Saat saya menulis artikel ini almarhum Profesor Widjojo Nitisastro yang meninggal Jumat dini hari (09/03) sedang disemayamkan di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tempat beliau mengabdi sejak menjadi staf perencana pada tahun 1953, kemudian menjadi Kepala Bappenas tahun 1967-1971 dan Menteri Bappenas sekaligus Menko Ekuin mulai tahun 1973 sampai 1983.
Tidak banyak ekonom seberuntung Widjojo yang mendapatkan kesempatan menuliskan lembaran ekonomi Indonesia pada ‘selembar kertas putih’ dampak dari peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.
Setelah menyelesaikan pendidikan di FEUI, Widjojo bergabung dengan Badan Perantjang Negara pada tahun 1953. Kemudian melanjutkan pendidikan sampai tingkat doktoral di Universitas California Barkeley selesai tahun 1961. Di luar aktifitas sebagai perencana, Widjojo juga meluangkan waktu untuk menyebarkan ilmu dengan mengabdikan diri sebagai pengajar FEUI
Widjojo memimpin pembangunan ekonomi dengan memadukan intervensi pemerintah dan mekanisme pasar dengan . Keterpaduan makro-mikro disusun dengan berhati-hati, intervensi pemerintah dilakukan melalui anggaran dan penyertaan modal di BUMN, dan mendorong perkembangan swasta didorong lewat pembukaan penanaman modal asing yang beorientasi membangkitkan sektor produksi dalam negeri.
Di sisi lain, dalam menunjang kepemimpinannya Widjojo membangun budaya birokrasi yang sangat berbeda dibanding birokrasi Orde Baru. Birokrasi pada masa itu mengadopsi penuh gaya feodal Soeharto yang sangat menekankan ketegasan batasan antar lini, dimana garis komando sangat terjaga ketat sehingga hubungan atasan dan bawahan sangat kaku.
Widjojo yang mengabdikan hampir seluruh masa aktifnya di Bappenas justru lebih memilih budaya egaliter. Budaya ini mengikis hubungan feodal kaku antara atasan dan bawahan menjadi cair dan cukup demokratis.
Bappenas di bawah Widjojo mempunyai tugas memformulasikan perencanaan jangka menengah, tahunan dan APBN khusus anggaran pembangunan. Untuk perencanaan jangka panjang, draft formulasi dilakukan bersama Lemhanas untuk kemudian disahkan pada sidang umum MPR.
Budaya egaliter diambil Widjojo mengingat sifat pekerjaan Bappenas yang lebih menekankan pendekatan teknokratis yang menuntut setiap pegawai Bappenas dapat berdiskusi secara lugas, menyampaikan pendapat secara demokratis dengan argumentasi-argumentasi kritis, sehingga bermuara pada hasil keputusan yang teruji secara akademis. Budaya birokrasi yang elitis tidak memungkinkan adanya komunikasi yang intens lintas lini misalnya seorang menteri yang berdiskusi langsung dengan staf. Soeharto membangun budaya birokrasi yang bertingkat, sehingga hanya dengan menteri saja beliau berkomunikasi, tidak untuk level di bawahnya. Lalu menteri hanya berdiskusi dengan pejabat eselon 1 dan eselon 2, dan begitu seterusnya. Semasa Orde Baru, mungkin hanya Widjojo satu-satunya yang tidak memberlakukan pakem Soeharto tersebut.
Muhtarudin Siregar yang terakhir menjabat sebagai Sekjen Dephub mengemukakan di media internal Bappenas bahwa sudah biasa Widjojo menelpon atau memanggil staf yang bukan pejabat untuk berdiskusi. Widjojo akan memanggil siapa saja yang berurusan langsung dengan staf yang menangani dibanding mendapatkan laporan dari para pejabat eselon 1 maupun 2. Tidak mengherankan jika Widjojo cukup hafal dengan para personil Bappenas, sampai satpam maupun pramubhaktipun beliau mengenali.
Saat ini, sangat sedikit sisa-sisa penginggalan budaya birokrasi ala Widjojo baik di Bappenas maupun di kantor Menko Perekonomian. Sepertinya, Indonesia sangat menghambakan budaya feodal yang mengakrabi hampir seluruh sendi birokrasi di Indonesia.
Di luar kontroversi Widjojonomics vs Habibienomics dan Mafia Barkeley, Widjojo adalah begawan ekonomi yang dihormati.
Selamat jalan Pak Widjojo, semoga Tuhan memberikan tempat terbaik untukmu di sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H