Sejak di proklamirkan Indonesia sebagai Negara merdeka, berbagai kebijakan mengenai menasionalisasikan perusahaan tambang asing, telah digalang. Termasuk keputusan Presiden Soekarno pada tahun 50-an. Himbauan Presiden Soekarno saat itu yaitu menasionalisasi seluruh asset Belanda yang ada di Indonesia, yang kemudian disambut dengan meluasnya aksi-aksi rakyat buruh-tani yang terorganisir di bawah PKI di banyak daerah. Hal itupun yang terjadi,
saat setahun setelah Rovolusi yang terjadi di Negara Kuba, dimana pemerintah Fidel Castro menasionalisasi kilang-kilang minyak milik As, Texxaco, & Exxon, serta Shell milik belanda. Namun, sangat disayangkan yang terjadi di Kuba tidak terjadi di Indonesia, aksi-aksi rakyat buruh tani tersebut begitu mudahnya dikooptasi oleh kelompok militer reaksioner. Yang pada akhirnya, seluruh perusahaan yang berhasil dinasionalisasi tersebut diserahkan serta-merta kepada militer.
Pun ketika bergantinya Rezim ke Orde Baru, kepentingan pokok kaum imperialis terhadap Negara Indonesia adalah sebagai sumber bahan baku utama sekaligus energy bagi industry modern mereka. Pemerintah seakan tega menukarnya dengan darah jutaan rakyat dan penutupan ruang demokrasi selama 32 tahun plus pembodohan dan pemiskinan masal. Yang pada akhirnya secara keseluruhan semuanya terlihat lebih menarik ketika pemerintah Orde Baru mengklaim bahwa perekonomi Indonesia saat itu mengalami pertumbuhan yang signifikan, walaupun sebelum pada akhirnya presiden Soeharto menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden Habibie, karena terjadinya krisis ekonomi yang gagal ditangani oleh Presiden Soeharto, sehingga menyebabkan tidak validnya keberhasilan ekonomi ini sebagai alat letimasi.
Pada akhirnya, seluruh rangkaian penjarahan SDA oleh kaum imperialis menjadi lengkap setelah pada tahun 2001 disahkannya UU Minyak dan Gas Bumi. UU ini seakan mempermudah perusahaan-perusahaan minyak dunia seperti Shell, Petronas, dan sebagainya menjelajahi usaha yang baru, namun namun cukup menggiurkan bagi mereka, yaitu sector hilir migas. UU “pesanan” yang oleh lembaga-lembaga keuangan Negara dunia, seakan memuluskan liberalisasi sector hilir migas seperti pengilangan, pengangkutan, sampai ke pemasaran.
Dan sungguh menyedihkan bila melihat bagaimana Pertamina yang korup dan hampir bangkrut dipaksa bersaing dengan perusahaan-perusahaan bermodal besar dan teknologi tinggi, hingga pada akhirnya dapat dipastikan akan tersingkir dengan sendirinya di masa depan.
Dengan bergesernya Ideologi pasca penandatanganan program bantuan keuangan yang di tanda tangani oleh Presiden Soeharto dan Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus pada tanggal 15 Januari 1998, yang kemudian dikenal dengan ‘lol’ (Letter Of Intent). Akhirnya memaksa rakyat memandangi begitu saja kekayaan alamnya dibawa lari ke luar negeri sambil dimiskinkan secara massal, sambil meratapi satu-satunya perusahaan nasional (Pertamina) dikebiri.
Sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 33, sudah saatnya kekayaan alam, diperuntukkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, dan bukan bagi kaum imperialis dan kaki-kakinya. Hingga saat ini, angka pengangguran semakin membludak.
Karena itu, dapat disimpulkan bahwa, penguasaan industry pertambangan dan menjadikan Indonesia sebagai pasar adalah jantungnya kepentingan utama imperialis di Indonesia. Maka jalan untuk membendungnya adalah dengan melakukan Nasionalisasi asset pertambangan dan migas. Pemberlakuan nasionalisasi hingga pematokan pajak yang tinggi, dan royalty pendapatan perusahaan asing adalah program yang ditakuti oleh mereka. Penguasaan sektor-sektor pendapatan Negara merupakan landasan kebutuhan bagi terwujudnya program pembangunan.
Kegagalan masa lalu harus menjadi pelajaran untuk gerakan rakyat kedepannya. Program Nasionalisasi haruslah diyakini rakyat, karena banyak sekali hal baik yang yang bisa dicapai untuk bangsa dengan melaksanakannya.
MERDEKA.!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H