mau mencoba mencintainya dengan sembunyi-sembunyi.

Minggu ketiga setelah perkenalan itu, temanku itu datang membawa surat terbungkus amplop lucu bergambar karakter kartun. Di dalamnya ada tertulis ini:

KAU TAK BISA MENCINTAIKU DIAM-DIAM

KARENA AKU MENCINTAIMU.

- Putrie -


Sial, aku tertangkap! Cintaku terungkap!

Cirebon, 30 Oktober 2010 01:16 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun