Semakin berkembangnya suatu negara dengan otomatis meningkat pula tingkat kebutuhan masyarakat. Di tengah serangan bertubi-tubi negara maju terhadap negara berkembang implikasinya berdampak pada mulai bergesernya orientasi manusia itu sendiri.
Hal inilah yang mendorong lahirnya konsepsi manusia pekerja, senada dengan perkataan Karl Max seorang Filsuf yang menyatakan bahwa “Pekerjaan adalah tindakan manusia yang palingdasar” dimana manusia adalah makhluk ganda yang menarik. Disatu sisi ia adalah makhluk alami seperti hewan (memerlukan alam untuk hidup), dilain sisi ia harus berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing (terlebih dahulu harus menyesuaikan alam dengan kebutuhan-kebutuhannya). Manusia bekerja secara bebas dan universal, Bebas karena dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung, Universal karena disatu pihak ia dapat memakai pelbagai cara untuk tujuan yang sama dan dilain pihak dia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam kerangka salah satu kebutuhannya.
Doktinisasi Agamapun semakin menguatkan posisi manusia sebagai kelompok perubahan (pekerja). Kelebihan manusia dalam mencari, serta menemukan formula-formula baru sebagai pijakan awal semakin menguatkan doktrin tersebut. Misalnya dalam kitab suci Al-Qur’an disebutkan bahwa “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ” QS 13:11. Makhluk yang dimaksud dalam ayat tersebut merupakan makhluk yang memiliki rasionalitas dalam proses berfikir dan mampu keluar dari kebelengguan terhadap fenomena disekitarnya (Manusia).
Sejalan dengan apa yang dibahasakan Makhluk/Manusia pada hakikatnya dianugerahi kelebihan dalam proses berfikir, dalam hal ini otak yang pada akhirnya mengambil peran penting terhadap setiap perubahan tentang manusia itu sendiri. Seperti dalam buku ‘Mindseat Revolution’bahwa terdapat 5 prinsip cara optimalisasi otak tanpa batas: 1. Mengenali kekuatan otak sebagai organ sentral dalam proses berfikir, 2. Menggali dan mengembangkan potensi otak, 3. Berfikir dan bertindak secara positif dan kreatif, 4. Menggunakan pemetaan terhadap setiap proses berfikir, dan 5. Memanfaatkan hukum tarik-menarik.
Realitas ini pun berkembang sejalan dengan arah perkembangan zaman yang semakin menempatkan manusia sebagai kelompok pekerja yang berorientasi berdasarkan dalil-dalil Agama. Hal ini pun dipengaruhi oleh peran penting kaum imperialis borjuis yang berpeluang membentuk tatanan dunia baru lewat doktrin-doktrin berlabel Agama agar dapat terterima masyarakat dan tentu saja hal ini pun didukung oleh dengan sistem pemerintahan suatu negara yang berorientasi pada pembangunan yang sifatnya instan tanpa memikirkan keberlangsungan kehidupan masyarakat dikemudian hari. Semangat orientasi pemerintah inilah yang akhirnya melahirkan kelas-kelas dalam tatanan sosial masyarakat.
Menurut teori Karl Marx yang akhirnya lahir pada pemikiran bahwa sejarah dari masyarakat yang ada sampai sekarang adalah sejarah perjuangan kelas. Dengan kata lain, teori kelas berpraanggapan bahwa pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial. Misalnya saja keterasingan manusia adalah hasil penindasan suatu kelas oleh kelas lainnya. Dalam teori ini, Marx membedakan masyarakat berdasarkan mode produksi (teknologi dan pembagian kerja). Dari masing-masing mode produksi tersebut lahir sistem kelas yang berbeda dimana suatu kelas mengontrol sistem produksi (kelas pemilik modal) dan kelas yang lain merupakan produsen langsung serta penyedia layanan untuk kelas dominan (kelas buruh).
Kaum imperialis borjuis secara dominan pada akhirnya masuk dalam sistem dan merusak tatanan sosial suatu negara lewat tangan-tangannya, sehingga setiap arah kebijakan negara selalu mengedepankan kepentingan mereka. Keterikatan antara negara dan mereka itupun, yang akhirnya melahirkan negara semu. Penghapusan Ideologi secara bertahap, dan mendorong secara perlahan haluan suatu negara adalah bagian dari rencana besar mereka untuk menguasai setiap detil bahkan seluruh aspek suatu negara.
Pada akhirnya, manusia hanya sampai pada usahanya yang berdasarkan pada proses berfikir yang ketika bergerak mereka akan berhadapan dengan sistem yang menguntungkan kaum imperialis. Tembok penghalang inipun yang seakan mengantarkan masyarakat kepada fenomena skeptis. Walaupun dalil-dalil agama maupun teori-teori tentang perubahan sosial telah banyak mengemuka, namun hal ini sudah terlebih dahulu “disingkirkan” oleh kaum imperialis borjuis lewat produk hukum.
Melawan kaum imperialis borjuis global merupakan keharusan, maka langkah perlawanannya ketika dikorelasikan dengan perjuangan Bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan sebagai berikut:
Pertama, menjalankan politik kontra pecah belah.
Soekarno, sejak terjun dalam dunia pergerakan, menyadari bahwa kemerdekaan tidak mungkin tercapai tanpa adanya persatuan seluruh rakyat Indonesia. Pada tahun 1926, setahun sebelum pendirian PNI, Bung Karno sudah merumuskan konsep persatuan gerakan rakyat melalui tulisan “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”.
Dalam tulisan itu, yang didalamnya disertai penjelasan yang sangat mendalam, Bung Karno menegaskan bahwa tiga aliran dalam politik Indonesia, yaitu nasionalis, agama, dan marxis, bisa bersatu untuk mencapai Indonesia merdeka. “Inilah azas-azas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi roh-nya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Roh-nya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia-kita ini,” tulis Bung Karno, seraya menekankan pentingnya persatuan itu. Politik persatuan dalam revolusi nasional ini menjadi politik Bung Karno hingga akhir hayatnya. Begitu gigihnya Bung Karno memegang keyakinan politik itu, banyak orang yang menggelari Bung Karno sebagai bapak persatuan.
Kedua, menjalankan kontra kemunduruan, yakni kontra dekadensi akal-budi.
Dalam lapangan ini, Bung Karno tidak berhenti menganjurkan perlunya memperluas pendidikan rakyat, menyokong sekolah-sekolah rakyat, dan mengurangi buta-huruf di kalangan rakyat. Di PNI, Bung Karno mengharuskan adanya kursus politik, penciptakan mesin propaganda berupa koran, dan pembentukan “massa aksi”. Setelah Indonesia merdeka, Bung Karno menyadari bahwa mental warisan kolonial belum sepenuhnya menghilang. Karenanya, ia pun menggagas apa yang disebut sebagai pembangunan bangsa dan karakternya (nation and character building). Dengan revolusi mental semacam itu, kita berharap bisa menjebol fikiran kolot dan fikiran-fikiran rendah diri.
Ketiga, kontra penanaman kepercayaan bahwa kita bangsa kelas kambing.
Azas PNI adalah “self-reliance” (jiwa yang percaya kepada kekuatan sendiri) dan “self help” (jiwa berdikari) di kalangan rakyat Indonesia. Menurut Soekarno, tugas pokok PNI adalah membanting-tulang untuk memberantas segala sikap inferioriteit ini. Bung Karno juga membongkar kebohongan-kebohongan di balik teori penghalusan kolonialisme. Bung Karno sangat getol menggempur sikap inferioritas ini. Ketika Indonesia sudah merdeka pun, supaya tidak terperangkap kembali dalam jebakan imperialisme, Bung Karno mengobarkan konsep Trisakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.
Keempat, kontra politik persatuan (kolaborasi) dengan kaum sana (imperialis).
Hampir semua tulisan Bung Karno menguraikan perihal pertentangan kepentingan yang tak terdamaikan antara negara jajahan dan imperialisme. Bagi Bung Karno, negara jajahan tidak akan bisa melakukan emansipasi, bahkan dalam derajat paling minimum sekalipun, jika tidak menghancur-leburkan kolonialisme dan imperialisme hingga ke akar-akarnya.
Oleh karena itu, dalam strategi perjuangannya, Bung Karno menganjurkan sikap radikalisme (non-koperasi), yakni perjuangan yang tidak setengah-setengah, apalagi tawar-menawar, yakni perjuangan yang hendak menjebol kapitalisme-imperialisme hingga ke akar-akarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H