Usai ujian semester ganjil, Mardin memanfaatkan waktu untuk pulang ke kampung bertemu dengan orangtua dan sanak keluarganya. Maklum mahasiswa baru, belum dapat bertahan lama di kota, kehangatan suasana kampung halaman masih terasa kuat.Â
Perjalanan dari kota Ujung Pandang( Makassar) ke kampung halaman si Mardin memerlukan waktu sekitar 5 jam, menumpang bus panjang. Berangkat jam 10 pagi, dan sampai jam 3 sore.Â
Begitu sampai di kampung, bertemulah dengan orang tua dan saudara-saudaranya kemudian beristirahat merebahkan punggungnya berberapa menit.Â
Menjelang magrib, Mardin berjalan ke mesjid dengan maksud ingin shalat berjamaah magrib bersama warga. Tapi tak satupun warga yang datang ke mesjid magrib itu. "Mungkin warga pada shalat di rumah saja". Demikian pikiran Mardin.
Sedangkan Pak Imam, rumahnya agak jauh dan harus melewati sungai besar yg melintas di kampung itu. Sungai Bila, begitu orang menyebut nama sungai itu.Â
Pak Imam umurnya 70 th kebih. Â Sudah kakek, badannya sedikit pendek. Dia masih mampu berjalan tanpa tongkat. Karena rumahnya agak jauh, maka shalat lima waktunya tidak datang ke mesjid, kecuali shalat jumat dan lebaran.
 Bila musim hujan, terkadang banjir- Pak Imam  biasanya berenang sendiri, walaupun malam hari. Itu bila warga membutuhkannya, seperti acara baca doa selamatan dan acara keluarga lainnya.Â
Mardin masuk masjid, mendapati keadaan gelap, dan waktu magrib hampir masuk, jarum jam dinding menujuk pukul 17.55, sedangkan magrib 18.00 sesuai jadwal yang tertempel di dinding- samping mimbar.Â
Mardin pencet tombol saklar dekat mimbar, lampu tak menyala, pindah ke saklar yg ada di dinding sisi kanan juga lampu tak menyala, terus semuanya dicoba tak satupun menyala. Keadaan tambah gelap seiring terbenamnya Matahari beberapa derajat melewati horizon Bumi
Mardin memeriksa meteran dan sekring listrik. Ternyata sekring tidak ada, hanya lubangnya kelihatan, tidak terpasang apa-apa.Â
"Pantas tidak menyala, arus listrik tidak tersambung ke jaringan kabel di dalam mesjid". Analisa Mardin.Â