“Engkau sarjana muda,
resah mencari kerja,
mengandalkan ijazahmu”
--Iwan Fals
Tanggal 29 September kemarin diperingati sebagai Hari Sarjana Nasional. Merupakan suatu kehormatan bagi sarjana, ketika namanya diabadikan dalam hari-hari penting nasional.
Patut menjadi catatan krusial kita bahwa sarjana merupakan kekuatan intelektual bangsa. Di tangan sarjana, sebuah bangsa menggantungkan harapan perubahan dan kemajuan. Dengan bermodal pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dari kampus, sarjana diharapkan menjadi problem solver (pemecah masalah) di tengah bangsa yang masih dililit krisis berkepanjangan. Selain itu, sarjana yang lulus dari kampus menjadi tumpuan masyarakat dan bangsa.
Secara garis besar, ada dua hal yang melatarbelakangi dan menjadi motivasi setiap orang berproses untuk mendapatkan gelar sarjana di perguruan tinggi. Pertama, motif pragmatis, bisa dimaknai sebagai dorongan yang lebih tertuju kepada kepentingan pribadi, misalnya untuk menjadi kaya-raya, atau mendapat kedudukan dalam jabatan, melalui upaya dan tindakan yang menghalalkan segala cara. Kedua, motif idealis yakni motif yang didasari untuk melayani dan memberikan manfaat bagi orang lain, melalui upaya belajar keras dan penuh kesungguhan.
Motivasi untuk meraih gelar sarjana, tentu akan mempengaruhi bagaimana mereka berproses dalam perguruan tinggi. Mereka yang hanya bermotif pragmatis akan menggunakan banyak cara untuk lekas meraih gelar sarjananya.
Entah melalui cara baik atau yang menyimpang sekalipun, tergantung dari masing-masing kepribadian yang tertanam dalam diri individu. Selanjutnya jika kemudian kita banyak menemukan praktik plagiarisme di kalangan akademisi, inilah setidaknya yang menjadi contoh jalan yang mereka ambil.
Praktik tersebut, bisa disebakan oleh dua kemungkinan, yang pertama memang malas mengerjakan tugas dengan usaha dan pemikiran sendiri, sedangkan yang lainnya memang belum memiliki kemampuan untuk mengerjakan tugas tersebut. Akhirnya yang dihasilkan adalah sarjana yang seakan hanya bungkus saja tanpa adanya isi, kosong.
Di Indonesia sendiri, yang menjadi sebuah paradoks ketika tiap tahun sarjana yang diwisuda mencapai puluhan ribu namun justru membuat jumlah angka sarjana yang menganggur meningkat.
Meningkatnya jumlah pengangguran intelektual di Indonesia diakibatkan oleh sarjana yang orientasinya hanya mencari kerja, bukan menciptakan lapangan pekerjaan yang baru.
Tidak bisa dipungkiri kalau haru ini para sarjana masih kurang berminat dalam berwirausaha, masih banyak dari mereka masih berorientasi sebagai pekerja (upahan) atau bermental pekerja.
Sebagai tumpuan masa depan bangsa, sudah seyogianya para sarjana membawa perubahan dari bagi bangsa dan membantu pemerintah untuk menyerap angka pengangguran yang cukup tinggi bukan malah berbalik membebani negara.
Pemerintah sendiri sudah melakukan banyak terobosan untuk menyerap intelektual pengangguran, salah satunya dengan menggalakkan entrepreneurship atau berwirausaha agar para sarjana lebih siap untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri serta mengurangi beban pemerintah dalam mengurangi jumlah pengangguran di negeri ini.
Semoga kita menjadi sarjana yang tidak resah dalam mencari kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H