Ada dua jenis kelompok yang berseberangan dengan pemerintahan Joko Widodo. Pertama, mereka yang mengkritik dengan narasi, gagasan, dan solusi. Kedua, kelompok yang cenderung menghujat, memprovokasi, dan menyebarkan hoaks di tengah-tengah masyarakat.
Pada kelompok yang pertama, mereka menawarkan gagasan yang berseberangan dengan pemerintah. Kelompok ini konsen memberikan kritik atas kebijakan pemerintah. Mereka tersebar di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Non Governmnet Organization (NGO), akademisi, dan oposisi yang kini dipimpin Prabowo Subianto.
Jika diperhatikan secara seksama, belum ada satu pun dari kelompok ini yang ditangkap dan diadili atas gagasan-gagasannya yang kontra naratif dengan kebijakan pemerintah. Justru sebagian pendukung pemerintah berupaya dengan sungguh-sungguh memberikan jawaban, penghormatan, dan klarifikasi atas kritikan-kritikan yang dilontarkan kepada pemerintah.
Di titik tertentu, kelompok ini tidak menciptakan keresahan di masyarakat. Bisa dimaklumi. Mereka menawarkan arah baru bagi perbaikan masa depan Indonesia. Di ruang publik, gagasan-gagasan mereka dibicarakan dan beredar luas.
Kontra naratif seperti ini sejatinya sangat diperlukan bagi pemerintah. Sebaik apa pun kepemimpinan seorang kepala negara, tidak ada kebijakan yang benar-benar absen dari kelemahan dan kekeliruan. Pada kondisi tertentu, pemerintahan tanpa kritik, berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan dan koruptif. Lewat kritik, tercipta keseimbangan atau check and balance.
Selama empat setengah tahun Presiden Jokowi menahkodai Indonesia, ada banyak kelemahan kepemimpinannya. Di sejumlah lembaga pemerintah, terdapat kelompok-kelompok yang diduga menjadi mafia. Mereka disinyalir tersebar di kementerian.
Penangkapan sejumlah menteri, anggota dewan, dan pegawai pemerintah di bawah garis komando kementerian oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan bahwa terdapat celah kelemahan kepemimpinan Jokowi.
Di sinilah pentingnya kritikan dan pengawasan. Saya yakin Jokowi akan sangat memaklumi dan menghormati masukan dan koreksi dari elemen bangsa. Tanpa keterbukaan pada kritik dan masukan, arah pemerintahan beliau tidak akan berjalan sesuai semangat Reformasi.
***
Kelompok kedua yang berseberangan dengan Jokowi nampaknya terkonsentrasi dan tersentral sebagai haters ketimbang pengkritik yang ingin menciptakan keseimbangan perpolitikan nasional. Kelompok inilah yang banyak ditangkap dan diadili selama mantan Wali Kota Solo itu memimpin Indonesia.
Sebagian orang yang pernah diadili tercatat pernah menyebarkan informasi hoaks tentang Jokowi yang disebut antek-antek PKI, anak haram, lahir dari keturunan China, dan memusuhi umat Islam.
Cara demikian sejatinya bukan kritikan. Melainkan upaya sementara pihak yang membangun kebencian. Pada kelompok ini, mereka berupaya sekuat tenaga menyalahkan semua kebijakan pemerintah. Minim apresiasi. Hatta pembangunan jalan tol dan infrastruktur jalan yang menjadi urat nadi roda perekonomian, dianggap sebagai kebijakan yang salah.
Sayangnya, mereka tidak hanya kelompok yang berafiliasi secara formal sebagai oposisi pemerintah. Tetapi juga tergolong oposisi yang memiliki jabatan-jabatan strategis di legislatif.
Keresahan-keresahan yang timbul di masyarakat tak terlepas dari peran kelompok ini. Mereka berkontribusi dalam pembelahan-pembelahan di masyarakat. Informasi yang berbau provokasi telah meningkatkan eskalasi dan polarisasi di masyarakat.
Di masa depan, peran kelompok ini harus diminimalisasi di panggung perpolitikan nasional. Narasi dan kritikan harus lebih tinggi kualitasnya agar tercipta gagasan-gagasan yang dapat memperkaya konsepsi di balik kebijakan pemerintah.
Bagaimana caranya? Para akademisi dan anak bangsa yang memiliki konsepsi bagi perbaikan bangsa harus turun ke gelanggang dan memenuhi ruang-ruang diskusi serta publikasi di media massa.
Kemudian kelompok oposisi pemerintah perlu menyodorkan orang-orang yang memahami kebijakan negara, dapat menguliti seluk beluk kekeliruan strategi pembangunan, dan memberikan solusi yang dapat mengganti kebijakan pemerintah yang kontra produktif dengan masa depan bangsa.Â
Tanpa itu, lima tahun ke depan kita masih akan disuguhkan dengan provokasi yang tak mendidik ketimbang kritikan yang membangun negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H