Perubahan sosial, pendidikan, dan sejarah kehidupan sosial kemasyarakatan sudah menjadi sunatullah. Sehingga kita tidak mungkin menghindari perubahan dan kemajuan. Sebab perubahan ini telah diidamkan dan ditunggu masyarakat sepanjang sejarah. Apa tujuannya? Demi memajukan peradaban di masa yang akan datang.
Salah satu penanda perubahan dan kemajuan adalah perkembangan teknologi. Alat modern ini mempunyai dampak positif dan negatif bagi kehidupan manusia. Perkembangan teknologi disambut baik ribuan bahkan miliaran umat manusia dengan tangan terbuka.
Akibat positifnya, semakin berkembang teknologi informasi, mendorong komunikasi dan interaksi antar budaya dan peradaban bangsa yang semakin intensif. Maka globalisasi yang disertai dengan perubahan yang berdampak pada masyarakat merupakan jejak sejarah yang tidak dapat dielakkan. Umum disebut, "dengan adanya teknologi, segala urusan manusia akan terselesaikan".
Akan tetapi, itu tergantung setiap individu yang menggunakan dan memanfaatkanya. Dengan adanya teknologi, kita berharap mampu bersaing, menciptakan, dan mengambil contoh dari Barat. Caranya, mempelajari pemikiran orang Barat untuk menciptakan berbagai temuan yang berguna bagi kemajuan dunia.
Salah satu temuan mutakhir akibat perkembangan teknologi adalah media sosial (medsos). Di berbagai akun medsos juga google, kita bisa mendapatkan ilmu pengetahuan dan ribuan informasi yang ingin kita cari untuk memperkaya wawasan.
Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, penduduk Indonesia sebanyak 256,2 juta jiwa. Sebanyak 132,7 juta jiwa menggunakan smartphone. Sementara pengguna internet dari umur 10-24 tahun sebanyak 24,4 juta jiwa atau 18,4 persen, umur 25-34 tahun mencapai 32,3 juta jiwa atau 24,4 persen, umur 35-44 tahun berkisar 38,7 juta jiwa atau setara dengan 29,2 persen, umur 45-54 tahun sebanyak 21,8 juta jiwa atau 18 persen, dan 10 persen untuk umur 55 tahun ke atas atau 13,2 juta jiwa.
Dari sekian banyak pengguna internet di atas, semuanya berpotensi untuk menggembangkan diri, memperkaya khasanah keilmuan, dan menyebarkan ilmu pengetahuan dengan mudah serta cepat diakses oleh pengguna internet.
Dampak positif lain, jika anggota masyarakat pengguna internet sebanyak 132,7 juta jiwa tersebut menggunakan teknologi secara baik, benar, dan pantas untuk kegiatan pendidikan dan proses penyaluran dan pengaksesan informasi baik di tingkat lokal, nasional, dan internasiaonal, maka kemungkinan besar sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia tidak lagi berbentuk fisik. Apa sebabnya? Karena masyarakat akan belajar secara mudah dan nyaman. Pasalnya, hanya bermodalkan smartphone, jendela dunia dapat dengan mudah digenggam.
Namun yang terburuk, ironis, menyakitkan, dan sekaligus memalukan, sebaliknya bukan pemikiran yang ditiru, tetapi kita terjengkit cara hidup yang bertentangan dengan norma-norma estetika yang berlaku dalam ajaran agama.
Sangat disayangkan, kebanyakan mahasiswa harus membeli penyakit itu dengan waktu yang sangat mahal. Bagaimana caranya? Mereka menggunakan teknologi yang justru tidak mendukung pendidikan.
Dalam pengantarnya di sebuah buku, Prof Abdurrahman Mas'ud mengutip ramalan yang dikemukakan seorang futurolog "bahwa di tahun 2030-an, perguruan tinggi Amerika Serikat (AS) akan menjadi tanah gundul yang ditinggalkan oleh orang-orang".
Ada yang menyebut, ke depan manusia tidak lagi memerlukan perguruan tinggi formal yang terkonsentrasi di lokasi tertentu. Juga manusia tidak lagi membutuhkan pendidikan formal maupun nonformal. Ironisnya lagi, setiap pelajar tidak lagi membutuhkan guru, dosen, dan bahkan pembimbing.
Jika ramalan yang telah dikemukakan di atas benar, maka pola pembelajaran yang akan diterapkan pada saat ini dan di masa yang akan datang, manusia akan mencukupkan diri dengan bermodalkan teknologi, sehingga dapat belajar secara otodidak dengan fasilitas yang memadai.
Akan tetapi, di sisi lain ramalan di atas sangat lemah jika ditinjau dari perspektif pemikiran dan realitas dewasa ini. Di mana setiap pengguna teknologi hanya menggunakannya untuk bermain. Sangat sedikit yang mengakses informasi yang menguntungkan bagi masa depan umat manusia. Antara lain menyebarkan berita yang tidak jelas asal-usulnya dan mengunggah informasi yang tidak berguna bagi publik.
Khusus di Kalimantan Timur, penulis amati, mahasiswa yang terkenal dengan julukan sang revolusi atau garda terdepan untuk perubahan, malah asyik beronani dengan teknologi. Padahal, sejatinya teknologi dapat digunakan untuk mengembangkan pendidikan, menciptakan peradaban, dan membangun masa depan kemanusiaan.
Mewujudkan Indonesia yang maju dibutuhkan para pemuda yang serius dalam pendidikan. Kalau bukan kita yang mengecap pendidikan pada hari ini dan masa yang akan datang, maka tidak akan ada satupun yang memajukan Indonesia.
Teknologi perlu dimanfaatkan dengan baik dan benar. Setidaknya sebagai media penunjang untuk mengasah kemampuan dan potensi yang kita miliki. Tentu saja tujuannya demi masa depan kita dan generasi yang datang kemudian.
Tetapi di tengah fenomena yang kian runyam, apakah teknologi yang salah atau individu-individu yang menggunakan teknologi yang salah, sehingga muncul penyakit kecanduan teknologi yang akhirnya digunakan untuk sesuatu yang tidak bermanfaat?
Cukup sekian. Lain kali akan saya jawab pertanyaan tersebut lewat artikel yang berbeda. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam
bissowab.
Oleh: Abdullah Dul AbdullahÂ
(Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong Kalimantan Timur)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H