Mohon tunggu...
setiadi ihsan
setiadi ihsan Mohon Tunggu... Dosen - Social Worker, Lecturer.

Menulis itu tentang pemahaman. Apa yang kita tulis itulah kita.

Selanjutnya

Tutup

Film

Jangan Paksakan Cokelat Rasa Strawberry

10 Mei 2019   16:01 Diperbarui: 10 Mei 2019   16:30 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

"Kupikir kita tidak bisa terus-menerus mengukur kebaikan kita dengan hal yang tidak kita lakukan, Dengan apa yang kita tolak, apa yang kita tahan dan siapa yang kita jauhi.Aku pikir kita harus mengukur kebaikan kita dari apa yang kita terima, apa yang kita ciptakan, dan siapa yang kita dekati."
Khotbah Pendeta Henry dalam film Chocolate (2002) ini, bagi saya menjadi summary dari film yang berduarasi sampai 2 jam ini.

Bertemakan, sesuai judul, tentang cokelat. Lepas dari apa adanya material cokelat, ketika sudah disisipkan keyakinan, maka disitulah semua menjadi ber-nilai. Menjadi sebuah perjuangan, prestise dan cinta.  

Adalah tokoh Vianne Rocher, diperankan oleh Juliette Binoche sebagai sosok mewakili pemegang tradisi kuno Indian tentang 'keajaiban cokelat" yang kemudian bertemu dengan Comte de Reynaud (Alfred Molina) seorang walikota yang mewakili tradisi lain, ketatnya pengaruh kristen ortodoks dari pengaruh tradisi lain.    
Karena, tulisan ini bukan sinopsis, saya tidak akan melanjutkan dengan karakter tokoh, plot dan aspek film lainnya.
 
Yuk, kembali kepada apa yang disampaikan Pendeta Henry di atas, saya rasa, mewakili kebenaran universal. Kita sering mengukur kebaikan dengan apa yang menurut kita dapat memuaskan ego (kita). Karena sesuatu ga pernah kita lakukan, tidak tahu proses, manfaat dan pengaruh lainnya dari sesuatu itu, namun serta merta kita bisa melakukan penghakiman bahwa sesuatu itu tidak baik. Keburukan hanya berdasarkan dari sesuatu yang kita tolak. Padahal, tidak sukanya kita terhadap si A, misalnya, ya ga mesti kita berbicara bahwa si A adalah buruk perangai. Toch, laksana kita punya makanan favourite, bukan berarti makanan yang tidak kita suka adalah hal yang tidak baik. Demikian juga, bukan berarti ketika kita sedang jatuh hati pada si A, lantas kita berfikir bahwa kebaikan itu ada pada si A saja. Atau ketika kita sedang menjauh dari si B, bukan berarti bahwa si B ini identik dengan kejahatan.

Nah, di film tentang cokelat ini lah, walaupun berbeda tempat, masa, tokoh dan peristiwa beserta intriknya, secara nilai atau setidaknya mempunyai pesan moral sama dengan apa yang terjadi di Indonesia saat ini, apalagi kalau bukan dikotomi faham antara pendukung fanatik Jokowi dan Prabowo. 

Kini,

Semua topik, digiring ke pemihakan kepada Jokowi dan Prabowo. Semua orang coba dikategorisasi, penganut Jokowi atau Prabowo. Belum berhenti di sana, perbedaan pendapat tidak boleh lebih dari tiga kelompok pendapat berbeda, harus  dua! satu mewakili fans Jokowi dan ke-dua mewakili fans Prabowo. Bagaimana dengan penerimaan? Apapun yang datang dari kubu Prabowo, bagi para Jokowers itu adalah hoax. Demikian juga, apa yang datang dari Kubu Jokowi, maka bagi para pemeluk Prabowo itu adalah kebohongan. Hoax dan Bohong, kini, tidak lagi didasarkan pada fakta, pencarian fakta, tabayyun lagi, namun ditentukan dengan siapa kabar itu dibawa dan diterima.

Saya terhibur dengan film Chocolate (2000). Dengan film ini pula saya juga mendapat pencerahan dari sisi gelap saya. Apalagi tema tentang makanan yang saya suka, walaupun menonton sendiri, saya tidak akan mengatakan bahwa film lain jeleks bin buruk, apalagi sampai memberikan peringatan keras untuk tidak menonton film kecuali film cokelat atau sebaliknya mengancam karena seseorang tidak menuruti ajakan/rekomendasi saya, untuk menonton film Cokelat.

Satu hal yang bisa kita terima dari cokelat adalah rasa yang tak pernah berubah dari masa ke masa. Berikutnya mengenai pandangan orang terhadap cokelat ini juga masih seperti yang dulu: ada yang suka, ada yang ga suka, ada juga yang biasa-biasa.

Woiiii, masih tetap neh, mau berpromosi cokelat rasa strawberry?
Itulah kalee apa yang didengarkan oleh Vianne dari angin utara yang terus membisikkan: Kamuh begitu berarti bagi seluruh manusia di seluruh penjuru dunia. Cepat berkemas, masih banyak orang yang memerlukan pertolonganmu. Masih banyak permasalahan di belahan dunia yang menunggu sajian cokelatmu. Dan, in the end, Vianne harus bisa memastikan penolakan terhadap bisikan angin utara.

Tradisi tinggal tradisi, pada satu garis tradisi berbatas tradisi. Pertemuan antar tradisi tidak perlu kebenaran universal, cukup pemahaman ada kebaikan dalam tradisi lain.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun