Banyak publikasi yang menunjukkan, sebagian besar pelajar dari Barat, ketika bepergian, akan membawa bahan bacaan dalam bentuk buku maupun paper. Sedikit saja ada waktu luang, mereka akan memanfaatkannya untuk membaca dan menelaah beragam artikel dan buku. Bacaan mereka bisa berbentuk karangan ilmiah, fiksi, novel, dan temuan terbaru hasil penelitian.
Sekilas budaya demikian masih terlampau jauh dimiliki pelajar dan masyarakat Indonesia. Berdasarkan pantauan saya di Kalimantan Timur, dari 100 orang pelajar, hanya satu atau dua orang yang gemar membaca dan menelaah buku. Ini hanya gambaran sederhana yang saya yakini juga berlaku di sebagian besar daerah di Indonesia. Hal itu ditunjukkan lewat Data Perpustakaan Nasional tahun 2017. Data tersebut memperlihatkan budaya membaca dalam negeri masih sangat rendah.
Tolak ukur lainnya, tidak sedikit saya temukan para pelajar atau mahasiswa yang mengeluhkan rendahnya minat membaca buku. Ada yang beringinan membaca, tetapi setelah membuka beberapa lembar buku, sudah timbul rasa malas. Mengapa budaya membaca pelajar Indonesia sangat rendah? Apa sebabnya? Siapa yang harus berperan untuk meningkatkan minat baca?
Jika diselidiki lebih jauh, rendahnya minat baca tersebut terbentuk sejak kecil dalam lingkup keluarga dan lembaga pendidikan. Lebih jauh, pemerintah sebagai penggerak masyarakat, lebih senang mengeluarkan "fatwa" ketimbang memberikan contoh nyata keteladanan membaca buku.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani mengatakan, "minat baca harus ditingkatkan dan diperjuangkan agar masyarakat tertarik membaca."
Ada beberapa cara untuk meningkatkan budaya membaca di kalangan pelajar dan masyarakat. Pemerintah diharapkan tidak hanya mendorong masyarakat untuk gemar membaca. Tetapi harus disertai dengan contoh. Wali kota, bupati, gubernur, dan presiden hingga kepala pemerintahan di tingkat desa/kelurahan dan kecamatan sebagai ujung tombak kepemimpinan nasional dan daerah, perlu menjadi teladan kegemaran membaca buku.
Pun demikian setiap individu dan kelompok pegiat sosial yang menginisiasi gerakan membaca. Sejatinya, mereka harus terlebih dulu menjadi teladan. Sehingga secara perlahan dapat membawa pengaruh bagi lingkungan dan masyarakat sekitarnya.
Begitu juga dengan orang tua, guru, dan penggerak institusi pendidikan. Mereka harus memprakarsai lahirnya budaya membaca di tengah masyarakat. Setidaknya setiap hari, ada waktu khusus yang disediakan untuk membangun keteladanan mencintai ilmu pengetahuan lewat menelaah beragam buku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H