Mohon tunggu...
Udo Z Karzi
Udo Z Karzi Mohon Tunggu... -

Tukang tulis. Lebih suka disebut begitu. Meskipun, jarang-jarang dibaca kompasianer. Hehee... Yang penting nulis aza. Biar nggak kenat-kenut...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Siapa Gitu Terpilih secara Aklamasi

2 Maret 2011   13:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:08 1226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SIAPA Gitu—Mamak Kenut belum tahu sih—terpilih secara aklamasi dalam suatu pemilihan ketua yang dilakukan musyawarah untuk mufakat. Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat. Artinya, "tidak satu orang pun" yang tidak setuju Siapa Gitu menjadi ketua.

Ah, Mat Puhit kembali mengeluhkan kembalinya politik model lama yang penuh rekayasa penuh jebakan; seakan-akan demokrasi, seolah-olah demokrasi, sepertinya demokrasi, kayaknya sih demokrasi. Ya, demokrasi seolah-olah, demokrasi seakan-akan, demokrasi kayaknya, demokrasi... semulah.

Soal ini, Orde Baru paling jago membuatnya. Dulu itu, dibuat demokrasi ala Indonesia. Demokrasi khas bangsa Indonesia. Demokrasi Pancasila. Demokrasi yang berbeda dari jenis demokrasi apa pun di dunia ini. Demokrasi ini menekankan pada musyawarah untuk mufakat. Demokrasi yang mengharamkan voting dengan alasan takut suaranya tidak bulat. Kalau tidak bulat yang lonjong atau malah segi tiga, segi empat, segi banyaklah. Kalau itu terjadi, jelas tidak bagus untuk demokrasi Pancasila.

Tidak. Dalam demokrasi Pancasila yang sesuai dengan karakter Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak boleh ada perbedaan. Semua sama. Satu suara, satu persepsi, satu pandangan. Perbedaan berarti pembangkangan. Perbedaan berarti tidak mendukung demokrasi yang musyawarah untuk mufakat yang terkadang di balik, mufakat dulu baru musyawarah. Persekongkolanlah! Tidak lebih tidak kurang.

Tapi dulu "orang-orang pinter" berkata, itulah demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Jadi, kalau kebetulan Mamak Kenut punya suara, tetapi sudah ada kesepakatan untuk mengegolkan seseorang menjadi ketua—biasanya lazim disebut hasil lobi di luar persidangan—Mamak Kenut tak berhak menggunakan suaranya sendiri untuk melakukan pilihan yang berbeda. Itulah musyawarah untuk mufakat. Itulah proses terjadinya aklamasi!

Maka, ketika ada cerita pimpinan lembaga atau organisasi tertentu terpilih secara aklamasi dalam sebuah persidangan yang demokratis, Minan Tunja takkan percaya. Di antara sekian puluh anggota yang ikut sidang dan memiliki suara, jelas ada yang berbeda dan ingin memilih yang lain. Tapi, suara berbeda ini "terpaksa" bungkam. Atas nama aklamasi, musyawarah-mufakat, atau "demokrasi".

Entahlah, di saat negeri ini memasuki era demokrasi dalam arti sesungguhnya—yang ditunjukkan dengan pemilihan presiden, gubernur, bupati/wali kota, hingga peratin dan Ketua RT—para pelitikus malah lebih suka memilih jalan aklamasi, musyawarah mufakat, dan sejenisnya; yang jelas-jelas menafikan perbedaan yang disimbolkan dengan peribahasa lama, "bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat".

Kemufakatan yang terjadi dalam kenyataannya tidak pernah terjadi. Yang ada hanya rekayasa politik yang justru tidak sehat dalam demokrasi yang menutupi perbedaan. Biar kelihatan kompak. Biar terasa utuh. Biar tak tampak pecah. Padahal, musyawarah-mufakat dalam praktek demokrasi (Pancasila) tidak lebih dari sekadar pemaksaan kehendak, rekayasa, dan peniadaan pendapat minoritas.

Demokrasi kok main seragam-seragaman. Kalau semua pikiran sama, pilihan sama, dan tidak ada sedikit pun yang mengaku beda, apakah demokrasi namanya? Bukankah pluralitas dalam demokrasi sangat dihormati? Tidakkah demokrasi yang demikian demokrasi yang penuh kamuflase-kamuflase?

Demokrasi aklamasi, musyawarah-mudakat adalah demokrasi yang dalam bahasa militernya: setuju, ya, syukur, kalau tidak, ya, harus (soalnya, moncong pistol sudah ada di atas kepala dan siap meletus).

Inilah demokrasi yang lahir dari pikiran para diktator. Soalnya, bagaimana mungkin membuat seribu orang seragam, sama persis isi kepalanya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun