Mohon tunggu...
Setyawan 82
Setyawan 82 Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Tajamnya peluru yaka akan pernah bisa mengalahkan tajamnya pena. Ketajaman pena bermanfaat saat digunakan untuk hal yang patut.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rumah Dinas di Cihampelas Diwakafkan Keluarga Mantan Pegawainya, Bolehkah ?

7 November 2019   07:45 Diperbarui: 7 November 2019   07:49 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengurai permasalahan yang ruwet harus sabar dan teliti. Benang yang kusut diurai satu persatu asal muasalnya. Semua bisa lantang semua bisa mengaku pemenang. Namun, kebenaran fakta sejarah dalam asal muasal perjalanan permasalahan tak dapat ditutupi lagi. Semua terekam dalam jejak yang dapat ditelusur ke belakang. 

Adu kekuatan sepertinya sedikit mengabaikan unsur pengadil yang diakui negara. Paling gampang menghimpun kekuatan dengan isu SARA. Apalagi dikaitkan dengan membela keyakinan yang saat ini menjadi trend menjadi baju politik dalam menarik kekuatan massa. Seolah kebenaran akan terhimpit dengan ancaman. Pembenaran mudah dilakukan di rimba raya apabila mengatasnamakan bela keyakinan.

Mendapat kabar dari pesan berantai yang mencuat di pagi hari ini memalui wahatsapp sungguh terusik jiwa menulisku untuk memulai mencoba membantu mengurai benang kusut tersebut. Ya, broadcast tersebut terkait ajakan mempertahankan Masjid Jami' Nurul Ikhlas yang lokasinya di Jalan Cihampelas Nomor 149, Kota Bandung. Bergegas mencari literasi kesana kemari dari sumber yang valid. Dan benar saja, benang kusut itu ada harapan untuk diurai. Duduk persoalan mulai gamblang terang benderang dijelaskan.

Mulanya pada Tahun 1950, beberapa bangunan berdiri di lahan tersebut tepatnya di Jalan Cihampelas No. 125 (saat ini nomor 149) diperuntukan sebagai rumah dinas bagi enam pejabat PJKA (PT KAI) beserta keluarganya. M Hadiwinarso merupakan salah satu dari enam pejabat yang menempati rumah dinas tersebut.

Dijelaskan mengenai pemanfaatan rumah dinas dan masa pemakaiannya dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 40 Tahun 1994 Jo. PP No. 31 Tahun 2005 tentang keberadaan Rumah Negara didalamnya mengatur status golongan dari rumah tersebut. Seperti rumah negara golongan I, digunakan bagi pemegang jabatan tertentu dan yang sifat jabatannya harus bertempat tinggal di rumah tersebut. Jatah seseorang menghuni rumah dinas sangat terbatas hanya sampai pejabat yang berkaitan tersebut masih menduduki jabatannya.

Sadar dan tunduk dengan peraturan yang berlaku tahun 2007 lalu mantan pejabat-pejabat PJKA menyerahkan atau mengembalikan rumah dinas tersebut. Namun disayangkan salah satu dari pihak keluarga M Hadiwinarso yang bernama Yuni memilih bertahan. Fatalnya secara sepihak mengklaim aset berupa rumah dinas dan tanah milik PT KAI tersebut.

Ahli waris M Hadiwinarso yakni Desto Jumeno dulu telah membuat surat pernyataan bermaterai yang isinya mengatakan bahwa benar, tanah dan bangunan rumah dinas yang terletak di Jalan Cihampelas 149 Bandung yang saat ini kami tempati adalah benar merupakan aset yang dikuasai/milik PT KAI. Pihak ahli waris yang diwakili oleh Desto Jumeno telah menerima sejumlah uang dari PT KAI Persero sebesar Rp 120 juta sebagai bentuk kepedulian PT KAI terhadap mantan pegawai dan keluarganya.

Sederet bukti lain bahwa lahan Masjid Jami' Nurul Ikhlas memang milik PT KAI adalah berdasar akta jual beli No. 232 yang dikeluarkan pada tahun 1954. Pada hari Rabu tanggal 31 Juni 1954, PJKA telah membeli sebidang tanah beserta bangunannya dari seorang warga belanda dengan harga Rp 90 ribu dengan luas tanah 1.656 m2. Pembelian sebidang tanah dan bangunan ini diwakili insiyur praktek PJKA Tuan Mas Djatie. Legalitas dari Dinas Perhubungan yang membuktikan bahwa tanah dan bangunan di Jl Cihampelas 149 merupakan sah milik PT. KAI.

Pembelaan yang dilakukan para pengurus Masjid tersebut bahwa lahan tersebut telah diwakafkan pemiliknya dan rumah dinas yang dulu digunakan sebagai rumah tinggal telah disulap menjadi masjid. Berdasar UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf bidang tanah yang diwakafkan semustinya adalah harta milikinya (sah). Kaitannya sah kepemilikan lahan adalah sertifikat kepemilikan atas lahan beserta bukti lainnya. Bolehkah lahan yang bukan haknya di wakafkan ?

Terlepas permasalahan yang di kabarkan oleh pihak-pihak pengelola masjid. Semustinya permasalahan diselesaikan dengan baik. Tidak perlu mencampuradukan dengan upaya penggalangan massa. Karena inti permasalahan sudah jelas untuk dapat diurai kembali. Asal usul lahan juga sudah jelas sudah sepatutnya dikembalikan kepada yang hak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun