Gempa 7,0 skala richter (SR) di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang terjadi pada 5 Agustus lalu, menyisakan banyak pesan duka. Terlebih adanya puluhan gempa susulan yang saling bersahutan. Bencana tersebut telah meninggalkan tangis yang mendalam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, terdapat 560 orang korban jiwa dalam pasca gempa tersebut.
Beberapa waktu setelah gempa, sebuah media online melaporkan satu keluarga tertimpa reruntuhan. Proses evakuasi berlangsung dramatis. Karena tim satuan dari pemerintah pusat dan daerah harus membelah tumpukan beton yang menimpa korban.
Hasilnya, seorang ibu dan anak meninggal dunia dalam keadaan saling berpelukan. Saya menduga, ketika gempa terjadi, mereka berusaha saling merangkul, menyelamatkan, lalu keluar dari reruntuhan. Namun tidak berhasil. Akhirnya, keduanya hanya bisa saling berpelukan. Hingga nyawa mereka tak terselamatkan.
Kisah pilu di balik korban gempa Lombok memang belum usai. Di media sosial, selama sebulan terakhir, saya aktif memantau beberapa publikasi yang menandakan beragam proses evakuasi terhadap korban jiwa.
Pun demikian, jumlah korban jiwa belum dapat dipastikan. Sebab pemerintah belum menyesuaikan antara data kependudukan dengan korban jiwa yang ditemukan. Bisa dimaklumi. Karena fasilitas publik banyak yang rata dengan tanah. Setelah semuanya pulih, reruntuhan bangunan dibersihkan, evakuasi berakhir, baru dapat dipastikan kalkulasi korban jiwa di balik gempa tersebut.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, gempa di daerah seribu masjid tersebut tercatat sebagai gempa terbesar kedua yang telah memakan korban jiwa di Indonesia. Kita ketahui bersama, pada 30 Desember 2009, terjadi gempa dengan kekuatan 7,6 SK di Padang Pariaman, Padang, Sumatera Barat. Akibatnya, sebanyak 1.115 orang meninggal dunia, 65.306 rumah rusak sedang, dan 78.591 rumah rusak ringan.
Gempa di NTB berpusat di Lombok Utara dan Lombok Timur. Namun guncangannya terasa di pulau Sumbawa, Bali, hingga Nusa Tenggara Timur (NTT). Tiga daerah yang berdekatan dengan Pulau Lombok tersebut mengalami gempa ringan.
Ini menandakan, pergerakan lempeng bumi terus terjadi. Tidak ada yang dapat memastikan kapan dan bagaimana gempa susulan akan berlangsung. Hanya ada peringatan dini. Bahwa potensi gempa  masih ada. Sehingga prediksi terhadap waktu terjadinya gempa, tidak selamanya akurat. Tak heran, beberapa kali gempa susulan, terdapat penduduk setempat yang masih berada di rumahnya. Mereka mengira, setelah gempa terbesar yang melanda di awal bulan lalu, tidak ada lagi gempa susulan.
Dalam beberapa hari terakhir, kita mendapat laporan, penduduk setempat masih mengungsi di tenda-tenda darurat yang dibangun secara mandiri maupun tenda massal yang dibangun pemerintah. Kita bisa membayangkan, bagaimana kehidupan mereka selama sebulan di tengah bayang-bayang gempa yang belum dapat diprediksi secara cermat.
Penduduk Lombok masih membutuhkan uluran tangan dari banyak pihak di negeri ini. Air bersih, pakaian, makanan siap saji, dan obat-obatan mendesak untuk segera disediakan.
Terdapat 270.168 orang yang mengungsi. Dengan fasilitas seadanya, mereka hidup dalam kubangan kekurangan. Mereka beraktivitas di tenda-tenda yang tidak layak. Karena di beberapa tempat, lima sampai enam orang, ditempatkan dalam satu tenda.
Hal itu diperparah dengan kebutuhan harian pengungsi yang belum dapat tersedia secara memadai. Memang pemerintah telah bekerja ekstra. Melibatkan kerja kolektif antara pemerintah pusat, daerah, dan relawan dari beragam organisasi sosial. Namun penyaluran bantuan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak persoalan teknis yang menghalangi proses penyaluran bahan makanan, pakaian, dan obat-obatan. Salah satunya, akses jalan untuk transportasi yang sebagian besar rusak parah.
BNPB melaporkan, hingga 29 Agustus 2018 ini, tercatat 83.392 unit rumah warga rusak parah. Kemudian 3.540 fasilitas umum dan sosial luluh lantak, rata dengan tanah. Secara khusus, kita bisa memastikan, bahwa fasilitas umum tersebut meliputi sarana pendidikan, kesehatan, dan kantor pemerintah. Artinya, di beberapa daerah, aktivitas pendidikan dan pelayanan rumah sakit lumpuh total.
Saya bisa memaklumi upaya Presiden Joko Widodo melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahyo Kumulo yang menginstruksikan pada pemerintah daerah, agar menyalurkan bantuan untuk korban gempa di Lombok. Tentu saja, bukan karena pemerintah pusat tidak lagi mampu membiayai pemulihan trauma pendudukan, penyediaan bahan makanan, dan perbaikan pemukiman karena gempa tersebut. Namun ini bentuk pengingat, bahwa solidaritas itu bagian terpenting dalam penanggulangan bencana. Ini juga upaya merajut persatuan di tengah jeritan dan derita yang melanda anak negeri ini.
Sangat disayangkan, gempa Lombok yang harusnya menjadi duka bersama, tak sedikit yang menggunakannya untuk kepentingan politis. Saling menjatuhkan, mengolok, dan menihilkan peran pemerintah. Itu massif terjadi di media sosial. Berseliweran. Pertanda ada orang-orang yang menari di atas derita sebagian orang di Indonesia.
Harusnya, kita perlu bersabar untuk melihat fenomena ini. Agar bisa mengambil langkah, hikmah, dan pelajaran. Bahwa di balik duka, masih ada orang yang sanggup saling menjatuhkan hanya karena hal-hal sepele. Nafsu bertengger di ubun-ubun. Bersamaan dengan waktu pembukaan Asian Games di Jakarta, seorang wakil rakyat daerah pemilihan Sumbawa, hilir mudik mengabarkan pada dunia atas kerisauannya di balik lambannya pemerintah menyaluarkan bantuan, tudingan kekurangan anggaran, hingga minimnya fasilitas yang disediakan.
Memang sebagai wakil rakyat, butuh eksistensi, popularitas, dan nama baik di hadapan publik. Tetapi alangkah baiknya, di tengah duka yang menganga di publik Lombok, kata-kata manis, support, dan bantuan langsung, sejatinya lebih penting daripada saling menyalahkan.
Kini kehidupan masyarakat Lombok berangsur pulih. Namun bukan berarti tidak membutuhkan uluran tangan dari penduduk negeri ini. Gempa Lombok adalah duka kita. Kita perlu bahu membahu menyampaikan doa, bantuan, dan pesan optimisme, bahwa kelak, hari esok, NTB akan kembali bersinar. Lewat lantunan adzan yang bersahutan di balik merdunya suara mu'adzin, sisa-sisa kenangan seribu masjid, kita akan kembali merajut pembangunan di NTB. Juga atas usaha dan semangat Tuan Guru Bajang, masih ada harapan akan masa depan gemilang di tanah NTB. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H