Bismillah...
Ini adalah kali pertama bagi saya dalam berbagi tulisan melalui media ini.
Akun sudah lama dibuka. Penyakit kronis, lupa password, akhirnya gagal terus untuk berbagi.
Baiklah, langsung menuju pokok tulisan.
Empati, persoalan ini yang ingin saya bahas. Dalam ilmu komunikasi, empati memegang peran penting. Komunikasi assertif yang menengahi dari dua jenis ekstrim gaya komunikasi, agresif dan pasif, kuncinya adalah empati.Â
Dalam komunikasi assertif, kepiawaian dalam mengungkapkan ide/gagasan secara verbal/non verbal harus dibarengi dengan ketiadaan dampak menyakitkan/merendahkan bahkan menghina dari sang penerima pesan. Inilah nilai empati.
Dalam ilmu komunikasi pula, satu quote sudah lama dikenal dan dipercaya: The best communicator is a good listener, ini juga sarat dengan nilai empati. Mendengar, berbeda dengan mendengarkan. Listening is not hearing.Â
Mendengarkan memerlukan usaha, selain menyengaja untuk "mendengar" sesuatu, kita juga memberikan perhatian dan/atau response. Tidak semua orang bisa nyaman dalam posisi "mendengarkan", berbeda dalam posisi ketka kita berbicara.
Mendengar dan mendengarkan adalah pelajaran pertama yang kita dapat. Dibandingkan mata, sewaktu kita bati, maka telinga-lah yang lebih dahulu berfungsi. Dari mendengarkan ini pula kita, pertana kali berinteraksi dengan lingkungan, termasuk mengenali suara ibu dan ayah kita. Namun demikian, mendengarkan meski kita pelajari sejak lahir, bukan berarti menjadikan kita piawai sebagai seorang pendengar yang baik.
Dari interaksi sosial, selain menjadikan kita bisa belajar dan saling mengenal, juga berpotensi konflik, entah itu berupa kesalahfahaman sampai kepada pertengkaran dan permusuhan. Ini, dapat terjadi karena komununikasi yang salah, tdk efektif, secara umum... kita menyebutnya sebagai kondisi missed communication. Missed communication ini sering diakibatkan karena persoalan ketiadaan empati.
Menyimak hingar-bingar dunia medsos saat ini. Kita banyak dipertontonkan dengan silang pendapat, adu argumen, saling sindir, bahkan saling ejek dan saling hina antar dua pendukung paslon presiden yang masih belum kunjung selesai, bahkan semakin memanas.
Satu ujaran kebencian dibalas dengan kebencian lain, kata-kata kotor dengan kata-kata yang jauh lebih kotor dan seterusnya. Seolah tidak pernah ada ruang di masing-masing pihak untuk sejenak berfikir atau merenungkan kenapa mereka menyebut saya tolol, misalnya, atau mengapa mereka begitu marah dalam meresponse status kita?Â
Kebanyakan dari kita adalah reaktif, berupaya menyerang balik dengan intensitas yang lebih, pastinya. Lebih menyakitkan, merendahkan dan menghinakan. Sepertinya, kegembiraan, kebahagiaan dan kepuasan ketika kita berhasil melakukan serangan balik.
Dalam kasus dukung-mendukung pilpres, sepertinya, tidak ada lagi strata pendidikan menjadi pembeda, begitupun dengan status sosial atau posisi jabatan. Semuanya mendahulukan sisi ke-aku-annya. Mengapa ini bisa terjadi? kemana empati, saya yakin bahwa sebelumnya mereka mempunyainya bahkan dominan dalam pribadinya, larinya?
Apa benar masih disebut empati ketika kesantunan, kasih sayang dan sejenisnya berlaku hanya untuk mereka yang sefaham?
Saya, bisa jadi salah satu yang kehilangan empati dengan membahas masalah ini. Namun, saya perlu tegaskan, melalui tulisan  saya hanya ingin menyampaikan satu hal bahwa pembelajaran yang sudah kita lakukan begitu lama, sejak kita lahir bahkan ketika kita masih dalam rahim ibu, yaitu "listening lesson", akar dari empati, tidaklah menjamin kita menjadi seorang yang (tetap) empatik.
Benarlah quote komunikasi di atas... bahwa begawan komunikasi bukanlah orang yang jago atau pinter ngomong namun komunikator yang hebat adalah merekalah yang piawai dan tetap piawai dalam hal bersikap empatik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H