Istilah ini kadang juga disebut phallus yang berarti imaji penis. Lih. Martin H. Manser, Oxford Leaner's Pocket Dictionary, (Oxford: Oxford University Press, 1995), hal. 308. Pada bebarapa budaya keagamaan kuno, phallic symbol (symbol phallik) sering ditemukan seperti di China, India, Afrika, dan lain-lain termasuk Jepang. Tentang mitos the Jewel-spear of Heaven, seorang ahli bemama Hirata mengatakan bahwa bentuk the Jewel-spear (Tombak-permata) tampak seperti 'tian laki-laki' dan Hirata mencatat bahwa bahasa China untuk penis searti dengan 'jewel-stalk' (gagang-permata). Pada tradisi Yahudi yang kemudian diwarisi oleh masyarakat Semit, Mesir, beberapa suku Afrika, dan orang-orang Arab asli, tradisi phallic symbol ini sangat jelas dalam tradisi khitan. Lih. Geoffrey Parrinder, Sex in the World's Religions, (London: Sheldon Press, 1980), hal. 106 dan 181
Ibid. Calvin S. Hall. Psikologi Kepribadian 1, hal. 90
Ben Agger, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya, terjemahan Nurhadi (Yogyakana: Kreasi Wacana, 2003), hal. 117
Psikoanalis belakangan menyebutnya dengan istilah 'minus phi'. Lih. Mark Brancher, Jacques Lacar Diskursus, dan Perubaban Sosial Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis, terjemahan Gunawan Admiranto. (Bandung: Jalasutra, 2005), hal. 139
Lon Cit. Chris Barker, Cultural Studies, hal. 24
Nasaniddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hal. 49
Nasaniddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hal. 49
Premis yang diajukan oleh Freud adalah kenyataan sesunggunnya ditunggangi oleh ketidaksadaran terstruktuer. Lacan menekankan bahwa bahasa pun demikian. Bahasa yang kemudian dipakai dalam karya sastra bukan hanya psikologi pengarang, karakter atau tokoh, maupun psikologi pembaca. Pada tahap selanjutnya, Lacan menyatakan bahwa teks ini sendiri sebagai sebuah struktur linguistic memiliki "jiwa-nya sendiri". Perbedaan Freud dengan Lacan ada pada pada bahwa Freud lebih menitikberatkan penemuannya pada konsep biologi, mekanika, dan psikologi pada zamannya, sedangkan Lacan dipengaruhi tradisi hermeneutic, yang mengatakn bahwa fenomena sosial selalu memiliki makna dan bahwa tugas ilmu sosial bukan menjelaskan (seperti yang dilakukan oleh psikiatri tradisional), melainkan memahami sehingga psikoanalisis Lacan merupakan metode penafsiran. Ririe Rengganis dan Rachmat Djoko Pradopo, "Saman & Larung: Seksualitas Perempuan dalam Karya Sastra", dalam jurnal humanika, 18 (4), Oktober 2005, hal. 490-491
Mark Brancher, Jarques Lacan, Diskursus dan Ptrubabaa Sorial hal. 136. Lacan kemudian juga banyak mendapatkan kritik karena dianggap memperteguh posisi Freud.' Namun paling tidak, ada tiga wilayah kunci pemikiran Lacan yang menarik minat kaum feminis: (a) domain subjektivitas, seksualitas, dan bahasa yang saling berkaitan. Desentralisasi subjek rasional dan sadar (yang diidentifikasi sebagai ego); penghancuran asumsi umum tentang internasionalitas atau kebertujuan wacana "rasional" subjek yang bicara; pemersoalan gagasan seksualitas "alamiah" oleh Lacan membantu teori feminis dari pembatasan pembatasan humanism. Lih. Madam Sarup, Strukturalism and Postmodernism: Sebnab Pengantar Kritis, terjemahan Medhy Aginta Hidayat, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003), hal. 41
Chris Barker, Cultural Studies, hal. 252
Ibid. Chris Barker, Cultural Studies, hal. 253-254