Nah, bagaimana dengan potret pendidikan orangtua siswa? Persentase siswa yang orangtuanya hanya mengecap pendidikan dasar atau kurang relatif lebih banyak terdapat di Indonesia dibanding Malaysia dan Singapura. 39 persen, 18 persen, dan 11 persen secara berturut-turut mengindikasikan potret jumlah orangtua siswa dengan latar belakang pendidikan dasar atau kurang dari masing-masing siswa yang menjadi sampel dalam kajian TIMSS. Semakin rendah latar belakang pendidikan orangtua, semakin sulit siswa mendapatkan bimbingan belajar matematika di lingkungan rumah.
Terakhir, dalam hal penggunaan komputer dalam pembelajaran matematika, 40 persen siswa di Indonesia sama sekali tak pernah menggunakan komputer sebagai penunjang dalam pembelajaran matematika. 11 persen siswa di Malaysia mengalami hal serupa. Hanya 1 persen saja siswa di Singapura tak menggunakan komputer pada saat belajar matematika.
Inilah sekelumit hal menarik di balik hasil kajian TIMSS 2003. Posisi prestasi siswa Indonesia masih berada di bawah performa skor rata-rata internasional. Bahkan lebih dari satu dekade posisi siswa Indonesia masih berada di bawah bayang-bayang siswa Singapura dan Malaysia.
Anggaran pendidikan boleh saja terus meningkat dari tahun 2003 sampai 2014 saat ini. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah direvisi dari UU No. 2 Tahun 1989 tepat saat hasil TIMSS 2003 dirilis ke publik, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah lahir, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sudah ditetapkan, mengapa tak ada dampak signifikan terhadap prestasi siswa Indonesia di kancah internasional?
Ini baru bicara hasil refleksi data TIMSS 2003. Kita belum bicara persoalan kurikulum, ujian nasional, tata kelola guru, dan implementasi kebijakan pendidikan lain yang kadang inkonsisten dengan visi pendidikan nasional yang sudah ditetapkan. Jangan cuekin data-data kajian internasional. Mari sadar berbenah.
Masa depan pendidikan kita dirancang di masa lalu. Hanya nurani kita yang bisa menjawab, benarkah rumusan kebijakan pendidikan terkini berfokus untuk meningkatkan kualitas generasi masa depan bangsa? Mungkinkah produk kebijakan pendidikan di negeri ini hanya dianggap penting oleh para penguasa tapi tak bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia? Jika ya, hanya ada satu tafsir rasional, produk kebijakan hanya berstatus ‘penting dibicarakan saja tapi tak esensial’. Karena tak esensial, kita pun kikuk menjawab, mau dibawa kemana arah pendidikan Indonesia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H