Mengenang masa-masa wisuda, dulu. Ada perasaan bangga pada diri yang telah melihat air mata kebahagiaan orang tua kala itu. Dimulai dari momen Lulus Ujian Sidang Sarjana dari perguruan tinggi yang menyandang predikat salah satu terbaik di negeri ini, ga membebaskan rasa khawatir, kemana pengabdian selanjutnya ditujukan. Ah... pengabdian, pakailah diksi kerja, nape?!
Ok, aku pake diksi kerja dech. Namun, ga tepat juga kala itu si akuh emang sudah diterima kerja, walaupun belum menjadi pilihan utama, masih ada jeda tanya, "Tempat yang sesuaikah itu?"
Baiklah. Si akuh hanya mau menyampaikan suasana dulu yang menjadi pertanyaan di masa kini, ketika si sulung lulus sidang sarjana, maka pertanyaan pertama dari si akuh sebagai orang tua adalah selanjutnya gimana Teh? kuliah lanjutan, kerja atau mau coba usaha? Dan aslinya, mendapati jawaban yang tidak jauh dari suasana bathin bapaknya dulu, "entahlah!" jawabnya.
Kritik pedas atas pendidikan sering aku baca. Dan sebagai bagian dari pendidik di perguruan tinggi, aku jawab kritik itu dengan sejumlah dialog dengan mahasiswa di kelas. Dialog yang mencoba menggali keinginan para peserta perkuliahan. Dialog yang tak lagi memerankan sang bijak dengan rangkaian petuah. Sebaliknya, menggali cita dan asa mereka.
Apa daya, kerja adalah jawaban mayoritas. Masyarakat pekerja bisa jadi mewarisi generasi kiwari. Kerja masih jadi pilihan. Aku suguhkan di depan mereka angka lulusan PT vs lowongan kerja tersedia.
Apa yang harus dilakukan kiranya untuk berkompetisi di dunia kerja. Jawaban berbalik harapan, bekali kami supaya bisa berkompetisi.
Baiklah...Â
Entah, karena prodi yang masih besar dalam hal peluang kerja, lulusan dari prodi kami, mayoritas sudah diterima sebagai PEKERJA. Ada kebanggaan untuk hal ini di tengah statistik nasional masih juga banyak sarjana dipertanyakan pengabdian selanjutnya. Ah, lagi-lagi kau gunakan diksi pengabdian, bilang nganggur, nape? Baiklah. ya masih banyak yang nganggur.
Masyarakat pekerja, kata Robert Kiyosaki, penulis tersohor dari USA-JAPAN ini, adalah genetik dari bapak yang miskin. Namun, dalam satu aspek perayaan kelulusan, wisuda, wahai Mr. Kiyosaki, hendaknya dikau harus menyisakan empati. Kami semua sungguh bahagia. Senilai dengan pesta perkawinan anak-anak kami, bahkan senilai dengan penyambutan satu syawal, untuk kaum muslimin. Kami bahagia pada hari itu. Setidaknya hari itu, kami selaku orang tua tiadalah berfikir seperti si akuh sewaktu lulus ujian sidang sarjana, dulu, atau anakku, kini.
Wisuda tetap mempunyai suasana bathin tersendiri. Ketika dulu kami bahagia mendapati orang tua bahagia, kini kami selaku orang tua bahagia karena dapat mengantarkan anak kepada satu jenjang kehidupannya. Lepas, dari suasana hati sang anak. Tak peduli. Namun, sekilas raut wajah dan desire sang anak dalam menyiapkan hari wisuda, sangat-sangat antusias. Fikirku, hanya satu. Dia (tetap) bahagia. Setidaknya hari ini. It's her stage, It's her day.
Dan aku, kami sekeluarga turut bahagia.
Terima kasih, wahai anakku! Pengabdian di dunia ini belum berakhir, lanjutkan terus, Nak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H