Mohon tunggu...
Indra Afriza
Indra Afriza Mohon Tunggu... wiraswasta -

penyair dari harapan yang lama hilang

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Insomnia (Episode: Sahabat dan Jurnal)

17 Agustus 2010   05:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:58 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mengharapkan paling tidak ada pemberitahuan mengenai bagian mana yang harus diperbaiki atau apakah aku lebih baik jadi pedagang sayur saja. Tidak menggantung diri dalam kehampaan seperti ini.

* * * * *

Kuceritakan kekecewaanku saat makan malam bersama keluarga. Ibu menatap haru, Ayah menatap sinis. Firasatku buruk.

Ayah memberi petuah sakti: "Itu artinya puisi kamu memang jelek betul! Saking jeleknya, bahkan untuk dikomentari saja tidak pantess..!! Kalau kamunya memang tidak berbakat, untuk apa mereka memberi perhatian? Seperti gak ada kerjaan lain saja!!"

Malam ini, harapanku untuk menjadi penyair hilang sudah. Aku hanya akan menulis puisi untuk melayani pesanan. Lumayan, bisa menambah uang saku.

Jurnal Udo, Periode II: Swastanisasi

Tanpa terasa sudah setahun lebih semenjak lulus kuliah; setahun lebih mengirim lamaran, mengikuti wawancara, berlembar-lembar fotokopi dan pasfoto. Tanpa hasil. Sarjana Ekonomi. Sempat juga berdagang sembako, buku-buku bekas, di bawah tatapan tajam dan melecehkan dari Ayahanda.

Akhirnya, ada kenalan keluarga yang menawari pekerjaan di perusahaan swasta tempat dia bekerja. Koneksi. Langsung saja kusambar kesempatan itu. Jadilah, kini aku seorang pegawai kantoran. Jabatanku: Staff Administrasi.

Selamat tinggal Citeureup! Halooo... Jakarta? Aku datang untuk mencicipi hiruk-pikuk Metropolismu. Terima kasih.

Untuk mempersingkat jarak dan menghemat ongkos, aku menyewa sebuah kamar kost di daerah KMGS, Slipi. Memisahkan diri dari Ayah, Ibu, Adik, dan meja makan Antartika. Tak dinyana, ada rindu terselip dalam dada.

( ......... 3 tahun setelahnya )

Baru kali ini aku merasa begitu mudah lelah. Dulu jarak berkilo-kilo biasa kutempuh dengan semangat yang bergelora, menyala di setiap langkahnya. Kini jarak tujuh ratus meter dari kantor ke tempat kost sudah cukup untuk membuat letih tubuh dan pikiranku, sehingga yang ingin kulakukan hanyalah beristirahat untuk menyiapkan diri menghadapi kelelahan yang sama keesokan harinya. Mungkin ini hanyalah reaksiku yang terlalu berlebihan atau mungkin juga karena kondisi fisikku yang tak sebugar dulu lagi, aku tak tahu. Kucoba saja untuk terus menjalaninya. Sampai hari ini, sudah tiga tahun berjalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun