Mohon tunggu...
Ufqil mubin
Ufqil mubin Mohon Tunggu... Jurnalis - Rumah Aspirasi

Setiap orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Selamat Tinggal Demokrasi Kuantitatif

27 September 2014   00:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:21 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah baru bagi bangsa Indonesia sudah bergulir, pemilihan kepala daerah (pilkada) akan dikembalikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Tentu ini menjadi angin segar bagi kita. Karena dengan demikian, konflik horizontal, perpecahan antar golongan, dan biaya politik yang terbilang mahal akan beralih pada mekanisme dimana DPRD memiliki kewenangan penuh untuk menentukan kepala daerah.

Terlepas dari berbagai pro kontra yang bermunculan, saya memandang berbagai analisis yang mengerucut pada pilkada tidak langsung memiliki nilai kontekstual dengan kondisi bangsa Indonesia. “Pemilihan kepala daerah secara langsung memerlukan infrastruktur politik yang memadai,” begitu kata pengamat Politik Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta), Sudirman, beberapa waktu yang lalu. Infrastruktur politik yang dimaksud adalah sumber daya manusia yang akan memilih kepala daerah. Selama ini, suara mayoritas menjadi penentu utama terpilihnya kepala daerah, nyatanya pemilih tidak memahami track record yang dimiliki oleh calon kepala daerah.

Yang diperlukan dalam pemilihan secara langsung adalah tingkat pendidikan masyarakat yang tinggi, khususnya pemahaman yang mendalam tentang kondisi sosial kebangsaan. Lalu, dari jutaan pemilih adakah mereka memilih kepala daerah karena didasarkan pada aspek rasionalitas? Bukankah yang terjadi malah sebaliknya, pemilih banyak menentukan pilihannya hanya karena didasarkan oleh uang dan kedekatan emosional? Bukankah pemimpin yang lahir dari rahim pemilihan langsung oleh rakyat banyak terjerat kasus korupsi dan amoral? Lalu mengapa kita masih ingin bertahan dengan sistem yang jelas-jelas banyak melahirkan pemimpin yang tidak membawa perubahan bagi bangsa ini?

“Demokrasi kita adalah demokrasi kuantitatif,” demikian dikatakan akademisi Unikarta, Prof. Dr. Iskandar. Suara yang salurkan oleh seorang pemilih yang berasal dari akademisi dan tukang sayur dianggap sama. Tukang besi dan profesor memiliki tingkat kualifikasi yang sama dalam demokrasi kuantitatif. Seorang mahasiswa dan mereka yang tidak pernah menempuh pendidikan pun di anggap suaranya sama. Tidak heran kemudian dalam proses pemilihan ramai bermunculan wajah baru yang sengaja di mobilisasi demi menguntungkan mereka yang memiliki nafsu syahwat berkuasa dengan cara-cara yang mengesampingkan moralitas dan etika sosial.

Ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam pilkada lewat DPRD kedepan. Pertama, seleksi yang ketat. Hendaknya anggota DPRD yang melakukan seleksi terhadap bakal calon kepala daerah melakukan seleksi yang ketat dan membubuhkan syarat yang memadai kepada bakal calon kepala daerah. Syarat-syarat seperti religiusitas, kemampuan akademis, kualitas kepemimpinan, pengalaman organisasi, dan keberanian untuk memperjuangkan kepentingan rakyat diatas kepentingan individu dan golongan adalah bagian-bagian yang patut di kedepankan.

Kedua, partisipasi semua unsur seperti tokoh masyarakat, akademisi, pemimpin organisasi mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan pihak-pihak yang memiliki kualifikasi yang memadai untuk melakukan seleksi terhadap kepala daerah, uji publik, dan penentuan calon kepala daerah. Hal ini penting supaya DPRD betul-betul memilih berdasarkan kualitas yang dimiliki oleh calon kepala daerah.

Ketiga, keterbukaan dalam proses pencalonan, penyeleksian, dan pemilihan kepala daerah. Hal ini menyangkut terpenuhinya harapan masyarakat bahwa seluruh prosesi pilkada oleh DPRD bisa diketahui sepenuhnya oleh masyarakat. Hingga tidak ada lagi yang merasa kecewa, sepenuhnya masyarakat menerima pilkada lewat DPRD, dan ikut mengontrolnya. Keempat, pengawasan dari seluruh unsur masyarakat. Pengawasan tidak saja dilakukan oleh DPRD sebagai pemilih, tetapi masyarakat juga harus ikut serta dalam mengontrol proses pemilihan dan berjalannya pemerintahan daerah selama periodesasi kepemimpinan kepala daerah terpilih.

Kita berharap rasionalitas dan idealisme DPRD sebagai pemilih dikedepankan dalam proses pilkada kedepan, dengan demikian masyarakat akan percaya sepenuhnya dengan kemampuan dan kualitas yang dimiliki oleh wakil rakyat itu. Kita menunggu lahirnya pemimpin dari rahim pemilihan yang dilakukan oleh segelintir anak bangsa yang dipercaya menentukan sejarah bangsa ini. Selamat tinggal demokrasi kuantitatif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun