Konflik di Papua tak kunjung selesai, akibat perbedaan pandangan politik mengenai sejarah masa lalu. Saling tembak antara TPNPB dan TNI/POLRI masih menjadi berita hangat masa kini.Â
Konflik masih terjadi di kabupaten Maybrat, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Nduga, Intan Jaya, Paniai, Puncak Jaya, Puncak dan beberapa daerah lainnya. Papua jadi wilayah konflik dan kekerasan. Akibat konflik itu para pengungsi ada dimana-mana. Bantuan kemanusiaan dari pemerintah juga sepi dan tidak ada upaya-upaya untuk keselamatan para pengungsi.Â
Justru pemerintah jadikan para pengungsi sebagai komoditas demi mendapatkan keuntungan kelompok tertentu. Perbedaan pandangan tentu tidak pernah menghasilkan sesuatu yang positif dan seringkali berujung pada konflik, konflik dan konflik. Karena itu, kedua kelompok antara TPNPB dan TNI/POLRI perlu masuk dalam agenda utama diskusi pemerintah untuk akhiri konflik.
Pemerintah terlihat tidak punya kemampuan menyelesaikan konflik diPapua. Terbukti, konfliknya masih membara dan tak kunjung usai sampai detik ini. Penyelesaian konflik di zaman modern ini, juga idak bisa dengan metode kuno seperti pemerintah bikin kebijakan banyak, bikin UU banyak ataupun ajak mengajak, sebab eksistensi kedua kelompok antara TPNPB dan TNI/POLRI senantiasa bersikap egois dan saling mempertahankan ideologi nya masing-masing. Kedua kelompok ini, lebih mengedepankan emosi kebencian dan kemarahan daripada menerima duduk sama-sama di satu meja perdamaian.Â
Permintaan maaf kedua kelompok ini juga sudah menjadi sesuatu yang tabu. Saling fitnah dan adu domba dijadikan dengan cara menciptakan konflik di tengah masyarakat: masyarakat sipil jadi korban. Kedua kelompok ini tidak akan pernah mengakui kesalahan, selama pemerintah tidak cepat ambil langkah solusi perdamaian.
Salah saatu konflik yang terjadi di Papua karena kesempitan berpikir dan cara pandang yang konservatif. Kesempitan berpikir menciptakan perilaku diskriminasif, saling terror, dan saling stigma ini dan itu. Yang dimaksud kesempitan berpikir adalah lemahnya literasi dan terlalu rendah berpikir rasional.Â
Jadinya cenderung untuk memutarbalikakan kebenaran atas pandangan sendiri dan menolak untuk menerima kebenaran dari sudut pandang orang lain. Selalu merasa benar antara TPNPB dan TNI POLRI meskipun tidak berpijak pada akal sehat dan realita yang ada. Disinilah pemerintah tidak hadir dan tidak punya kemampuan untuk membuka ruang dan atasi konflik.
Konflik memang tercipta, akibat berbeda pendapat. Akibat salah menggunakan saluran komunikasi. Akibat gagal mengelola masalah. Hingga akhirnya, semua orang membenarkan pikirannya sendiri. Adu argumen sambil mempertontonkan kepintaran dan ego di ruang publik.Â
Maka berbeda pandangan itu berubah jadi konflik yang skala besar. Konflik itu sesungguhnya biasa saja dan dimana-mana juga ada konflik, karena konflik bagian dari dialektika. Yang fatal itu, konflik menjadi tontonan ke ruang publik. Apalagi karena sentimen atau rasa benci misalkan antara OAP dan No-OAP yang sudah lama terbangun. Sehingga hal itu dipertengkarkan dimedia sosial dengan narasi-narasi negatif yang lebih dominan ketimbang komentar-komentar perdamaian.
Di dunia literasi, konflik itu hanya tumbuh karena ketidaktahuan dan kecurigaan. Saat kebenaran bertengkar dengan prasangka maka yang terjadi kekacauan sosial. Disini pentingnya pemerintah berpijak pada akal sehat, mencari solusi damai dengan cara-cara bermartabat.Â
Agar konflik tidak berubah jadi musuh yang lama dan abadi. Pun, pemerintah punya segalanya, uang, teknologi, data statistik, akses, gedung, telpon, profesor, pakar, ilmuwan, pengamat, pengacara, LSM, wartawan dan semua fasilitas pemerintah punya. Tinggal pemerintah pakai fasilitas itu mencari solusi konkrit demi menyelesaikan rentetan peristiwa kejahatan di Papua.Â